Showing posts with label Teater. Show all posts
Showing posts with label Teater. Show all posts

Saturday, June 29, 2013

Review Pementasan Musikal Ariah (@matah_ati)

Gue dateng ke Monas bareng Wano, Macel sama Indun. Disana kami masuk lewat pintu pameran monorel. Persis di deket parkiran Gambir. Abis itu, kami langsung bergegas menuju tempat pertunjukan persis berada di depan Monas. Kami dapet tiket Ariah hasil menang undian dari @matah_ati yang dimenangkan Wano. Doi berhasil dapet 5 tiket gratis. Tadinya kami akan berangkat berlima, ditambah Maftuh. Sayang Maftuh gabisa dateng di detik terakhir karena ada liputan mendadak.

 

Monas, baru dateng nih..

Masih sama dari terakhir gue dateng..

Nih lembar tiket Ariah..

Setelah masuk ke dalam area penonton, gue ngeliat setting panggung yang luar biasa keren dan settingan lampu yang walaupun belom nyala udah bisa gue prediksi pasti keren banget! Jadi stage itu berbentuk segitiga-segitiga yang berbidang miring dan lebar. Sehingga para penari bisa mengeksplorasi gerak dan tarian dengan jarak yang renggang. Sangat kolosal!

Selama pertunjukan, gue cuma bisa bergumam: "Anjing.. Anjing.. Anjing..!" "Tai..!" "Ngentot.. !". Gue orgasme secara audio visual ngeliat pementasan ini.. MEN!!! Si Erwin Gutawa ada dibalik orkestrasi pertunjukan ini, Jay Subiakto dibalik stage director pertunjukan ini, dan entah siapa yang berada di balik tata lampu dan video mapping pertunjukan ini itu semua adalah oknum-oknum yang paling bertanggung jawab karena gue NGENCRIT EPISTEMOLOGIS!

Karena ini bagus banget, gue gabisa cerita lebih lanjut. Faak! Gue kasih gambar-gambar dari foto gue aja ya.. Bodo amat lah resolusinya jelek.. Hahaha.



Monas dan Stage Ariah

Tata Lampu yang kontoool!


Dengan Video Mapping, stage lebih keliatan kontoool!

Monas bisa begini..








Ini adegan paling keren.. Gue sebut ini sinar Cyclops!



Sunday, May 26, 2013

Terimakasih Teater Agora UI

"Selamat Pagi temen-temen.
Halo. Apa kabar semuanyah?

Banyak bgt ya gue dapet pelajaran berharga di rumah ini, Teater Agora. Udah banyak waktu yg gue luangin untuk sama-sama belajar dari orang-orang berbakat dan berpotensi, orang-orang yg cerdas dan yang berani. Semuanya bikin gue seneng banget bisa kenal kalian semua.

Tiap suasana latihan-latihan yang dijalanin, walaupun gue males gerak buat latihan fisik, selalu bikin gue seneng dan semangat terus dateng kesini. Apalagi atmosfir pementasan yg selalu bikin ketagihan dan bisa jadi ajang untuk menilai perkembangan-perkembangan diri.

Tapi, atas beberapa pertimbangan pribadi, gue rasa ini waktunya gue buat cabut dari rumah ini. Ga tau sampe kapan, tapi yg jelas saat ini gue memutuskan untuk ga lagi bareng-bareng kalian, entah untuk sekedar latihan atau ikut produksi di masa-masa yg akan datang.

Maap, kemaren di rumah Maman waktu Pre-Event Thanksgiving, gue mungkin salah satu orang yg semangat berapi-api pengen ngadain pementasan yg terbaik buat Agora entah di bulan Oktober-November. Tapi sekarang, gue rasa ini waktunya yg tepat buat gue mundur dari Teater Agora dan ini udah jadi keputusan yg bulet.

Terimakasih buat orang-orang yg udah banyak ngewarnain hidup gue di Agora walau cuma dalam waktu yg sebentar ini, dari mulai pementasan BSJ sampe Waktunya Lelaki, hehe. Makasih buat Mbe, Dudung, Jack, Ocka, Mando, Denisa, Ena, Madil, Vini dan semua-semuanya yg ga mungkin bisa gue sebutin satu-persatu. Maap, maap, maap.

Tadinya gue pikir dengan adanya anak haram non filsafat gabung Agora malah bikin Agora jadi berantakan, tapi ternyata itu pikiran yg ga terbukti kok. Hehehehe. Semua orang emang berhak memajukan Teater Agora, ga cuma anak Filsafat doang. Mwahaha. Majuin terus ya Agora, temen-temen. Gue akan sangat senang ngeliat Teater Agora, Teater yg ikut gue bidani persalinannya, bisa tumbuh terus dan bisa terus konsisten eksis dalam dunia perteateran khususnya, dan mengubah masyarakat umumnya. *woelah*

Yupyup and Adios. :)"

Abis ngirim ini di grup whatsapp Majelis Ta'lim Agora, langsung plong. Lega. Terimakasih ya semua.

26 Mei 2013, 00:58


Trus ada gif si Agnes nagging biar nambahin efek dramatis.

Friday, May 24, 2013

Abis Nonton Pementasan Rajam (English Art Lab)

Pendahuluan
Rajam (23/5) merupakan drama yang bercerita tentang Dara dan Safia. Keduanya merupakan korban pemerkosaan walau dengan latar belakang yang berbeda. Keduanya, ingin mengungkapkan pandangan masyarakat tentang "mitos" ketubuhan perempuan. Persepsi-persepsi yang akhirnya mengakar dalam pandangan masyarakat, menjadi hukum yang menjelma secara sepihak. Persepsi-persepsi yang menjelma 'rajam' bagi korban. 'Rajam' yang lebih panas dari dera cambuk dan lebih keras dari lemparan batu.




Gue duduk paling depan, jaga-jaga kalo vokal pemain ga kedengeran banget karena membludaknya penonton. Gue duduk deket sama tukang musik. Sekedar info aja, Ini auditorium rame banget! Super rame. Penonton membludak. Panitia dan LO dalam beberapa menit masih sibuk untuk mengatur duduk penonton sambil mungkin menunggu beberapa undangan yang belum datang datang.

Sambil menunggu selesainya persiapan panitia, gue mau sedikit mengulas settingan panggung. Setting panggung dibagi tiga: Setting warung di sebelah kiri, setting ruang tidur di tengah belakang, ada sebuah level kotak panjang di tengah depan dan ruang keluarga di kanan.

16.32 WIB
Pertunjukan Rajam yg disutradai Herlin Putri dan Rahadian Adetya yg menurut sutradara dipentaskan untuk mengangkat isu-isu keperempuanan khusunya kasus perkosaan dan sepuluh persen tiketnya disumbangkan untuk korban perkosaan ini, siap dimulai.

Pertunjukan dibuka dengan setting warung yang berisi Geng AADC. Diisi dengan pembicaraan-pembicaraan tentang peraturan-peraturan diskriminatif yang dihadirkan oleh sekolah dan berlanjut ketika Dara bertanya pada Nadia tentang pengalamannya pertama kali bersetebuh dan membicarakan tentang sobekan selaput dara. Sebuah pembicaraan anak-anak Sekolah Menengah yang memang sangat umum sekali di jaman ini. Rasa penasaran dan keingintahuan yang hanya bisa didapatkan melalui pengalaman karena mungkin bagi gue hal tersebut masih merupakan ketabuan yang belum boleh diangkat kepermukaan, tidak boleh diperdengarkan. Bahkan keluarga dan sekolah sebagai tempat yang seharusnya memberikan pengetahuan akan ketubuhan ini semenjak dini terus menerus merepresi dengan bahasa-bahasa yang mengaburkan. Ini bisa terlihat ketika ada seorang tokoh yang selalu merespon dengan tidak biasa ketika kata-kata seperti "selaput dara". Adegan pembuka ini, menurut gue sukses dibawakan dengan apik.

Adegan lalu beralih ke monolog Safia. Safia adalah sosok yang bercerita. Bercerita tentang latar belakang keluarganya. Tentang ibunya yang meninggal dan mulut-mulut ibu-ibu tetangga yang masih saja membicarakan tentang "kenistaan" ibunya.  Disini Tiyul mencoba bermonolog dengan baik. Memainkan monolog, menurut gue sangat susah. (Kali ini gue ga somay coy.. Gue bisa bilang begitu karena gue pernah mainin monolog juga). Usaha Tiyul emang patut diacungi jempol di adegan Safia pembuka ini. Banyak perpindahan ekspresi dan perpindahan tokoh masih kurang smooth. Ada part yang harusnya bisa bikin merinding kalo saja Safia bener-bener nangis di bagian ketika Safia kehilangan "tangan" ibu dan merasa kasihan ketika melihat ayahnya untuk pertama kalinya menangis (saat kehilangan istrinya).

Adegan Rumah Dara:
Bukan. Ini bukan adegan bunuh-bunuhan oleh oknum jual-beli organ tubuh kaya film Rumah Dara. Ini adalah adegan dimana Dara, seorang siswi sekolah yang ada di geng AADC itu ternyata hamil. Bapak, seperti umumnya cerita kebanyakan, marah-marah dan menyalahkan pihak-pihak perempuan di keluarganya: Ia menyalahkan anaknya yang ga berpikir sebelum melakukan seks bebas dan ia menyalahkan istrinya yang ga bisa mengendalikan kontrol atas rumah. Sementara ia, sebagai kepala keluarga menganggap ia bekerja untuk mengisi segala kebutuhan atas rumah, sehingga kewajibannya hanya mencari uang bukan mengurus anak.

Di adegan ini geraman si bapak tidak terlihat dikepalan tangannya. Kepalan tangannya tidak bergetar seperti layaknya seorang bapak yang benar-benar murka, bukan lagi marah, karena menanggung malu karena anaknya hamil di luar nikah. Si Bapak kuat dengan suaranya yang terjaga, namun hal tersebut yang tidak bisa diimbangi oleh si Ibu dan si Anak. Di Adegan ini suara ibu beberapa kali tertutup oleh lenguhan yang justru membuat dialognya tidak terdengar jelas. Oh, dan satu catatan di adegan ini: Wardrobe Malfunction. Tim kostum seharusnya bisa memperhatikan lagi penggunaan kostum tokoh, karena kesalahan-kesalahan kecil seperti baju yang menyingkap bisa jadi distraksi pada penonton. Tapi keseluruhan adegan cukup menarik.

Adegan Safia part II:
Disini karakter Safia kedodoran, terlihat ucapannya keluar karena usahanya mengingat-ingat dialog. Di part ini masih ada adegan-adegan yang nanggung dan terlalu panjang bertele-tele. Tapi gue bener-bener bisa memahami apa yang dimainkan Tiyul bukan sesuatu yang mudah. Bagaimana dia harus mengingat sambil memainkan gerakan dan karakter-karakter berbeda menjadi satu. Butuh keluwesan dan porsi latihan berbulan-bulan untuk bisa menghasilkan sebuah monolog yang bagus. Gue apresiasi betul usaha Tiyul bermonolog ini, semoga ini bukan yang terakhir aja.

Adegan AADC part II:
Adegan ini berisi oleh geng AADC yang menyadari berita kehamilan Dara. Salah satu karakter menyalahkan pengaruh buruk yang dibawa oleh Nadia dan perempuan-bermulut-sumur itu. Tidak mau disalahkan, Nadia malah menyalahkan Robby, pacar Dara yang menjadi biang keladi semuanya. Kenapa Dara yang menjadi korban justru dinonaktifkan sebagai siswa di sekolah, sementara pelaku masih bebas berkeliaran. Masuknya tokoh Robby justru mengungkap sebuah rahasia, bahwa selama ini si perempuan-bermulut-sumur ternyata berkomplot dengan Robby dan membuat semacam taruhan.

Di adegan ini blocking pemain kacau balau. Pemain belum terlalu sadar blocking dan lighting sehingga mereka hanya berkumpul dan menjadi rusuh di panggung. Sama sekali tidak enak ditonton. Tampak dalam adegan ini, pemain masih belum terlalu di tata untuk menyadari "blocking "dan pengaturan pergerakan pemain juga masih terlalu bebas dan liar. Teriakan-teriakan yang timpa-timpaan a la anak SMA juga beberapa kali mengganggu. Sebetulnya teriakan-teriakan pas berantem itu menguatkan adegan ini, tapi berhubung gue ga terlalu suka sama berantem-berantem mulut gitu jadinya bagi gue mengganggu hehehe.

Ada beberapa hal yang menjadi gangguan adalah kebocoran-kebocoran lampu. Pada tiap perpindahan adegan, lampu terlalu cepat menyala, sehingga ketika Safia belum selesai duduk, adegan Dara-Orangtua sudah mulai. Sama ketika adegan Dara belum selesai sampai di tempat tidur, adegan Safia udah dimulai. Lalu ketika adegan Dara dan Safia sudah berdiri di depan dan bermonolog, lampu di bagian rumah nyala sehingga mendistraksi penonton. Menurut gue, setting kamar tidur Dara juga terlalu boros. Setting itu, tidak dipergunakan sama-sekali kecuali kasur (sebagai tempat Dara duduk) dan vas bunga (sebagai alat Dara). Dengan adegan yang hanya seperti itu (Monolog Dara), setting kamar sama sekali tidak diperlukan. Monolog Dara sebenarnya bisa dimulai di sofa rumahnya, tanpa harus membuat setting baru. Menurut gue, justru lebih baik setting yang di tengah itu sebagai ruang eksplorasi Safia.

Secara keseluruhan, pementasan ini bisa saya tangkap sebagai pementasan "Perempuan yang berbicara tentang perempuan-perempuan sebagai agen patriarki". Agen-agen yg meneruskan tradisi patriarki lewat ucapan-ucapan, aturan yang harus dipatuhi dan yang masuk sebagai kekerasan simbolik. Ucapan-ucapan dan aturan-aturan tersebut terlihat seolah-olah sebagaimana naturalnya/mestinya/normalnya perempuan berlaku dan berbusana. Ucapan-ucapan yang terlihat sebagai sesuatu yang lazim dalam masyarakat. Ketika para perempuan menuruti kekerasan-kekerasan simbolik yang dihadirkan dalam budaya-budaya yang sudah kadung melekat dalam masyarakat dan tanpa ada sesuatu pun yang menahan mereka untuk meneruskannya kepada generasi-generasi setelahnya maka para pemempuan tersebut telah serta-merta menjadi salah satu agen yang menumbuhsuburkan budaya partriarki.

"Rajam" menurut gue justru menyerang perempuan-perempuan agen ini. Mereka yang dengan tanpa sadar melestarikan diskriminasi pada kaum mereka sendiri. Yang tanpa sadar justru meng-subordinatkan posisi mereka sebagai posisi kelas dua dalam masyarakat. "Rajam" adalah stigma-stigma yang dilekatkan oleh perempuan 'baik-baik' kepada perempuan 'yang-tidak-baik', ucapan-ucapan tendensius dan menghukum. Mulut-mulut jahat deh kalo bahasa anak Kansas.

Namun fondasi-fondasi yang diangkat dalam pementasan tentang korban pemerkosaan sayangnya ditutup dengan pilihan akhir cerita: bunuh diri. Menjadikan korban perkosaan, yang dicoba untuk diangkat di pementasan ini merupakan makhluk yang lemah dan tidak bisa kuat menentang diskriminasi-diskriminasi yang hadir dalam masyarakat.

Segitu dulu ulasan singkat, saya abis nonton pementasan rajam. Semoga gak keliatan sotoy aja deh dan bahasanya tetep bisa dicerna orang banyak.


*Cheers*





Tuesday, May 21, 2013

Review Bulan Bujur Sangkar (Teater Pagupon)

Halo-halo!
Begini sebelumnya gue mau kasih sedikit pendahuluan. Senin ini (20/5) IKSI alias organisasi kemahasiswaannya Sastra Indonesia UI berulang tahun yang... wah udah tua banget deh pokoknya. (Biasanya kalo udah tua banget pantang nyebut umur, katanya sensitip). Nah dalam perayaan ulangtahunnya itu, mereka membuat sebuah acara bernama "Indonesia Tebar Pesona". Dalam rangkaian acaranya itu, ada penampilan sebuah geng (buseet geeeng) hahaha maksudnya ada penampilan grup teater yang berada di bawah pengetahuan IKSI. Grup tersebut bernama Teater Pagupon. Teater Pagupon merupakan salah satu Teater yang dituakan di Fakultas Ilmu Budaya UI (dulu namanya Fakultas Sastra UI), selain Teater Sastra UI tentunya, dan rutin mentas di kampus FIB UI. Dua pementasan terakhir mereka yang gue tonton yaitu Malam Jahanam (karya Motinggo Boesje) dan Mati Suri di Jakarta (kerya Rebecca Kezia). Pada Senin kali ini, mereka mementaskan pementasan berjudul Bulan Bujur Sangkar, naskah karya dari Iwan Simatupang dan disutradarai Sinyo Nantogog (Nanto).



Diambil dari @teaterpagupon

Oke, pendahuluannya kelar.
Sebelum masuk ke gedung pertunjukan, Yoga manggil gue dari arah gedung 1. Bukan. Bukan Yoga Mohamad karib gue, tapi Yoga anak Prancis yang waktu lalu pergi ke Senen bareng gue. Disitu dia lagi nongkrong sambil ngerokok nungguin para pemain lagi nyanyi-nyanyi-nyamain-frekuensi. Pementasan ngaret dari waktu seharusnya. Di poster dan berbagai media promosi, dinyatakan bahwa pementasan akan dimulai pada pukul 15.00 WIB. Tapi ternyata baru main jam 16.30 WIB.

Menjelang jam setengah lima, panitia udah manggil-manggil para pemain untuk stand by. Gue nunggu si Anas, temen angkatan gue buat kasih semangat. Sempet juga gue foto bareng sama Anas sebelum manggung. Mukanya masih acak-acakan dikasih cat Latex. Ini bukan Hoax. Nih kalo ga percaya:

Sebenernya lebih acak-acakan muka gue sih. Maap.

Setelah itu gue langsung menuju gedung pertunjukan. Dengan harga tiket yang ga mahal (Rp 20.000) gue masuk bareng Yoga. Setelah masuk auditorium gedung IX, kami pisah. Gue menuju arah kanan dan ambil tempat buat duduk di tangga belakang kanan. Posisi itu bagi gue adalah tempat paling pewe buat nonton, alesannya? Simple. Karena ada tiang/tembok yang bisa disenderin kalo ntar tiba-tiba bosen nonton. *Kok tiang, Haq?* *Iye sih berisik amat lu nyindir pundak cewek buat disenderin* *Sensitip* *maap*

Pas gue masuk, pementasan belum dimulai. Masih ada enam orang yang ada di atas panggung dan sedang lalalili ngobrol barangkali MC dan para peserta di acara sebelumnya, atau barangkali juga lagi ada acara bagi-bagi sertifikat. Di dalem, gue ketemu beberapa anak Teater Agora tapi emang sengaja ga gabung karena udah dapet tempat pewe sementara yang lainnya pada duduk di tengah kanan. Sambil nunggu acara pementasannya mulai, gue sibuk whatsapp sana-sini biar pada gabung ikut nonton. Suasana auditorium, menurut gue cukup ramai-ramai-sepi. Ga membludak kaya pementasan Teater Masa Lalu waktu itu. Indikasinya? masih ada cukup ruang di Auditorium buat penonton nonton sambil guling-gulingan. Apalagi salto. Barangkali karena di luar cuaca tiba-tiba hujan besar juga kali ya jadinya banyak orang juga pada terjebak ga bisa nonton. (Ya gapapa sih terjebak ujan daripada terjebak masa lalu).

Makin lama, makin banyak lagi penonton yang masuk. Tadinya disamping gue cuma ada tiang sama tembok. Tapi abis itu Tasi anak JIP 2009 sama Intan "Galau" PL anak Belanda 2009 nyamperin duduk bareng. Masih sempet ngerokok sebatang dulu disitu sebelum gue nemu ada tulisan "Dilarang Merokok" di Auditorium. Para pengisi musik dan penyanyi-penyanyinya Pagupon juga masih check sound,

Dan akhirnya... Pementasan akhirnya diumumkan akan segera dimulai oleh suara perempuan yang ghaib.

Jreng-jreeeng!

Gue sudahi dulu ya cakap-cakap basa-basinya. Langsung aja gue mulai reviewnya *mulai rada serius*
Oke, pementasan Teater Pagupon kali ini dilihat dari settingan panggung, cukup sederhana. Di panggung, hanya ada sebuah tiang gantungan besar di tengah disusun atas beberapa level, sementara kanan dan kirinya terdapat "batu-batu" besar yang juga disusun dari beberapa level. Sisanya, ornamen-ornamen kecil untuk menghiasi setting tiang gantungan dan batu-batuan. Di belakang, ada tiga layar panjang yang terpisah. Satu di bagian kanan, satu dibagian tengah dan sisanya di kiri. Lampu-lampu di dominasi warna merah dan kuning. Ada sembilan mic kondensor yang tergantung dan tiga mic yang berada di depan panggung. Secara visual, settingan panggung ini, walaupun cukup sederhana, benar-benar memunculkan suasana yg muram dan suram.

Jangan bicara tentang isi cerita, karena ada beberapa hal yg merusak gue untuk masuk mengevaluasi isi cerita. Teater Pagupon memang dikenal memiliki kekuatan di bagian musik dan latar suara, namun kali ini gue pikir sisi itu perlu mendapat kritik gue. Musik menabrak permainan dialog pemain, sementara vokal pemain dibawah standar. Tabrakan kerasa terjadi ketika ada musik yang berlirik menabrak dialog yang sedang diucapkan pemain. Sementara gak ada upaya kedua belah pihak untuk saling mengalah, entah volume suara musik yang dikecilkan atau volume suara pemain yang dinaikkan. Tapi dibalik setting suara musik yang terlalu besar, vokal pemain juga sangat mengkhawatirkan. Terlalu kecil untuk didengar padahal dialog-dialog dalam drama ini sarat arti dan filosofis. Sayang sekali 9 kondensor menggantung tak membantu vokal-vokal dan artikulasi hampir kebanyakan pemain. Fatal banget. Karena itu, tersiksa banget gue saat nonton plotnya Becca dan yang anak muda bawa senapan itu sambil usaha banget dengerin dialog-dialog yang dilalap sound musik.

Menurut gue, permainan baru dimulai, saat Annas mulai bermain. Terlepas dari kekariban gue dengan Anas, tapi secara objektif hanya suara vokal Annas yang mampu melebihi suara pemusik. Memang begitulah standarnya menurut gue. Segitu sangat pas dan ga boleh turun lagi. Nah, ketika masuk adegan dimana cowok yang tinggi badannya kaya Karim Abdul Jabar sama perempuan yang pake kerudung itu berdialog, gue melihat mereka berdialog tanpa rasa. Mereka ragu pada isi dialog dan kurang keyakinan, maksudnya mereka keliatan cuma asal ngomong aja gitu bukan yang ngomong sambil ngerasain arti dialognya gitu.. *masalah rasa, ya gue agak sok tau sih, tapi emang berasa aja* Nih, Bahkan tawa si Karim Abdul Jabar aja terasa hampa dan datar. Ketawa-ketawa yang ga dari dalem hati. Abis itu.. Ada perempuan yang masuk di plot Annas. Dia terlalu banyak mengayunkan tangannya dan menjadi berlebihan. Harusnya ia lebih disiplin menjaga gerak tangannya sendiri.

Dari segi keaktoran, gue bisa bilang baru Annas yang memenuhi standar keaktoran. Becca suaranya masih ketiban musik, *kesian... kan berat* Tapi gerakan-gerakan dan silent actnya udah bagus. Sisanya, masih butuh jam terbang lagi untuk main teater. Yang mesti dievaluasi banget sih ya feel in musiknya aja. Ga mesti diisi musik keseluruhan sih menurut gue. Karena ada beberapa part musik yang justru ngacaukan adegan dan ada beberapa part yang lebih baik sunyi ketimbang harus ada musik. Terus tadi gue paling keganggu sama suara biola sih. Hehehe. Di beberapa part, suara biolanya bisa bikin tersentuh. Tapi kadang suka kelebihan aja porsinya. Harmonisasi suara penyanyinya patut diacungi jempol. Bagus. Trus tadi ada Sound effect pemberian alam: Gledek pas Annas mau gantung kepalanya.

Semoga review dari gue ini bermanfaat dan semoga ga kedengeran sok tau atau sok jago ya.. Untuk pihak-pihak yang ga suka dengan isi review ini, silakan langsung ngobrol aja biar ga slek. :D

*Cheers*

Friday, May 17, 2013

Vito-Vanny #PartTerakhir: "Being Vito"

 Sebelumnya lu udah pada tau belom kalo gue main di Waktunya Lelaki yang dipentasin Teater Agora, Rabu (15/5) kemaren?? Kalo belom tau, lu payah bangeeet! Kan udah gue kasih tau berkali-kali di postingan gue sebelum-sebelumnyah. Hahaha. Yaudahlah, your loss.



Nah tulisan kali ini gue mau sedikit buka rahasia tentang proses kreatif pembangunan karakter-karakter yang gue mainin di Teater Agora ini.

Balada Sakit Jiwa (15 Mei 2012)
Pementasan Waktunya Lelaki ini tepat setahun setelah pementasan pertama Teater Agora (Balada Sakit Jiwa, 15 Mei 2012). Di BSJ gue berperan sebagai Mayor Alexander Roy, seorang purnawirawan yang memiliki kecanduan akan perilaku seks diluar kebiasaan dan memiliki sifat-sifat yang kejam dalam membina orang-orang di sebuah Asylum eksperimental untuk orang-orang yang dianggap gila oleh masyarakatnya. Karakter Mayor, gue buat berdasarkan asumsi tanpa observasi. Asumsi-asumsi itu dibuat dari sebuah pembacaan singkat tentang mental-mental seorang yang memiliki kecenderungan haus kekuasaan. Gue membuat semacam latar belakang Mayor, yang bener-bener gue tulis di sebuah kertas, tentang bagaimana latar belakang keluarganya, karir, ekonomi, lingkungan sosial, cara bergaul, cara merokok, cara berbicara, gaya berbicara, gaya menggunakan mimik, gesture kepala, cara duduk, cara jalan, dan berbagai macam hal-hal detail lainnya yang dibangun untuk memperkuat ketokohan Mayor. Proses ini pun dibantu dengan keleluasaan yang Sutradara berikan untuk menciptakan sendiri tokoh-tokoh dan menghidupkannya. Maklum, gue dan Mbek lahir dari rahim yang sama: Teater Sastra dan empunya Mas Yudhi Soenarto selalu menitikberatkan proses kreatif dan imajinasi aktor sendiri dalam mendekatkan dirinya dengan karakter (Stanislavski's System).

Pada saat itu, gue memiliki kuasa penuh untuk menguasai panggung dan cerita, karena disana sosok Mayor adalah sosok sentral yang baru dihadirkan belakangan (termasuk sosok Wenda yang juga hadir belakangan). Karena kekuasaan menguasai panggung itulah, gue suka mengeksplorasi tiap jengkal panggung dan mencoba agar tidak berjarak dengan semuanya: penonton, panggung, dan properti. Namun, karena lemahnya observasi yang gue lakukan, menurut gue karakter Mayor yang kejam dan beringas cuma gue tampilkan lewat sisi luarnya saja. Lewat amukan, gerakan dan mimik/gesture tapi gue keteteran sendiri saat harus improvisasi disana-sini saat gue lupa dialog atau ketuker-tuker dialognya. Karena itu, kedalaman emosi Mayor dalam mengungkapkan dialog bagi gue sendiri masih belom terlalu maksimal gue lakukan.

Gue adalah orang yang selalu mencintai sebuah kata-kata khas semacam "Yippi-kai-yeey"nya Bruce Willis di Die Hard. "I'll be Back"nya Arnold di Terminator, dsb. Di pementasan sebelumnya, saat gue jadi Mayor, gue mencoba untuk menciptakan kata-kata itu: "Ngehe!", "Tai Kukus!", dsb. Selain itu gue mencoba melekatkan sebuah barang agar menjadi khas "Mayor banget" seperti tongkat, kacamata hitam dan arloji. Walaupun ga begitu ngena, tapi kata-kata dan aksesoris ini cukup representatif dengan karakter Mayor yang dingin tapi kasar, tenang tapi cukup ambisius.

Waktunya Lelaki (15 Mei 2013)
Proses kreatif gue dalam membangun karakter di Waktunya Lelaki cukup sedikit berbeda dengan proses di Balada Sakit Jiwa. Saat Mbek memutuskan cast Vito di Waktunya Lelaki buat gue, gue dengan cepat mengobsevasi beberapa tipe pria-pria yang memiliki kecenderungan "halus", "kemayu", "sensitif". Beberapa target sempet gue observasi dengan cara memperhatikan perilakunya. Mulai dari cara duduk, cara memainkan rambut, cara senyum, cara membaca buku, cara berdiri, dan perilaku-perilaku lainnya. Gue ga berangkat dari asumsi, karena memperhatikan tipe-tipe pria kaya Vito sangat gampang banget ditemui di lingkungan kampus gue. Terlebih lagi, gue juga sempet bermain di pementasan Sketsa Robot dari Teater Sastra dan berperan sebagai seorang transgender. Disana, gue ga terlalu banyak dialog sehingga gue ga terlalu mengkesplor dan observasi terlalu jauh walaupun ada beberapa referensi yang gue pake menjadi karakter Vito. Lalu gue mulai buat karakter Vito dengan beberapa perbedaan. Betuk rambut yang gue biarin ngebob sendiri, tai lalet diatas bibir kanan, fashion Vito yang tampak "laki" dan sebagainya.

Secara ektrinsik dan intrinsik gue mulai membangun karakter Vito. Dalam berbagai sesi latihan gue mencoba untuk menggunakan berbagai karakter, sehingga gue memutuskan untuk mematenkan karakter Vito pada dua minggu sebelum hari pementasan. Setelah mematenkan itu, gue mulai untuk disiplin menjaga karakter, terbiasa dan konsisten dengan perilaku dan emosi Vito. Semua rencana itu gue tulis, gue catet dan gue terus coba dalam tiap sesi latihan. Setelah itu, gue dengerin beberapa koreksi dan evaluasi dari yang menonton. Terlepas dari suka atau ketidaksukaan penonton dengan pilihan gue menjatuhkan pilihan untuk memainkan dan menginterpretasikan Vito seperti apa yang gue tampilkan di atas panggung, itu bukan lagi jadi urusan gue. Haha. Biar penonton yang ngereview sendiri dan menganalisis kenapa Vito dimunculkan seperti itu.

Pada pementasan kali ini, gue diberikan sebuah ruangan milik gue sendiri dan harus bermain dalam ruangan yang itu saja. Plot gue termasuk salah satu plot pembawa keceriaan yang harus membangkitkan lagi emosi penonton setelah disuguhkan plot Eva-Ernest yang cukup bikin emosi ngedown. Bagi gue, itu tantangan berat banget: menaikkan emosi tanpa harus terburu-buru berurusan dengan tempo permainan. Serius, gue capek banget sebenernya sedetik sebelum mentas karena kurang istirahat dan kurang bobo. Tapi saat gue melangkah menuju panggung dari sayap panggung, di detik berikutnya gue sudah harus profesional, maksimal dan total. Gue harus membayar semua keikhlasan diri gue memainkan Vito serta semua hasil pengamatan gue tersebut. Maka, Voila! Kalo kata orang itu "keajaiban panggung", beberapa orang bilang "ngebanci panggung", kalo Mbek bilang "colongan" tapi gue bener-bener ga ngerasain lagi apa itu yang namanya capek karena gue udah in to the character. Gue udah dirasuki Vito dalam setengah jam dan gue gak dalam posisi mengelak dari semua itu. Gue harus merelakan tiap gerak tubuh gue dipinjam dan "ditelanjangi" Vito.

Dalam periode hampir setengah jam itu, gue harus terus menerus disiplin dan konsisten dengan semua rencana gue selama latihan. Cara duduk, ngomong, emosi, dan karena tugas scene ini adalah menaikkan emosi penonton lagi, gue berusaha untuk berjudi dengan melakukan improvisasi. Bukan. Bukan ngarang cerita. Tapi dengan ngebuat semacam kata-kata khas dan silent act yang khas. Maka lahirlah "Yup Yup!", "O ow", "Laillaha illalahu", "Kenapa kamu diem? Kebelet eek?", adegan gue nonjok boneka, dan segala sesuatu yang bener-bener baru lahir pas di atas panggung tanpa persiapan, tanpa latihan. Gue bener-bener ngerelain dan mengikhlaskan diri gue selama setengah jam "dipinjem" Vito. Untungnya, perjudian gue berjalan lancar sehingga semua yang lahir di panggung tampak lucu apa adanya dan bukan sesuatu yang gue buat-buat untuk ngelucu. Prinsipnya, gue ga berusaha untuk menjadi Vito tapi gue berkenalan dengan Vito dan membiarkannya bermain di dalem tubuh gue.

Gue pun turut terbantu dengan akting lawan main gue, Anisa Fajrina Djuanda (Ena, Sastra Inggris 2011) yang malem itu mentas dengan all-out. Gue yakin dia juga ngerasain keajaiban panggung karena gue bener-bener merinding sendiri pas dia marah dalam keadaan puncak dan teriak ke Vito saat dia bilang udah muak dengan segala cerita tentang cinta sejati bla-bla-bla. Gue, secara pribadi selalu mengkritik permainan Ena selama latihan supaya dia bisa terus mengeksplor dirinya dan aktingnya. Emosi dia ga pernah sampe puncak. Dia ga pernah bisa ngimbangin emosi gue, dan selalu minta gue untuk nurunin emosi gue. Tapi gue selalu bilang kalo dia bisa lebih dan lebih lagi, walau mungkin dengan cara yang kasar dan jahat. Maka dari itu gue dan dia selalu evaluasi permainan kita setelah abis latihan dan ditutup biasanya dengan curhat. Tujuannya? Ngebantu banget sih buat bangun chemistry dan kedekatan hubungan antar karakter Vito dan Vanny, selain untuk mengetahui latar belakang masing-masing supaya apa yang nanti ditampilkan bener-bener natural. Hasilnya? Dia tampil luar biasa. Gue yakin penonton juga kebawa emosi dan terwakilkan banget dengan segala kemuakan Vanny. Gue yakin penonton juga paham kondisi Vanny dan ikut kesel juga. Di satu sisi itu rencana awal gue: Membiarkan penonton membenci Vanny sebagai sosok yang "jahat" namun juga memakluminya sebagai pilihan yang "logis dan memang sudah sepantasnya". Ena benar-benar bisa menterjemahkan itu dengan porsi yang sangat pas. Ga kekurangan. You did a great job, Anisyakh!


***

Di postingan gue sebelumnya (nih disini nih!) gue nulis tentang kekhawatiran gue tentang kegagalan pementasan ini. Kekhawatiran itu, gue jelasin disini lahir entah dari kemungkinan setting panggung yang belum siap, tim musik yang masih belom ngangkat mood pemain, atau dari gue sendiri sebagai pemain yang belom fokus ke pementasan dan ngerasa belom siap tampil terkait dengan proses-proses dan konflik internal yang melanda. Tapi gue mencoba untuk tampil maksimal dan total, setidaknya buat diri gue sendiri. Buat apa yang udah gue korbanin, baik waktu, duit, tenaga, pikiran dan mental psikologis. Nyatanya, saat dipanggung gue liat setting panggung yang udah keren banget walau dikerjain dengan ngebut, terus tim musik yang... ya walaupun masih ga blend in tetep harus diapresiasi, membuat gue dapet "Kratingdaeng" tambahan di atas panggung.

Semua kekhawatiran itu nyatanya jadi mood booster. Jadi letupan semangat bertenaga. Jadi keajaiban-keajaiban yang klimaks. Senengnya, apa yang gue dan Ena hadirkan di atas panggung, emosi yang kita suguhkan mampu mencampur adukkan emosi-emosi penonton. Itu yang bisa gue sendiri lihat dan denger dari tawa penonton, renyuhan penonton, dan yang paling luar biasa adalah tepuk tangan meriah penonton ketika adegan Vito-Vanny berakhir.

Disini gue bener-bener bisa menyudahi tantangan loncat dari karakter Mayor seorang pria yang kejam, sadis, beringas, dan brengsek di pementasan Balada Sakit Jiwa menjadi karakter Vito seorang pria lemah lembut, sensitif, kemayu, dan "bencong". Sukses atau tidaknya, tinggal nunggu tanggepan dan komentar penonton.

Buat para penonton Waktunya Lelaki, terimakasih banyak! Sampai jumpa di pementasan Teater Agora berikutnya!

Foto oleh Komunitas Pagi Buta UI
Foto oleh Fersacalia Liyong

Foto oleh Fersacalia Liyong

*Cheers*

Saturday, May 11, 2013

Ehm.

"aklgjf;IQBG. GSFKLJASGFJKB piubgaf98136y5[03891y5[0*()tyw*(&#^_%"

Bentar lagi pementasan dan masih kayak begini aja. Ibaratnya badan nih ya, belom pada nyambung satu sama lain. Gimana mau jalan, ya ga? Huft. Nah itu tadi yang diatas, isi sebagian kepala gue sih mikirin pementasan. Hahaha. Udahlah, gua coba semaksimal gua aja. Semoga bagus nanti tanggal 15 Mei. Pada nonton ya! Jam 4 Sore, di Auditorium Gedung IX FIB UI, Depok. :D

*Cheers*

Friday, April 26, 2013

Vito-Vanny #EntahUdahPartBerapa

Oke. Ini review singkat tentang latihan plot Vito-Vanny di Waktunya Lelaki hari Kamis (25/4). Bisa dikatakan latihan hari ini: TAI KUCING. Entah ada apa dengan gue? Padahal gue yang selama ini bimbing Ena dan ngasih tau tentang trik-trik di panggung, tentang jangan kebanyakan mikirin penampilan dan bla-bla-bla. Tapi ini tadi latihan paling tai kucing. Feelnya ga ada. Semangatnya ga ada. Tadi gue latihan cuma sekedar formalitas doang, ga ada emosi ga ada passionnya sama sekali. Kenapa ya guaa?

Gue mencoba merunut kembali tentang penurunan ini. Ini penurunan terbesar gue selama latihan dan menjadi Vito. Padahal, kemaren mainnya udah enak banget dan gue ngerasain banget enjoy-nya jadi Vito. Masalah pribadi? Emmm, ada sih. Tapi serius gue ga mikirin semua masalah pribadi itu pas tadi latihan. Justru gue malah mikirin tentang masalah kenapa di pementasan ini banyak orang yang semangatnya ilang sama sekali. Orang-orangnya ilang-ilangan dan entah kenapa gue ngerasa mereka udah pada ga memprioritaskan pementasan ini lagi. Kalo dulu anak-anak PK gue ngasih istilah, kita udah beda frekuensi. Semangat-semangat itu yang gue kangenin di anak-anak Agora. Tadi gue main juga entah kenapa, jadi mikirin itu. Lu boleh bilang kalo lu ada masalah atau pikiran taro dulu diluar tempat latihan. Tapi masalahnya tadi kepikiran dan ngehe-nya pas lagi latihan. Jadi kacau balau semuanya pas gue main. Bener-bener palsu banget tadi gue main. Blocking kacau. Apalan kacau. Improvisasi kacau. Emosi kacau. Semua kacau.

Bisa gue bilang, hari ini bukan cuma plot Vito doang yang kacau. Atmosfir keseluruhan latihan juga kacau. Stress ga sih lu bentar lagi udah mau pentas, lu udah ngasih harga tiket cukup tinggi buat kalangan mahasiswa, ekspektasi penonton udah besar banget ke Teater Agora tapi keadaan internal Agora dan suasana latihannya kaya TAI KUCING gini. Serius deh: TAI KUCING.


Kadang gue suka kesel sendiri kalo gue latihan jelek dan gabisa mengeksplorasi di tiap sesi latihan. Gue selalu mencoba membuat proses-proses peningkatan. Saat gue ngerasa Ena mulai banyak peningkatan dan main sangat bagus, gue malah yang ngedrop karena mikirin hal macem begini. Fak men.

Udah. Cukup gitu aja review gue hari ini.

*Cheers Tai Kucing*

Wednesday, April 24, 2013

Capek

Enggak. Ga ngeluh. Cuma dapet peran jadi yang namanya Vito di Waktunya Lelaki ini bener-bener menguras tenaga, pikiran dan keikhlasan. Zzz. Barusan abis selesai latian, terus sekarang capek masih kebawa emosinya Vito. Baru balik jam 1 persis di rumah, gamau mandi malem tapi mau nonton Munchen-Barca dulu.

*Cheers*

Friday, April 19, 2013

#VitoVanny Part 1

Hari ini gue latian Agora kembali setelah Selasa kemarin gabisa latian karena lagi ada kerjaan ditambah pula ujan yang gede banget dan ga berenti-berenti. Banyak banget progress yang gue rasain di latihan kali ini. Target gue, minggu depan (asumsi 3x latihan lagi) gue sama Ena udah bisa apalin naskah Vito-Vanny diluar kepala. Jadi tinggal masukin emosi-emosinya aja. Beberapa blockingan dasar dan suara masih jadi bahan evaluasi. Tadi Mas Sani sempet kasih komentar katanya gue natural banget jadi Vito. WHAT??! Jadi maksudnya gue? HAHAHAHA. Terus tadi gue sempet nanya Etep, dia bilang cuma di bagian VIto doang yang keluar dari ekspektasi dia antara hasil baca sama hasil yang gua mainin. Entah itu pujian atau sindirian. HAHA.

Mungkin lu bertanya-tanya, Vito Vanny itu apa dan siapa? Begini, cerita singkatnya sih gini. Gue ikutan main di Produksi Teater Agora yang keempat berjudul Waktunya Lelaki, karya dari temen gue sendiri namanya Mbek. Trus, Teater Agora sendiri itu apa dan Waktu Lelaki itu apa bisa lu dapetin jawabannya di tumblr mereka atau di twitter mereka. Nah, tentang Vito dan Vanny, mereka itu adalah salah satu tokoh yang hadir dalam pementasan ini. Sepasang kekasih yang memulai cinta dari hal-hal sepele dan satu selera. Sehingga….. *Oke ga boleh Spoiler*

Nah, promosi sedikit, Pementasan Waktunya Lelaki ini bakal dipentaskan pada tanggal 15 Mei 2013. Berarti ya tinggal sebulan kurang. Harga tiket sih standar ya, Rp 20.000,- (bahkan itu udah murah banget buat sebuah pementasan kelompok dari dan di kampus, tapi kenapa banyak yang pada complain sih…) Tempatnya di Auditorium Gedung IX FIB UI, Depok. Dari deretan daftar pemain sih ada banyak ya, males nyebutin satu-satu. Hahaha.

Oke begitu aja dulu deh, resume latihan hari ini. Ena udah mulai enak mainnya. Cuma masih kurang antusias lagi bawain Vanny-nya. Mungkin kurang gue korek dikit ketakutan apa yang selalu dia rasain sebelum main yang mungkin ngefek ke permainannya. Blocking sama suara masih harus banyak latihan lagi dan kontrol lagi. Gitu aja dulu. Doain mulus terus ya sampe pementasannya selesai!

*Cheers*

(Tumblr, 19 April 2013: Review latihan 18 April 2013)

Friday, April 12, 2013

Nihaq Mau Bobo Nih, Tumben.

Jadi besok Jumat pagi itu, ada acara akad nikahan klien. Makanya tadi dateng latian telat banget. Soalnya ketemuan dulu sama kliennya. Padahal gue belom apal naskah sama sekali. Si Ena harus digembleng banget sih ini.. Apalan banget soalnya anaknya, jadi ga asik kalo dibikin flow-- Suka bingung sendiri kalo lepas dari naskah. Gue sendiri ini, juga susah banget ini masukkin feelnya Vito, nangisnya Vito dan motivasi Vito nangisnya belom dapet. Selalu pake nangis boong-boongan. Semoga makin lama nanti latiannya makin bagus dan gue apal sama Gue-Ena bisa bangun chemistry Vito-Vanny. #KERJAKERAS

Trus ini sih rencananya mau tidur. Karena harus bangun pagi banget! FAK. Acaranya tuh jam tujuh, jadi harus berangkat jam setengah enam dari markas besar. HUFT. Tapi gue ga boleh ngeluh! Habis ini kan duitnya buat refreshing ke Jogja. Yuhuuuu. Ke Borobudur, nerbangin lampion oh lampion pas bulan purnama. :* AMO MUPEEENG KAAAN?

Trus rencananya besok, sebelum jum'atan kemungkinan acaranya udah selesai sih. Terus jum'atan dulu di TKP dan langsung ke Depok. Harus langsung ngeprint skrip casting filmnya anak Cina itu trus ketemuan deh sama si Dharma dan Sheila itu. Mudah-mudahan sih gue lolos castingnya ya, semoga. Supaya bisa ke luar negeri, jadi ada kesibukan juga abis pementasan. KELUAR NEGERI BROOOOH FOR THE FIRST TIME!

Kalopun ga dapet ya, trip ke Jogja kemungkinan bakal gue coba buat sekalian ngisi waktu kenal-kenalan sama orang-orang Saturday Acting Club. Ga gede sih namanya, tapi serius orang-orangnya keren dan kayanya ga sombong dan ga eksklusif. Itung-itung sambil belajar, menambah jaringan dan melarikan diri lah dari 'lingkaran setan bernama rutinitas'. Kata Laire juga si Mas Rossa udah nanyain gue. "Mana temen kamu yang katanya mau gabung?" *Blushing*. Iya mas insya allah saya nanti dateng. Semoga saya dapet yang terbaik ya mas!

Yaudah begitu aja dulu deh. Udah setengah dua, berarti cuma tidur 2 jaaam! ERGH. (Eh, gaboleh ngeluuh). Oke. Selamat tidur. Adios!

Tuesday, April 9, 2013

Teater Sastra UI Goes To Atmajaya.






Ini jaman-jamannya gue masih kumisan, masih pendek rambutnya. Kapan ya ini?