Showing posts with label Review. Show all posts
Showing posts with label Review. Show all posts

Monday, September 30, 2013

Feelin Good, Nina?

Hello Nina,

Kemaren nama lo sempet kesebut-sebut sama gue. Soalnya ada yang nanya ke gue, bagusan mana elo atau Ella Fitzgerald atau Billie Holiday. Spontan aja gue sebut nama lo, walau diantara kalian bertiga gue juga ga begitu kenal-kenal amat sama kalian. Tapi suatu waktu gue pernah denger lo nyanyiin lagu ini, dan gue serasa James Bond. Nama lo langsung kepatri banget, walaupun gue bukan tipe orang yang cepet dan gampang ngafalin judul lagu. Makanya waktu pas dia nanya, “lagu Nina Simone yang mana?” gue langsung jawab gue lupa. Haha.

Sekarang gue ga tau lo lagi ngapain di alam barzah, sembari nunggu Allah nyelesaiin kiamat. Mungkin lo lagi nyanyi Feeling Good di depan malaikat Rakib sama Atid atau lo lagi duduk termangu bengong bosen nungguin kiamat yang gatau kapan bakal terjadi. Sabar aja deh ya. Tapi kalo misalnya lo ada waktu senggang di waktu penantian lo ini dan ada waktu ngintip orang internetan, coba deh search tumblr gue dan baca tulisan ini. Karena mulai pagi ini gue ngefans sama suara “kelam” lu, dan ga bakal ngelupain lagu lu yang ini untuk yang kedua kalinya. Hehe.

Yaudahsip. Ngopi-ngopi dulu gih sana lu.

*Cheers!*.

Link Lagu: (Di klik aja sini, ini bukan virus kok sumpah deh, beneran. Ini link ke tumblr guaa.. disini gabisa posting lagu soalnya..)

Monday, September 23, 2013

Lebaran Part 2




Bagi sebagian orang, Muntilan adalah sebuah tempat yang asing, tidak terkenal dan tidak terlalu terekspos dengan begitu baik. Sepertinya betul, jika pendapat itu muncul 10-15 tahun yang lalu dimana internet belum muncul di dunia. Bagi gue sendiri, Muntilan bukanlah sebuah tempat yang asing. Justru tempat yang asik.

Hampir setiap tahun, di masa kecil gue, gue pulang kampung ke Muntilan. Muntilan adalah sebuah kecamatan di Magelang, Jawa Tengah (15 Kilo dari Magelang, 25 Kilo dari Yogya) tempat mbah kakung dan mbah putri tinggal. Mereka adalah orangtua dari bokap gue, yang berlima-belas saudara. Tapi ketika mbah kakung dan mbah putri udah meninggal, Muntilan bukan lagi tempat kumpul-kumpul tahunan.

Baru tahun 2013 ini, kami akhirnya kembali lagi ke Muntilan dan berlebaran di sana. Well, gue ga mau nyeritain masalah remeh temeh lebarannya kaya gimana. Standarlah. Keluarga besar kumpul, Makanan enak, berkuah santan, dan berlemak ada dimana-mana. Hahaha. Di sini, gue cuma mau ngasih tau bahwa lebaran di Muntilan tahun ini adalah sesuatu yang berbeda banget daripada tahun sebelum-sebelumnya. Lebaran tahun ini membawa banyak dampak positif dari segi spiritual maupun segi sosial terutama, bagi gue sendiri.

Tahun ini, gue sholat ied di Lapangan Pasturan. Letaknya masih ada di Muntilan, tapi sebenernya, itu adalah wilayah yang kanan-kirinya banyak bangunan mirip gereja walaupun pada nyatanya itu adalah bangunan dari komplek Misionaris Muntilan. Muntilan memang dikenal sebagai pusat persebaran Katolik terbesar di Jawa Tengah, walaupun pengaruh Islam lewat Muhammadiyah juga besar disana. Jejak Katolik di Muntilan dicatat lewat persebaran yang dilakukan Romo Van Lith.

Satu hal yang bikin gue kagum adalah bagaimana Muhammadiyah bisa menjalin kekerabatan dan kekompakan dengan para warga yang umumnya beragama non-Islam (di tempat itu), dan bagaimana para warga di tempat itu sangat toleran dan sangat terbuka berbagi perayaan umat Islam ini. Bayangin aja, penggunaan sound system yang sangat banyak membuat suara takbir berkumandang dengan megah tapi warga non-Islam yang berada di sana tidak merasa terganggu, justru beberapa ada yang membantu menjadi panitia pelaksanaan Sholat Ied ini dengan menjadi juru parkir, membagi koran kepada jamaah, memberikan lahan parkir, memberikan tempat bagi jamaah yang tidak kebagian tempat sholat, dsb. Sungguh-sungguh sesuatu yang layak dipuji dan patut ditiru, ketika kita hidup dan dihadirkan pada banyaknya ormas-ormas keagamaan yang mengatasnamakan Islam sekarang-sekarang ini justru lebih mengedepankan aksi konfrontatif bagi mereka yang berbeda ideologi.

Abis sholat ied, gue masuk ke dalem komplek itu. Di dalemnya ada gereja, ada museum dan beberapa tempat belajar buat pastor dan lapangan yang diperuntukkan pada saat itu untuk parkir kendaraan jemaah yang sholat ied. Arsitekturnya masih Belanda banget, mungkin ga diubah sama sekali. Gue sempet foto-foto di sana karena mataharinya lagi bagus banget. Yaudah deh, nih beberapa foto yang gue ambil dari dalem komplek tersebut.



Patung Romo Van Lith untuk mengenang jasa beliau yang telah menyebarkan Katolik di Jawa.

Van Lith dengan latar belakang Museum Misi Muntilan

Segitu aja dulu tulisan telat gue kali ini. Hehe. Minal Aidin Wal Faidzin. Klise sih, tapi semoga kita bisa selalu toleran pada yang berbeda agama dengan kita.

Minal Aidin Wal Faidzin
*Cheers!*














Saturday, September 21, 2013

Satu Lagu Blues

Babe, I'm Gonna Leave You. I said baby, you know I'm gonna leave you. I'll leave you when the summertime. Leave you when the summer comes a-rollin. Leave you when the summer comes along. Baby, I wanna leave you. I ain't jokin' woman, I got to ramble. I believin' we really got to ramble. I can hear it callin' me the way it used to do, I can hear it callin' me back home. Babe, I'm gonna leave you

I know, I never never never gonna leave you babe. But I got to go away from this place. I've got to quit you. I know it feels good to have you back again and I know that one day baby, it's really gonna grow, yes it is. We gonna go walkin' through the park every day. Come what may, every day. It was really, really good. You made me happy every single day.

But now, I've got to go away.


#np Babe, I'm Gonna Leave You - Led Zeppelin

Tuesday, September 17, 2013

Review The Conjuring

Haaai!

Kali ini gue mau nulis sedikit review tentang film yang menurut orang paling serem di tahun 2013 ini, The Conjuring. Jadi gini, dini hari tadi gue nyobain nonton The Conjuring via DVD sendirian. Karena dari jaman-jaman liburan lebaran kemaren gue udah pengen banget nonton tapi ga kesampean juga sampe akhirnya ilang peredarannya di bioskop.



Gue emang suka nonton film horor atau misteri gitu, karena.. emm.. ya emang seru aja sih nonton film horror. Hahaha. Jadi gue ngerasa tergelitik ketika denger komentar orang-orang yang nganggep film Conjurin ini serem abis bahkan website rating film macem RottenTomatoes.com bisa ngasih nilai yang bagus untuk film ini.

Oke, jam setengah tiga pagi, gue mulai menonton film ini setelah selesai nonton berita-berita update hari itu di Trans 7. Gue nonton sendirian, karena abang ipar gue ternyata udah nonton duluan jadi dia tidur, ga nemenin gue. Bagi gue nonton sendiri atau berdua atau bertiga atau rame-rame bukan jadi soal. Justru malah lebih asik nonton film horor sendirian karena ga bakalan keganggu sama teriakan-teriakan kaget penonton lain, jadinya kita bisa lebih khusyuk dalam mengamati setiap adegan.

Oke. Setengah jam pertama gue nonton film ini, gue emang cukup kebawa atmosfir film ini yang apik. Jujur sih gue sempet kaget sekali pas Caroline diajak main petak umpet di ruang bawah tanah itu. Sekali itu doang gue kaget. Asli. Pas tiba-tiba ada tangan yang tepok tangan muncul di belakang Caroline. Tapi atmosfir itu keganggu setelah kemunculan makhluk gaib di atas lemari. Setelah itu... Buyaaar semua. Padahal film belom setengahnya main.

Entah kenapa, ini ga sesuai dengan ekspektasi gue tentang unsur film horor yang asik. Setelah kemunculan muka makhluk gaib yang nyerang salah satu anak perempuan itu, gue udah males banget nonton The Conjuring ini. Film itu terlalu jelas menampilkan perwujudan makhluk gaib yang enggak serem sama sekali. Interpretasi penonton tentang makhluk gaib (yang justru bisa lebih serem) malah diterjemahkan blak-blakan banget oleh sutradara sehingga letupan-letupan adrenalin penonton yang nebak-nebak secara subjektif tentang perwujudan makhluk gaib itu jadi enggak ada sama sekali. Buyar. Hilang.

Hal lain yang bikin kecewa berat adalah pengeksekusian ending film. Akhir film ini terlalu "mudah" bagi film yang sudah mengkonstruksikan cerita awal yang demikian ribet dan rumit. Ending film ini ga mengakhiri misteri apapun yang diceritakan di awal film. Entah ini adalah strategi produser film yang menginginkan lanjutan film ini jadi The Conjuring 2 kaya tren film Hollywood sekarang-sekarang ini, tapi akhir film ini sungguh tidak layak dijadikan ending. Oke, kalo film ini based on true story tetep aja film ini kurang menarik karena sebenernya dengan ending yang seperti itu, film ini justru baru dimulai ketika si Lourraine lagi ngejemur seprei dan tiba-tiba mendung, terus salah satu sprei terbang dan ngebentuk badan, terus tiba-tiba ada makhluk gaib di kamar dan ngerasukin Caroline, si Ibunya anak-anak. Disitulah menurut gue film The Conjuring ini baru bener-bener mulai, seolah konstruksi awal yang dibangun di awal cerita gak guna sama sekali.

Selesai nonton, kira-kira jam setengah lima pagi. Gue solat subuh, terus bobo sambil kesel. The Conjuring sama bikin keselnya ketika gue nonton film Insidious yang juga digadang-gadang film paling serem dan nyatanya enggak serem sama sekali.

Judul Film: The Conjuring
Sutradara: James Wan
Tahun Film: 2013
Produser: Peter Safran, Rob Cowan, Tony DeRosa-Grund
Genre: Horror, Mystery
Pemain: Patrick Wilson, Vera Farmiga, Ron Livingston
Durasi: hampir dua jam.

Nilai: 7.6/10

Sunday, August 4, 2013

Mudik Mudik Mulih Ndisik

Belakang (ki-ka): Mbak Yuan, Dek Ikhwan, Fauzan, Gue, Rahman. Depan: Mbak Nana


Selasa besok gue bakal mudik, gue ga yakin kalo besook masih ada waktu buat nulis-nulis. Jadinya pas lagi ada waktu kosong kaya gini, mendingan gue nulis aja kan daripada lupa. Selasa besok gue rencananya mau mudik. Yeeeaaaay. Menuju kampung halaman bokap (lagi) walau udah ga di tempat mbah kakung yang rumaahnya udah dijual karena udah tua dan hampir bobrok karena kena abu vulkanik Merapi.

Rumah itu punya sejuta kenangan sebenernya. Dari kecil kalo kita lebaran, hampir tiap tahun ngumpul disana. Kecuali kalo bokap atau nyokap gabisa. Karena di sana rumahnya gueeedeeee banget. Mbah kakung emang juragan tanah lokal yang cukup dihormati disana, dengan usahanya yang gigih dan ulet dia bisa saingan sama cukong-cukong tanah Cina yang licik-licik dan kotor itu. Selain itu, anak-anak mbah kakung juga banyak banget, ada 15an. Jadi kami bener-bener keluarga besar banget yang butuh rumah besar buat kumpul. Sekarang rumah itu udah dijual dan gue cuma bisa liat dari luarnya doang. Di samping rumah itu ada jalan menuju kuburan mbah putri yang persis ada di belakang rumah itu. Salah satu tempat yang pertama kali banget bakal dituju kalo udah ada di sana. Agenda kedua sih bakal dateng ke lamarannya Dek Ikhwan di Salatiga. Hayo yang mau ketemuan di sana, kabarin aja ya!


Kuburan Mbah Putri yang kanan dan anaknya (Paklek Djauhar) yang kiri


Lebaran kali ini gue bakal ngumpul di rumah sepupu gue yang paling tua dari semua persepupuan di trah Nurhadi dari Muntilan, namanya Mas Uud. Ga jauh kok letaknya dari rumah mbah kakung. Dua tahun lalu gue pernah iseng jalan kaki dari rumah Mas Uud ke rumah Mbah kakung, alhasil lumayan sih kaki gue kapalan gara-gara kesananya pake sendal semi-refleksi yang gue beli di bis. Hahaha.

Besok selasa, gue ke sana naik pesawat, jadi ga mungkin kan pramugarinya jualan sendal semi-refleksi. Hahaha. DUH PRAMUGARI! errrr... *noyor kepala sendiri*

Udahlah. Gitu aja. Daaah.

:D

Friday, August 2, 2013

Orange(dan) 2

Kemaren gue udah sempet cerita tentang pohon-pohon jeruk yang gue tanem kan? Barangkali lo ada yang ga percaya kalo gue bener-bener bercocok tanam saking randomnya ngabisin waktu-waktu kosong bengong bikin skripsi waktu itu, hahaha. Tapi ga usah sedih, dari kemaren pagi trus dilanjut lagi tadi pagi, gue melakukan sesi foto-foto sama si Skripsi 1 dan skripsi 2, serta satu pohon lagi yang masih bertahan hidup.

Nih hasil sesi foto-fotonya. Cuma dikit sih, tapi yaudahlah. Daripada dituduh hoax. (Siapa juga yang nuduh) hahaha.

Kenalin nih (dari kiri-kanan): Skripsi 1, Skripsi 2, Unnamed 1.

Si Skripsi 1 udah banyak daun sama cabangnya.

Ini si skripsi 2

 Mereka semua beda keluarga. Gue sendiri yang nanem bahkan lupa skripsi 1 itu jenis jeruk apa, skripsi 2 jenis apa dan lainnya jenis apa. Yang jelas waktu itu gue menanam segala jenis jeruk dan seinget gue yang pertama-tama gue tanem itu berjenis jeruk manis yang bisa buat dimakan. Entah Jeruk Ponkam, Jeruk Medan atau Pontianak. Nah sisanya yang gue tanem di pot lainnya cuma eksperimen-eksperimen gue nanem jenis jeruk lainnya. Jeruk limau, jeruk nipis dan jeruk-jeruk asem lainnya.

Masih iseng sih gue pengen nemu beberapa jenis jeruk yang aneh dan belom pernah gue temuin kaya jeruk purut, jeruk darah (yang dagingnya warna merah) buat ditanem juga. Kalo Jeruk Bali sih udah sering nemu dan gue ga minat nanem. Ga eksotik gitu, hahaha. Kalo ada jenis jeruk yang gede-gede gitu paling gue maunya nanem jeruk pepaya. Jeruk yang bentuknya kaya pepaya. Iya sih, lebih mirip kaya toket ceweknya Hulk. Gede terus ijo gitu. Hahahaha. Eh puasa ya, sori-sori.

Nih toket ceweknya Hulk. (Sumber: labuhanbatuagrocenter.wordpress.com)


Ah yaudah deh gitu aja, see you in my next story. Siapa tau gue nanti ada ide lain buat nanem cabe-cabean kan. Hahaha.

*Cheers*

Wednesday, July 31, 2013

Padamu Negeri

"Padamu negeri kami berjanji 
Padamu negeri kami berbakti
 Padamu negeri kami mengabdi 
Bagimu negeri jiwa raga kami"

                                           -Kusbini

Jadi ceritanya, dulu banget sewaktu gue masih jadi mahasiswa dan masih kemana-mana naik motor, gue pernah bengong dalam perjalanan balik dari Depok menuju rumah. Waktu itu sih sekitaran jam 12 malem. Di daerah Bambu Apus yang emang hawanya bikin bengong banget. Bukan bengong jorok atau bengong ngelamun masa depan, tapi entah kenapa random aja gue dalam kebengongan gue itu terlintas (harus mikirin) lagu Padamu Negeri. Iya men, Padamu Negeri. Lagu nasional yang sangat terkenal, sampe si pencipta lagunya kalah terkenal daripada ciptaannya sendiri.

Tapi pernah ga sih lo, merhatiin liriknya? Apa cuma sekedar nyanyi karena emang kewajiban jaman dulu disuruh nyanyi begituan waktu upacara dan ketika lo baru mau merhatiin liriknya eh lagunya udah abis?
  
Iya sih, sebenernya wajar kalo anak-anak jaman sekarang ga terlalu merhatiin lirik lagu Padamu Negeri. Ngapain? Euforia masa-masa kemerdekaan udah lewat, penjajahan di atas dunia udah dihapuskan dan sudah ditentang dimana-mana seperti yang ditulis di pembukaan UUD 1945, perekonomian kita udah keluar dari krisis, dan negeri kita sudah lama sekali merdeka dan menjadi negeri berpolitik bebas aktif. Jadi emang wajarlah ketika lirik lagu-lagu ini udah ga dilirik lagi (baca: udah ga laku). Mungkin aja, gue adalah spesies anak-anak jaman sekarang yang langka karena randomnya udah keterlaluan, sampe kepikiran aja ngelirik lagi lirik lagu Padamu Negeri di jaman dimana lirik lagu cinta-cintaan Maroon 5 udah jadi bahan apalan anak-anak SD jaman sekarang yang ngalahin apalan pelajaran..

Nah iya lagu ini sebenernya termasuk lagu cepet. Ga sampe 5 menit lagu ini udah selesai. Biasanya dinyanyiin dengan paduan suara biar bikin efek dramatis dan khusyuk. Lirik lagu ini menurut gue, cukup singkat namun padat. Cuma empat bait. Tiap bait berisi 10 suku kata, kecuali bait terakhir yang 11 suku kata. Ah, tapi lebih daripada itu, hal yang membuat gue bengong yaitu arti dan makna dari lagu ini. Ketika lo nyanyiin lagu ini, lo langsung berjanji men. Perjanjian yang sebenernya ga sadar lo ucapkan. Perjanjian untuk berbakti dan mengabdi seluruh jiwa raga bagi negeri ini.

Saat gue sadarin bahwa secara ga sadar gue udah berjanji untuk melakukan semua itu untuk negeri ini dan melihat realita bahwa udah 60-an tahun Indonesia merdeka justru banyak keterbelakangan yang belakangan ini dilakukan oleh banyak orang di negeri ini, gue justru makin bengong. Anjir. Ngapain gue mesti repot-repot janji ngurusin negeri ini yang belakangan udah ancur banget ini? Negeri yang harus gue bom nuklir dulu satu generasi dan dibangun dari nol supaya jadi bener. Negeri yang harus gue tutup dulu dari pengaruh asing dan membenahi dan membangun ideologi dan karakter bangsa supaya fundamen kebangsaan rakyatnya kuat. Negeri yang belakangan ini ga pernah mau menghargai dan ga pernah mau percaya pada kemampuan yang dimiliki masyarakatnya sendiri? 

Pesimis banget? Iye, emang. Ciri khas Pisces begitu. Tapi kepesimisan gue ini justru jadi optimisme yang lain. Optimisme bahwa nantinya ada orang yang mau mewujudkan impian gue untuk mengumpulkan dan memilih orang-orang terbaik di bidang mereka masing-masing dan memiliki integritas pada negeri ini melebihi kepentingan diri, kelompok atau partai. Mengevakuasi mereka untuk sementara waktu sambil memberikan beasiswa supaya mereka belajar lagi hingga bisa mempertajam ilmu dari bidang mereka masing-masing. Menghapuskan satu generasi yang tidak diperlukan di Indonesia ini lalu menarik kembali orang-orang terbaik itu untuk bertugas membangun lagi negeri ini dari awal. Pemikiran boleh beragam, tapi Ideologi harus satu. Supaya kita tetap berada dalam ideologi yang satu itu, perlu dibentuk sebuah desain besar terhadap arah dan tujuan negeri tersebut. Siapapun yang melenceng dari situ, dipersilakan untuk mencari suaka ke negeri yang mengakomodasi ideologi mereka. Negeri ini ga perlu penduduk yang banyak secara kuantitas, tapi kita perlu banyak penduduk yang berkualitas dan berdisiplin ideologi. Kita membutuhkan penduduk terpilih yang layak untuk berada di negeri ini dan bertanggung-jawab secara jiwa dan raga terhadap negeri ini. Kita butuh orang-orang yang tegas berada dalam rel ideologi negara dan melakukan semua kepentingan kita berdasarkan pada ideologi tersebut. Kita harus membenahi mental inferior yang sudah kadung terpatri dan jadi warisan kolonialis ini dengan cara meningkatkan kualitas dan martabat kita dengan belajar, memproduksi dan menentukan jalan negara ini sendiri.

Serem? Gue sendiri juga serem kalo misalnya ada presiden yang begitu. Tapi mending begitu sih daripada kita cuma menuh-menuhin negeri ini dengan orang-orang yang ga berkualitas. Jadi, ketika gue malem itu balik dari Depok dan sampe rumah dengan selamat, gue berdoa supaya gue ga jadi presiden. Karena kalo itu kejadian, gue bakal jadi presiden yang begitu. Masalahnya ketika lo pikirin hal sekompleks itu dari kerandoman lo dengerin lagu Padamu Negeri itu agak gimaanaaa gitu. Hahaha. Sering banget kadang kerandoman gue jadi masalah serius yang nguing-nguing di kepala gue sendiri.

Intinya, gue gamau janji apa-apa buat negeri ini. Kalo gue harus berjanji untuk melakukan bakti dan pengabdian untuk negeri ini, yang bakal gue lakukan udah gue ungkapkan tadi. Hehe. Tapi yaudahlah, berhubung gue bukan presiden, kita santai aja. Kita bakal menikmati (entah-sampai-kapan) negeri kita yang katanya indah dan berseri ini. Kita bakal menikmati keragaman berbagai macam pemikiran-pemikiran orang yang beragam tapi tidak pernah berdisiplin ikut dalam aturan, jadi bikin ancur sendiri negeri ini pelan-pelan. Kita santai aja sampe kita ketemu orang yang mau mewujudkan impian gue. Tapi lo santai aja karena nemu orang yang mau mewujudkan kerandoman gue ini mungkin mustahil.

*Cheers*

Saturday, June 29, 2013

Review Pementasan Musikal Ariah (@matah_ati)

Gue dateng ke Monas bareng Wano, Macel sama Indun. Disana kami masuk lewat pintu pameran monorel. Persis di deket parkiran Gambir. Abis itu, kami langsung bergegas menuju tempat pertunjukan persis berada di depan Monas. Kami dapet tiket Ariah hasil menang undian dari @matah_ati yang dimenangkan Wano. Doi berhasil dapet 5 tiket gratis. Tadinya kami akan berangkat berlima, ditambah Maftuh. Sayang Maftuh gabisa dateng di detik terakhir karena ada liputan mendadak.

 

Monas, baru dateng nih..

Masih sama dari terakhir gue dateng..

Nih lembar tiket Ariah..

Setelah masuk ke dalam area penonton, gue ngeliat setting panggung yang luar biasa keren dan settingan lampu yang walaupun belom nyala udah bisa gue prediksi pasti keren banget! Jadi stage itu berbentuk segitiga-segitiga yang berbidang miring dan lebar. Sehingga para penari bisa mengeksplorasi gerak dan tarian dengan jarak yang renggang. Sangat kolosal!

Selama pertunjukan, gue cuma bisa bergumam: "Anjing.. Anjing.. Anjing..!" "Tai..!" "Ngentot.. !". Gue orgasme secara audio visual ngeliat pementasan ini.. MEN!!! Si Erwin Gutawa ada dibalik orkestrasi pertunjukan ini, Jay Subiakto dibalik stage director pertunjukan ini, dan entah siapa yang berada di balik tata lampu dan video mapping pertunjukan ini itu semua adalah oknum-oknum yang paling bertanggung jawab karena gue NGENCRIT EPISTEMOLOGIS!

Karena ini bagus banget, gue gabisa cerita lebih lanjut. Faak! Gue kasih gambar-gambar dari foto gue aja ya.. Bodo amat lah resolusinya jelek.. Hahaha.



Monas dan Stage Ariah

Tata Lampu yang kontoool!


Dengan Video Mapping, stage lebih keliatan kontoool!

Monas bisa begini..








Ini adegan paling keren.. Gue sebut ini sinar Cyclops!



Friday, June 28, 2013

Dan Pemenang Aktris Pembantu Terbaik Jatuh Padaaaaa....

"CHAINSAW MAID with a sprinkle of Lux Aeterna.."



Ini adalah salah satu stopmo animation yang ceritanya sederhana sekali. Ceritanya cuma tentang bagaimana seorang pembantu rumah tangga menyelamatkan keluarga tempatnya bekerja dari serangan zombie, dengan sebuah senjata: gergaji mesin. Lumrah? Iya. Lumrah banget sih cerita gini, senjata gini dan lalalilinya. Terus apa yang bikin bagus menurut gue adalah imajinasi si pembuat film dalam menggarap film sederhana ini. Bagaimana imajinasi liarnya bisa diterapkan dalam film. Tidak sesuai dengan norma dan kebiasaan sosial? Ga jadi masalah. Justru kevulgarannya ini yang sangat asyik!

Wednesday, June 19, 2013

#

Cradle Song

Golden slumbers kiss your eyes,
Smiles awake you when you rise ;
Sleep, pretty wantons, do not cry,
And I will sing a lullaby,
Rock them, rock them, lullaby.
Care is heavy, therefore sleep you,
You are care, and care must keep you ;
Sleep, pretty wantons, do not cry,
And I will sing a lullaby,
Rock them, rock them, lullaby.

- Thomas Dekker (1572-1632 / England)

Saturday, June 8, 2013

Unek-Unek Dikit.

Kecuali Andik dan Boaz,

Kepada Yang Saya Hormati Seluruh Pemain Tim Nasional Indonesia dan Jajaran Staff (Pelatih dan Manajer);
La Nyala Matalitti Cs. (Oknum-oknum yang paling bertanggungjawab atas carut marutnya kompetisi sepakbola lokal di Indonesia sehingga menghasilkan pemain bermental tidak kompetitif); dan Djohar Arifin (Ketua PSSI, sama bertanggungjawabnya atas carut marutnya prestasi tim nasional sepakbola Indonesia).

Maaf, saya tidak akan menggunakan paragraf ini sebagai paragraf pembuka berisi basa-basi. Setelah menonton pertandingan persahabatan antara Indonesia lawan Belanda, saya ingin sekali mengucapkan sesuatu untuk anda sekalian: Bikin malu bangsa, lu semua!

Kepada para pemain, saya harap anda tidak tersinggung dengan tulisan saya berikut ini, mengingat semua keringat yang telah kalian kucurkan demi membela tim nasional. Tapi saya takut, keringat yang kalian keluarkan semua di atas lapangan tadi hanyalah demi membela ekonomi keluarga. Karena saya tidak melihat adanya kemauan kalian untuk bermain mengimbangi permainan Tim Nasional Belanda. Saya tidak melihat mental jago sepakbola kalian (kecuali Andik dan Boaz) yang selalu kalian perlihatkan di kompetisi lokal ketika kalian bermain melawan pemain tim nasional Belanda. Dimana itu semua? Apa memang hanya uang yang ada dibalik keringat kalian semua? Atau sekedar keinginan untuk bertukar jersey asli tim nasional dengan pemain Belanda idola kalian menjadi satu-satunya motivasi kalian bermain?? Sekali lagi, permainan kalian mengecewakan. Terbukti, kemampuan kalian yang luar biasa hebat di kompetisi lokal sangat melempem jika melawan tim nasional yang para pemainnya memiliki mental-mental hebat. Segini sajakah kemampuan kalian? Terutama untuk para pemain asing yang sama sekali tidak memiliki darah Indonesia dan berani-beraninya bermain untuk tim nasional. Saya pikir, kalian sama sekali tidak membantu tim nasional kami bermain lebih baik dan memberikan perubahan yang berarti untuk prestasi tim nasional kami. (Kepada seluruh pemain) Jika anda masih memiliki waktu di tim nasional, saya pikir gunakanlah waktu itu untuk kalian berikan kepada pemain-pemain lain yang memiliki kemampuan lebih baik daripada anda atau untuk pemain-pemain muda menambah jam terbang internasional. Kalian adalah keterwakilan saya dalam lapangan sepakbola. Kalian adalah wakil saya dalam cabang sepakbola. Seharusnya, ketika kalian telah menggunakan jersey tim nasional, tanggungjawab itu harus kalian tanamkan sedalam-dalamnya dalam benak anda semua. Sehingga, kebanggaan untuk menggunakan jersey tim nasional itu bisa menjadi semangat kalian melawan tim manapun di dunia ini. Saya percaya, kebanggaan para pemain Iraq menggunakan kostum tim nasional sehingga mereka bisa Juara Asia (walaupun negara mereka berada di tengah krisis, porak-poranda karena perang dan ditengah minimnya fasilitas sepakbola seperti stadion bertaraf internasional yang tidak mereka miliki) bisa menjadi inspirasi kalian. Kalian memiliki segalanya di negeri ini, tapi saya takut materi yang disediakan untuk anda di negeri ini membuat kalian menjadi manja dan tidak mampu bersaing dengan tim lain.

Kepada para staf pelatih dan manajer tim, saya harap anda juga tidak tersinggung dengan tulisan saya berikut ini. Anda terpilih dalam waktu yang sangat singkat. Saya bisa memaklumi kualitas komunikasi dan taktik yang tentu akan sulit dimengerti oleh para pemain tim nasional yang belum pernah melakukan kerjasama dengan kalian. Tapi kalian memiliki beberapa pemain yang sudah kalian percayakan mampu membawa taktik itu berjalan sempurna. Namun, apakah terus menerus bertahan dan membuang bola ketika pemain mendapat bola adalah salah satu taktik yang kalian ajarkan kepada para pemain tim nasional? Kalian tentu memahami bahwa postur-postur pemain tim nasional Indonesia relatif pendek ketimbang pemain-pemain tim nasional Belanda, tapi mengapa kalian tidak melarang pemain Indonesia melakukan umpan lambung dan umpan jauh? Dan mengapa kalian tidak mampu mengantisipasi bola-bola umpan atas yang menjadi kelemahan tim nasional kami?? Sekali lagi, tentu saya memahami bahwa ini semua sudah pasti kalian pikirkan sebelumnya. Tetapi saya memang tidak bisa terlalu menyalahkan kalian ketika keterpilihan kalian dilakukan mendadak dan kalian hanya diberikan materi pemain-pemain yang memiliki kemampuan teknik, mental dan intelektual yang terbatas. Waktu masih terbuka sangat lebar, tentunya kalian memiliki waktu untuk berbenah dan mengevaluasi diri dan taktik-strategi. Semoga kedepannya kalian mampu meracik dengan baik dan tidak lagi mengulangi kesalahan hari ini: Membuat malu bangsa Indonesia.

Kepada La Nyalla Mataliti dan Djohar Husein. Apakah anda sudah puas dengan hasil ini? Saya harap satu diantara kalian, berhenti untuk mengeksploitasi sepakbola di Indonesia ini menjadi komoditas ekonomi semata. Anda sudah tentu menyaksikan bahwa kompetisi yang anda gadang-gadang sebagai kompetisi terbaik setanah-air nyatanya hanya mampu menghadirkan juara-juara melempem saja. Kompetisi anda gagal menghasilkan tim profesional yang terbebas dari anggaran pendanaan daerah. Kompetisi anda gagal independen dan bebas dari kepentingan politik, saat beberapa klub nyatanya masih dibiayai atau menjadi kendaaraan politik pejabat daerah/partai. Kompetisi anda gagal menghadirkan pemain-pemain berkualitas yang memiliki mental bermain selevel dengan pemain dunia dan determinasi yang kuat. Kompetisi anda gagal membina pesepakbola muda menjadi pemain yang siap menjadi tulang punggung tim nasional. Kompetisi anda gagal menghadirkan tim nasional yang kompetitif. Saya tidak tahu mana dari antara kalian yang merasa tersindir dengan kalimat saya. Semoga sindiran saya tidak ditanggapi dengan negatif, karena nilai sindiran yang bermuatan positif. Saya sangat mengapresiasi kempampuan lobby anda semua bisa menghadirkan tim latih tanding yang berkualitas bagi tim nasional sehingga mampu membuat para penonton senang melihat banyak pemain kelas dunia yang bermain di Indonesia. Namun itu saja tidak cukup. Saya tidak ingin lagi disenangi dengan kesenangan semu dan palsu. Saya sudah muak dengan kekalahan dan kekalahan. Kekalahan tetaplah kekalahan, mau itu diterima saat melawan tim nasional dunia atau tim nasional amatir. Bagi saya, kita (khususnya kalian) sudah seharusnya berhenti berpikir demikian: bahwa kalah melawan tim dunia adalah sebuah kewajaran. Sudah saatnya kita bangkit menjadi tim nasional yang disegani di dunia! Tapi selama hanya kekalahan yang kita dapatkan, saya rasa kita tidak akan pernah belajar dan mengevaluasi tiap kekalahan tersebut, sehingga untuk apalah semua hal yang sudah kalian lakukan kecuali uang yang kami berikan dan mungkin mampir ke kas anda semua. Sistem yang selama ini hadir sama sekali tidak berjalan, LALU DIMANA REVOLUSI ITU?

Untuk kita semua, termasuk saya. Jangan berhenti bermimpi. Jangan berhenti mengkritik. Kita pasti bisa menjadi bangsa yang disegani dunia!


Tertanda,


Nihaqus Yuhamus
Seorang Penggemar Tim Nasional Sepakbola Indonesia.

Friday, May 24, 2013

Abis Nonton Pementasan Rajam (English Art Lab)

Pendahuluan
Rajam (23/5) merupakan drama yang bercerita tentang Dara dan Safia. Keduanya merupakan korban pemerkosaan walau dengan latar belakang yang berbeda. Keduanya, ingin mengungkapkan pandangan masyarakat tentang "mitos" ketubuhan perempuan. Persepsi-persepsi yang akhirnya mengakar dalam pandangan masyarakat, menjadi hukum yang menjelma secara sepihak. Persepsi-persepsi yang menjelma 'rajam' bagi korban. 'Rajam' yang lebih panas dari dera cambuk dan lebih keras dari lemparan batu.




Gue duduk paling depan, jaga-jaga kalo vokal pemain ga kedengeran banget karena membludaknya penonton. Gue duduk deket sama tukang musik. Sekedar info aja, Ini auditorium rame banget! Super rame. Penonton membludak. Panitia dan LO dalam beberapa menit masih sibuk untuk mengatur duduk penonton sambil mungkin menunggu beberapa undangan yang belum datang datang.

Sambil menunggu selesainya persiapan panitia, gue mau sedikit mengulas settingan panggung. Setting panggung dibagi tiga: Setting warung di sebelah kiri, setting ruang tidur di tengah belakang, ada sebuah level kotak panjang di tengah depan dan ruang keluarga di kanan.

16.32 WIB
Pertunjukan Rajam yg disutradai Herlin Putri dan Rahadian Adetya yg menurut sutradara dipentaskan untuk mengangkat isu-isu keperempuanan khusunya kasus perkosaan dan sepuluh persen tiketnya disumbangkan untuk korban perkosaan ini, siap dimulai.

Pertunjukan dibuka dengan setting warung yang berisi Geng AADC. Diisi dengan pembicaraan-pembicaraan tentang peraturan-peraturan diskriminatif yang dihadirkan oleh sekolah dan berlanjut ketika Dara bertanya pada Nadia tentang pengalamannya pertama kali bersetebuh dan membicarakan tentang sobekan selaput dara. Sebuah pembicaraan anak-anak Sekolah Menengah yang memang sangat umum sekali di jaman ini. Rasa penasaran dan keingintahuan yang hanya bisa didapatkan melalui pengalaman karena mungkin bagi gue hal tersebut masih merupakan ketabuan yang belum boleh diangkat kepermukaan, tidak boleh diperdengarkan. Bahkan keluarga dan sekolah sebagai tempat yang seharusnya memberikan pengetahuan akan ketubuhan ini semenjak dini terus menerus merepresi dengan bahasa-bahasa yang mengaburkan. Ini bisa terlihat ketika ada seorang tokoh yang selalu merespon dengan tidak biasa ketika kata-kata seperti "selaput dara". Adegan pembuka ini, menurut gue sukses dibawakan dengan apik.

Adegan lalu beralih ke monolog Safia. Safia adalah sosok yang bercerita. Bercerita tentang latar belakang keluarganya. Tentang ibunya yang meninggal dan mulut-mulut ibu-ibu tetangga yang masih saja membicarakan tentang "kenistaan" ibunya.  Disini Tiyul mencoba bermonolog dengan baik. Memainkan monolog, menurut gue sangat susah. (Kali ini gue ga somay coy.. Gue bisa bilang begitu karena gue pernah mainin monolog juga). Usaha Tiyul emang patut diacungi jempol di adegan Safia pembuka ini. Banyak perpindahan ekspresi dan perpindahan tokoh masih kurang smooth. Ada part yang harusnya bisa bikin merinding kalo saja Safia bener-bener nangis di bagian ketika Safia kehilangan "tangan" ibu dan merasa kasihan ketika melihat ayahnya untuk pertama kalinya menangis (saat kehilangan istrinya).

Adegan Rumah Dara:
Bukan. Ini bukan adegan bunuh-bunuhan oleh oknum jual-beli organ tubuh kaya film Rumah Dara. Ini adalah adegan dimana Dara, seorang siswi sekolah yang ada di geng AADC itu ternyata hamil. Bapak, seperti umumnya cerita kebanyakan, marah-marah dan menyalahkan pihak-pihak perempuan di keluarganya: Ia menyalahkan anaknya yang ga berpikir sebelum melakukan seks bebas dan ia menyalahkan istrinya yang ga bisa mengendalikan kontrol atas rumah. Sementara ia, sebagai kepala keluarga menganggap ia bekerja untuk mengisi segala kebutuhan atas rumah, sehingga kewajibannya hanya mencari uang bukan mengurus anak.

Di adegan ini geraman si bapak tidak terlihat dikepalan tangannya. Kepalan tangannya tidak bergetar seperti layaknya seorang bapak yang benar-benar murka, bukan lagi marah, karena menanggung malu karena anaknya hamil di luar nikah. Si Bapak kuat dengan suaranya yang terjaga, namun hal tersebut yang tidak bisa diimbangi oleh si Ibu dan si Anak. Di Adegan ini suara ibu beberapa kali tertutup oleh lenguhan yang justru membuat dialognya tidak terdengar jelas. Oh, dan satu catatan di adegan ini: Wardrobe Malfunction. Tim kostum seharusnya bisa memperhatikan lagi penggunaan kostum tokoh, karena kesalahan-kesalahan kecil seperti baju yang menyingkap bisa jadi distraksi pada penonton. Tapi keseluruhan adegan cukup menarik.

Adegan Safia part II:
Disini karakter Safia kedodoran, terlihat ucapannya keluar karena usahanya mengingat-ingat dialog. Di part ini masih ada adegan-adegan yang nanggung dan terlalu panjang bertele-tele. Tapi gue bener-bener bisa memahami apa yang dimainkan Tiyul bukan sesuatu yang mudah. Bagaimana dia harus mengingat sambil memainkan gerakan dan karakter-karakter berbeda menjadi satu. Butuh keluwesan dan porsi latihan berbulan-bulan untuk bisa menghasilkan sebuah monolog yang bagus. Gue apresiasi betul usaha Tiyul bermonolog ini, semoga ini bukan yang terakhir aja.

Adegan AADC part II:
Adegan ini berisi oleh geng AADC yang menyadari berita kehamilan Dara. Salah satu karakter menyalahkan pengaruh buruk yang dibawa oleh Nadia dan perempuan-bermulut-sumur itu. Tidak mau disalahkan, Nadia malah menyalahkan Robby, pacar Dara yang menjadi biang keladi semuanya. Kenapa Dara yang menjadi korban justru dinonaktifkan sebagai siswa di sekolah, sementara pelaku masih bebas berkeliaran. Masuknya tokoh Robby justru mengungkap sebuah rahasia, bahwa selama ini si perempuan-bermulut-sumur ternyata berkomplot dengan Robby dan membuat semacam taruhan.

Di adegan ini blocking pemain kacau balau. Pemain belum terlalu sadar blocking dan lighting sehingga mereka hanya berkumpul dan menjadi rusuh di panggung. Sama sekali tidak enak ditonton. Tampak dalam adegan ini, pemain masih belum terlalu di tata untuk menyadari "blocking "dan pengaturan pergerakan pemain juga masih terlalu bebas dan liar. Teriakan-teriakan yang timpa-timpaan a la anak SMA juga beberapa kali mengganggu. Sebetulnya teriakan-teriakan pas berantem itu menguatkan adegan ini, tapi berhubung gue ga terlalu suka sama berantem-berantem mulut gitu jadinya bagi gue mengganggu hehehe.

Ada beberapa hal yang menjadi gangguan adalah kebocoran-kebocoran lampu. Pada tiap perpindahan adegan, lampu terlalu cepat menyala, sehingga ketika Safia belum selesai duduk, adegan Dara-Orangtua sudah mulai. Sama ketika adegan Dara belum selesai sampai di tempat tidur, adegan Safia udah dimulai. Lalu ketika adegan Dara dan Safia sudah berdiri di depan dan bermonolog, lampu di bagian rumah nyala sehingga mendistraksi penonton. Menurut gue, setting kamar tidur Dara juga terlalu boros. Setting itu, tidak dipergunakan sama-sekali kecuali kasur (sebagai tempat Dara duduk) dan vas bunga (sebagai alat Dara). Dengan adegan yang hanya seperti itu (Monolog Dara), setting kamar sama sekali tidak diperlukan. Monolog Dara sebenarnya bisa dimulai di sofa rumahnya, tanpa harus membuat setting baru. Menurut gue, justru lebih baik setting yang di tengah itu sebagai ruang eksplorasi Safia.

Secara keseluruhan, pementasan ini bisa saya tangkap sebagai pementasan "Perempuan yang berbicara tentang perempuan-perempuan sebagai agen patriarki". Agen-agen yg meneruskan tradisi patriarki lewat ucapan-ucapan, aturan yang harus dipatuhi dan yang masuk sebagai kekerasan simbolik. Ucapan-ucapan dan aturan-aturan tersebut terlihat seolah-olah sebagaimana naturalnya/mestinya/normalnya perempuan berlaku dan berbusana. Ucapan-ucapan yang terlihat sebagai sesuatu yang lazim dalam masyarakat. Ketika para perempuan menuruti kekerasan-kekerasan simbolik yang dihadirkan dalam budaya-budaya yang sudah kadung melekat dalam masyarakat dan tanpa ada sesuatu pun yang menahan mereka untuk meneruskannya kepada generasi-generasi setelahnya maka para pemempuan tersebut telah serta-merta menjadi salah satu agen yang menumbuhsuburkan budaya partriarki.

"Rajam" menurut gue justru menyerang perempuan-perempuan agen ini. Mereka yang dengan tanpa sadar melestarikan diskriminasi pada kaum mereka sendiri. Yang tanpa sadar justru meng-subordinatkan posisi mereka sebagai posisi kelas dua dalam masyarakat. "Rajam" adalah stigma-stigma yang dilekatkan oleh perempuan 'baik-baik' kepada perempuan 'yang-tidak-baik', ucapan-ucapan tendensius dan menghukum. Mulut-mulut jahat deh kalo bahasa anak Kansas.

Namun fondasi-fondasi yang diangkat dalam pementasan tentang korban pemerkosaan sayangnya ditutup dengan pilihan akhir cerita: bunuh diri. Menjadikan korban perkosaan, yang dicoba untuk diangkat di pementasan ini merupakan makhluk yang lemah dan tidak bisa kuat menentang diskriminasi-diskriminasi yang hadir dalam masyarakat.

Segitu dulu ulasan singkat, saya abis nonton pementasan rajam. Semoga gak keliatan sotoy aja deh dan bahasanya tetep bisa dicerna orang banyak.


*Cheers*





Wednesday, May 22, 2013

Review Pergelaran Tari "Luka" (Avie Rajanti Putri)

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI khususnya Program Studi Sastra Inggris memiliki sebuah mata kuliah wajib yang dulunya bernama Kajian Drama Sebagai Teater. Gue beberapa kali pernah ikut membantu produksi mahasiswa-mahasiswa yang ambil kuliah KDST, walaupun bukan sebagai mahasiswa yang pernah ikut ambil mata kuliah tersebut. Hal itu karena dosen KDST, Iswahyudhi Soenarto atau akrab dipanggil Mas Yudhi merupakan ketua geng Teater Sastra UI meminta agar beberapa anggota Teater Sastra membantu produksi KDST.

Tahun ini, KDST berubah nama menjadi Kajian Budaya Pertunjukan -sesuai dengan pidato pembuka Mas Yudhi sebelum pergelaran tari Luka. Perubahan ini mungkin saja dikarenakan agar mahasiswa tidak melulu menjadikan teater verbal sebagai satu-satunya produk akhir KDST. Oleh karena itu dengan perubahan nama ini, pergelaran tari "Luka", yang oleh Mas Yudhi juga disebut teater-gerak-non-verbal bisa tetap dipentaskan.

***

Gue memang udah niat banget dari semingguan yang lalu buat jaga kesehatan supaya tetep fit. Masalahnya, dalam dua minggu ini ada lima acara Pertunjukan seni yang dipentaskan di FIB UI. Pertama, pementasan Teater Agora (15/5); kedua pergelaran tari Narthanna Budaya (17/5); ketiga pementasan Teater Pagupon (20/5); keempat pergelaran tari Luka (22/5); kelima pementasan English Art Lab (23/5). Selain jaga kesehatan badan, gue juga harus pinter-pinter jaga kesehatan keuangan, men. Masalahnya dalam dua minggu itu, duit Rp 80.000,- sudah melayang begitu saja. Fufufu~ Oke gapapa. Nah, sekarang nih gue mau review Pergelaran Tari Luka yang dipentaskan sebagai hasil akhir mahasiswa-mahasiswa kelas KBP (Kajian Budaya Pertunjukan).

Gue masuk Auditorium sekitar jam empat lewat, karena gue lupa persisnya gara-gara ga liat jam. Kali ini, gue masuk bareng Etep, sahabat seangkatan gue dari mahasiswa. Kami berdua emang ngefans banget sih sama Avie, sutradara pergelaran tari Luka ini sebelum-sebelum pertunjukan ini diadain. Nah, sedikit kasih info tentang pergelarana ini, pergelaran tari ini termasuk dalam rangkaian EAL Arts Festival 2013: Sulap Sastra dan pergelaran tari ini gratis alias tanpa biaya. Pas masuk, gue liat Auditorium cukup ramai mungkin karena ga dipungut biaya atau juga karena banyak temen-temen yang ingin support dan nonton Avi atau penampil yang lainnya. Cuma sayang banget, ga ada semacam guide book tentang pergelaran tari ini (kan gue mau tau siapa tim produksinya bla-bla-bla).

Tata panggung sangat sepi. Tidak ada layar dan level. Benar-benar hanya panggung kosong tanpa properti berat apapun kecuali gantungan dedaunan plastik di atas panggung dan properti ringan lain. Tata lampu cukup sederhana, hanya beberapa lampu par 36 ditambah dengan lampu follow spot berwarna putih. Jika gue bandingin tata lampu pergelaran tari ini dengan pergelaran tari Narthanna Budaya sepekan sebelumnya, memang ibarat langit dan bumi. Di pergelaran tari Narthanna Budaya, permainan lampu sangat atraktif karena ditambah banyak lampu-kepala-goyang (Moving Head). Pergelaran Narthanna Budaya kemaren tuh kalo masalah permainan tata lampu bisa gue bilang yang paling juara!

Untuk masalah tata musik, gue bilang tata musik di pergelaran tari Luka ini sangat-sangat-sangat disiplin dan bermain dengan rapi. Gak kedengeran berlebihan dan kekurangan. Pas banget buat mengisi nuansa dan rasa pementasan. Gua acungi jempol buat Joni sama Rian yang udah jadi konduktor pemusik yang apik. Cuma sayang aja sih, speaker untuk musik suka timbul tenggelam. Maksudnya, kadang speaker kanan nyala yang kiri mati. Kiri nyala, kanan yang mati. Cuma kekurangan teknis itu ga mempengaruhi pementasan secara keseluruhan.

Nah, mulai deh kita review buat pergelarannya. Pergelaran Luka ini mengambil kisah Bawang Putih dan Bawang Merah. Semua tarian merupakan bagian-bagian yang menceritakan kisah Bawang Putih dan Bawang Merah, dengan alur yang diceritakan oleh seorang narator gaib. Selama pergelaran berlangsung beberapa scene di dominasi oleh tarian Avie (yaiyalah jagoannyah...) sebagai Bawang Putih dan Manda sebagai bawang merah. Beberapa scene juga memperkenalkan beberapa tokoh seperti teman-teman Bawang Merah, teman-teman Bawang Putih, Peri Hutan dan Binatang-binatang serta Ibu pemberi Hadiah. Pergelaran tari ini hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali kecuali teriakan dan tawa. Yang paling menarik dari pertunjukan ini adalah para penari tidak sekedar memainkan gerak tubuhnya, namun mereka juga menunjukkan emosi gerakannya dengan ekspresi muka. Avie misalnya, bisa memainkan mimik yang sangat kontras ketika ia kesakitan, ketakutan, sedih, marah, dendam, dsb. Beberapa ekspresi-ekspresi Avie bikin gue merinding sih. Lalu Manda yang jadi Bawang Merah, walaupun gerakannya masih keliatan ragu-ragu di beberapa kesempatan, bentuk muka dan make-up nya sangat-sangat membantu dia untuk memainkan tokoh antagonis di pertunjukan kali ini. Ekspresi-ekspresi itu yang membuat tiap gerakan bernyawa dan ga cuma buang-buang gerakan doang. Naik turunnya emosi kisah cerita dan para penari juga sangat dibantu dengan permainan tata lampu yang smooth dan musik. Jago.

Scene yang paling menyenangkan sekali ya scene peri hutan dan binatang-binatang. Walaupun gerakan tariannya sangat sederhana dan masih belom terlalu kompak, keceriaan yang dibagikan untuk penonton sudah sangat sampai. Tapi tetap, scene terfavorit saya adalah ketika Avie buta dan saya dengan detail memperhatikan jari-jari kaki Avie setiap dia bergerak. Luar biasa! Kayak ngeliat kelingking-kelingking lagi jalan-jalan kecil. *duh gimana ya bahasa enaknya...* Alhasil, pertunjukan yang cukup sebentar tersebut tetap mengasyikkan dan gue bisa nikmatin. Benar-benar bikin nambah kagum sama Avie dkk.

Hmm, Segitu dulu aja deh review-nya. Sukses Avie dkk. Ditunggu lagi pergelaran tari selanjutnya.

*Cheers*

Nih posternya nih.. dari @englishartlab

Baru mulai nih..

Para temen bawang putih yang nyimpen lipstik di lipetan BH.


Rule 1: Bawang Putih, kalo bobo harus tetep cakep.
Dadaaaah!

Tuesday, May 21, 2013

Review Bulan Bujur Sangkar (Teater Pagupon)

Halo-halo!
Begini sebelumnya gue mau kasih sedikit pendahuluan. Senin ini (20/5) IKSI alias organisasi kemahasiswaannya Sastra Indonesia UI berulang tahun yang... wah udah tua banget deh pokoknya. (Biasanya kalo udah tua banget pantang nyebut umur, katanya sensitip). Nah dalam perayaan ulangtahunnya itu, mereka membuat sebuah acara bernama "Indonesia Tebar Pesona". Dalam rangkaian acaranya itu, ada penampilan sebuah geng (buseet geeeng) hahaha maksudnya ada penampilan grup teater yang berada di bawah pengetahuan IKSI. Grup tersebut bernama Teater Pagupon. Teater Pagupon merupakan salah satu Teater yang dituakan di Fakultas Ilmu Budaya UI (dulu namanya Fakultas Sastra UI), selain Teater Sastra UI tentunya, dan rutin mentas di kampus FIB UI. Dua pementasan terakhir mereka yang gue tonton yaitu Malam Jahanam (karya Motinggo Boesje) dan Mati Suri di Jakarta (kerya Rebecca Kezia). Pada Senin kali ini, mereka mementaskan pementasan berjudul Bulan Bujur Sangkar, naskah karya dari Iwan Simatupang dan disutradarai Sinyo Nantogog (Nanto).



Diambil dari @teaterpagupon

Oke, pendahuluannya kelar.
Sebelum masuk ke gedung pertunjukan, Yoga manggil gue dari arah gedung 1. Bukan. Bukan Yoga Mohamad karib gue, tapi Yoga anak Prancis yang waktu lalu pergi ke Senen bareng gue. Disitu dia lagi nongkrong sambil ngerokok nungguin para pemain lagi nyanyi-nyanyi-nyamain-frekuensi. Pementasan ngaret dari waktu seharusnya. Di poster dan berbagai media promosi, dinyatakan bahwa pementasan akan dimulai pada pukul 15.00 WIB. Tapi ternyata baru main jam 16.30 WIB.

Menjelang jam setengah lima, panitia udah manggil-manggil para pemain untuk stand by. Gue nunggu si Anas, temen angkatan gue buat kasih semangat. Sempet juga gue foto bareng sama Anas sebelum manggung. Mukanya masih acak-acakan dikasih cat Latex. Ini bukan Hoax. Nih kalo ga percaya:

Sebenernya lebih acak-acakan muka gue sih. Maap.

Setelah itu gue langsung menuju gedung pertunjukan. Dengan harga tiket yang ga mahal (Rp 20.000) gue masuk bareng Yoga. Setelah masuk auditorium gedung IX, kami pisah. Gue menuju arah kanan dan ambil tempat buat duduk di tangga belakang kanan. Posisi itu bagi gue adalah tempat paling pewe buat nonton, alesannya? Simple. Karena ada tiang/tembok yang bisa disenderin kalo ntar tiba-tiba bosen nonton. *Kok tiang, Haq?* *Iye sih berisik amat lu nyindir pundak cewek buat disenderin* *Sensitip* *maap*

Pas gue masuk, pementasan belum dimulai. Masih ada enam orang yang ada di atas panggung dan sedang lalalili ngobrol barangkali MC dan para peserta di acara sebelumnya, atau barangkali juga lagi ada acara bagi-bagi sertifikat. Di dalem, gue ketemu beberapa anak Teater Agora tapi emang sengaja ga gabung karena udah dapet tempat pewe sementara yang lainnya pada duduk di tengah kanan. Sambil nunggu acara pementasannya mulai, gue sibuk whatsapp sana-sini biar pada gabung ikut nonton. Suasana auditorium, menurut gue cukup ramai-ramai-sepi. Ga membludak kaya pementasan Teater Masa Lalu waktu itu. Indikasinya? masih ada cukup ruang di Auditorium buat penonton nonton sambil guling-gulingan. Apalagi salto. Barangkali karena di luar cuaca tiba-tiba hujan besar juga kali ya jadinya banyak orang juga pada terjebak ga bisa nonton. (Ya gapapa sih terjebak ujan daripada terjebak masa lalu).

Makin lama, makin banyak lagi penonton yang masuk. Tadinya disamping gue cuma ada tiang sama tembok. Tapi abis itu Tasi anak JIP 2009 sama Intan "Galau" PL anak Belanda 2009 nyamperin duduk bareng. Masih sempet ngerokok sebatang dulu disitu sebelum gue nemu ada tulisan "Dilarang Merokok" di Auditorium. Para pengisi musik dan penyanyi-penyanyinya Pagupon juga masih check sound,

Dan akhirnya... Pementasan akhirnya diumumkan akan segera dimulai oleh suara perempuan yang ghaib.

Jreng-jreeeng!

Gue sudahi dulu ya cakap-cakap basa-basinya. Langsung aja gue mulai reviewnya *mulai rada serius*
Oke, pementasan Teater Pagupon kali ini dilihat dari settingan panggung, cukup sederhana. Di panggung, hanya ada sebuah tiang gantungan besar di tengah disusun atas beberapa level, sementara kanan dan kirinya terdapat "batu-batu" besar yang juga disusun dari beberapa level. Sisanya, ornamen-ornamen kecil untuk menghiasi setting tiang gantungan dan batu-batuan. Di belakang, ada tiga layar panjang yang terpisah. Satu di bagian kanan, satu dibagian tengah dan sisanya di kiri. Lampu-lampu di dominasi warna merah dan kuning. Ada sembilan mic kondensor yang tergantung dan tiga mic yang berada di depan panggung. Secara visual, settingan panggung ini, walaupun cukup sederhana, benar-benar memunculkan suasana yg muram dan suram.

Jangan bicara tentang isi cerita, karena ada beberapa hal yg merusak gue untuk masuk mengevaluasi isi cerita. Teater Pagupon memang dikenal memiliki kekuatan di bagian musik dan latar suara, namun kali ini gue pikir sisi itu perlu mendapat kritik gue. Musik menabrak permainan dialog pemain, sementara vokal pemain dibawah standar. Tabrakan kerasa terjadi ketika ada musik yang berlirik menabrak dialog yang sedang diucapkan pemain. Sementara gak ada upaya kedua belah pihak untuk saling mengalah, entah volume suara musik yang dikecilkan atau volume suara pemain yang dinaikkan. Tapi dibalik setting suara musik yang terlalu besar, vokal pemain juga sangat mengkhawatirkan. Terlalu kecil untuk didengar padahal dialog-dialog dalam drama ini sarat arti dan filosofis. Sayang sekali 9 kondensor menggantung tak membantu vokal-vokal dan artikulasi hampir kebanyakan pemain. Fatal banget. Karena itu, tersiksa banget gue saat nonton plotnya Becca dan yang anak muda bawa senapan itu sambil usaha banget dengerin dialog-dialog yang dilalap sound musik.

Menurut gue, permainan baru dimulai, saat Annas mulai bermain. Terlepas dari kekariban gue dengan Anas, tapi secara objektif hanya suara vokal Annas yang mampu melebihi suara pemusik. Memang begitulah standarnya menurut gue. Segitu sangat pas dan ga boleh turun lagi. Nah, ketika masuk adegan dimana cowok yang tinggi badannya kaya Karim Abdul Jabar sama perempuan yang pake kerudung itu berdialog, gue melihat mereka berdialog tanpa rasa. Mereka ragu pada isi dialog dan kurang keyakinan, maksudnya mereka keliatan cuma asal ngomong aja gitu bukan yang ngomong sambil ngerasain arti dialognya gitu.. *masalah rasa, ya gue agak sok tau sih, tapi emang berasa aja* Nih, Bahkan tawa si Karim Abdul Jabar aja terasa hampa dan datar. Ketawa-ketawa yang ga dari dalem hati. Abis itu.. Ada perempuan yang masuk di plot Annas. Dia terlalu banyak mengayunkan tangannya dan menjadi berlebihan. Harusnya ia lebih disiplin menjaga gerak tangannya sendiri.

Dari segi keaktoran, gue bisa bilang baru Annas yang memenuhi standar keaktoran. Becca suaranya masih ketiban musik, *kesian... kan berat* Tapi gerakan-gerakan dan silent actnya udah bagus. Sisanya, masih butuh jam terbang lagi untuk main teater. Yang mesti dievaluasi banget sih ya feel in musiknya aja. Ga mesti diisi musik keseluruhan sih menurut gue. Karena ada beberapa part musik yang justru ngacaukan adegan dan ada beberapa part yang lebih baik sunyi ketimbang harus ada musik. Terus tadi gue paling keganggu sama suara biola sih. Hehehe. Di beberapa part, suara biolanya bisa bikin tersentuh. Tapi kadang suka kelebihan aja porsinya. Harmonisasi suara penyanyinya patut diacungi jempol. Bagus. Trus tadi ada Sound effect pemberian alam: Gledek pas Annas mau gantung kepalanya.

Semoga review dari gue ini bermanfaat dan semoga ga kedengeran sok tau atau sok jago ya.. Untuk pihak-pihak yang ga suka dengan isi review ini, silakan langsung ngobrol aja biar ga slek. :D

*Cheers*

Sunday, May 19, 2013

Dulu Gue Ga Percaya Pas Adan Bilang

"Biasanya, cewek yang ninggalin kita atau kita tinggalin makin lama kalo makin diperhatiin jadi jelek, haq"

Sekali kesempatan, gue ga percaya. Kesempatan kedua, masih ga percaya. Pas udah kesempatan ketiga dan kesempatan berikut-berikutnya, gue perhatiin lagi...... Iya juga sih.

Friday, May 17, 2013

Cowboy vs Matador

"Bull riding refers to rodeo sports that involve a rider getting on a large bull and attempting to stay mounted while the animal attempts to buck off the rider."

Intinya, kecenderungan banteng itu emang sulit dikendalikan. Dalam olah raga jantung macem Rodeo aja, mengendalikan banteng cuma diitung sampe delapan detik pertama. Sisanya, bisa jadi maut kalo ga banyak orang ngebantu lu untuk mengendalikan banteng tersebut. Apa yang hendak gue ungkapkan adalah sifat-sifat banteng itu emang liar dan sulit dikendalikan. Banteng mah ya ibaratnya nih kalo jadi manusia punya sifat: "suka-suka gue lah..". Gitu.

Nah, daripada lu bermain sedekat itu dengan banteng kaya main Rodeo, yang efeknya bisa bikin lu mati konyol, ya minimal bikin lo jatuh mendingan lu coba deh jadi matador. Seorang matador, punya kharisma dan ketenangan dalam mengendalikan seekor banteng. Pesona seorang matador, gayanya yang flamboyan dan ga perlu gembar-gembor sok jago dan sok pamer nyali dan keahlian nantangin Banteng inilah yang patut ditiru.

Seorang atlet Rodeo (Cowboy), bisa jadi dia orang yang nyalinya gede. Berani ambil resiko tinggi dengan minimal jatoh kelempar dari punggung banteng. Tapi saat show off-nya selesai, dia butuh banyak orang buat bantuin dia ngendaliin itu banteng. Artinya, ga cukup nyali doang buat melunakkan dan menjinakkan banteng. Lu butuh kecerdasan. Sementara, seorang matador,  gue rasa dia orang yang paling gede nyalinya tapi ga gembar-gembor. Dia cukup ngibas-ngibas kain buat bikin banteng itu lari mendekat, dan dia butuh keahlian untuk sedikit mengelak. Selalu begitu sampai akhirnya bantengnya itu lelah sendiri dan sang matador menyudahinya dengan sebuah tikaman ke arah banteng tersebut.

Dua-duanya memang beresiko, karena berhadapan dengan banteng memang sangat beresiko dikarenakan sifat liar dan sulit dikendalikannya itu. Semoga semua orang bisa menggunakan akal pikiran yang sehat dan cerdas serta kemampuan dan ketenangan untuk mengelak dalam waktu yang tepat dan cepat sehingga terbebas dari terjangan seekor banteng.

***

Dan diantara kedua hal yang mengadu nyali dengan banteng ini, hanya festival "dikejar banteng marah terus lari" aja yang merupakan kegiatan paling dungu sedunia.


*Cheers*

Saturday, May 4, 2013

Hopla Epistemologis. FAK. HAHA

Karena Hopla (Hopla 3: Dedicated to Mas Dekun), lagi-lagi gue mikirin sesuatu yang ga bakalan mikirin gue. Sekangen itu gue sama suasana yang dibangun pas acara Hopla tadi di Kantin Kerucut FIB UI. Sebuah acara musik, ga perlu mewah-mewah, cukup sederhana dengan hiasan-hiasan cantik lampu-lampu yang di kerjain sendiri tapi efektif bikin lu ngeblend dengan suasana kebersamaannya. Banyak yang dateng diacara Hopla tadi udah menjadikan acara musik tadi kaya acara tali kasih. Kerinduan akan kebersamaan dengan muka-muka lama itu muncul lagi. Ketemu ini sapa-peluk, ketemu itu sapa-peluk. Sesuatu yang bahkan jarang gue temuin di angkatan 2010 kebawah: substansi kebersamaan, dan sapa-nya tentunya. Kenapa kita bisa sedrastis itu ya perubahannya?

Biasanya nih, anak2 FIB sekarang yg cupu2 gitu gapernah nongkrong dikansas lebih dari jam st.8 malem. Baru malem ini rame lagi kansas. Salut. Padahal dulu, nongkrong sampe malem sambil gegitaran itu hal normal. Acara kaya hopla gitu normal bgt dulu. Sekarang asing. Seasing-asingnya. Zaman berubah. Teknologi berubah. Rektor berubah. Kebijakan berubah. Pergaulan berubah. Gue berubah. Lu berubah. Kita Power Rangers semua.
Entah hal itu kepikiran. Anjir. Ngapain sih gue mikirin beginian...
Intinya, gue sekangen itu dengan acara-acara yang bisa bikin kita ngumpul bareng. Sesuatu yang bisa bikin lo kenal sama junior dan senior yang bahkan 7 tahun diatas lu dan lu bisa sharing-sharing segala hal. Sesuatu yang bisa bikin lo ngerasa seneng bisa punya rasa kebersamaan, kekerabatan dan kekeluargaan. Hal yang barangkali ilang di angkatan 2010 kebawah. Wong, temen angkatan sendiri aja banyak yang ga kenal. Alesannya selalu klasik, "angkatan gue kan ada 1000 lebih..". Bahkan gue yakin, orang-orang yang ngomong kaya gitu bahkan 200 temen pun ga ada yang dia kenal. Sekedar tau, mungkin iya.

Gue rasa, kampus gue tercinta udah dimasuki generasi-generasi 2000an yang individualis. Yap. Barangkali bagi mereka pertemuan, bukan sesuatu yang lumrah. Pertemuan adalah sesuatu yang asing. Karena prinsip-prinsip urusan saya adalah milik saya dan urusan kamu bukan milik saya. Mereka memiliki kecenderungan anti-sosial dan lebih baik mengasingkan diri dalam dunia maya. Kasihan. Kalaupun ada pertemuan, bagi mereka substansi pertemuan adalah perkara kuantitas bukan kualitas. Lalu setelah teori itu, kita lihat saja gimana cetakan mahasiswa-mahasiswa sekarang... Mentalnya tempe, sedikit-dikit ngeluh, ketemu malem takut, gelep sedikit takut, angkat air seember ngeluh, cape sedikit istirahat, ketemu dikit gosip, baca buku sedikit ketiduran, dengerin orang ngomong dikit udah males, ketemu senior ga ada permisi-permisinyah, anti-kritik, bla-bla-bla... Bahkan yang paling parah sih ya mahasiswa-mahasiswa sekarang terlalu cuek dan kehilangan rasa ramahnya. Ga heran deh lu liat mahasiswa sekarang tangannya lembek-lembek kaya daging sapi Wagyu. Fiks. *gue lagi jahat, ngejudge* *bodo amat*

Yaudahlah. Gitu aja. Yang jelas, Hopla mengobati rindu gue banget akan substansi pertemuan yang sesungguhnya: Kualitas melebihi kuantitas.

*Cheers*

Friday, April 26, 2013

Vito-Vanny #EntahUdahPartBerapa

Oke. Ini review singkat tentang latihan plot Vito-Vanny di Waktunya Lelaki hari Kamis (25/4). Bisa dikatakan latihan hari ini: TAI KUCING. Entah ada apa dengan gue? Padahal gue yang selama ini bimbing Ena dan ngasih tau tentang trik-trik di panggung, tentang jangan kebanyakan mikirin penampilan dan bla-bla-bla. Tapi ini tadi latihan paling tai kucing. Feelnya ga ada. Semangatnya ga ada. Tadi gue latihan cuma sekedar formalitas doang, ga ada emosi ga ada passionnya sama sekali. Kenapa ya guaa?

Gue mencoba merunut kembali tentang penurunan ini. Ini penurunan terbesar gue selama latihan dan menjadi Vito. Padahal, kemaren mainnya udah enak banget dan gue ngerasain banget enjoy-nya jadi Vito. Masalah pribadi? Emmm, ada sih. Tapi serius gue ga mikirin semua masalah pribadi itu pas tadi latihan. Justru gue malah mikirin tentang masalah kenapa di pementasan ini banyak orang yang semangatnya ilang sama sekali. Orang-orangnya ilang-ilangan dan entah kenapa gue ngerasa mereka udah pada ga memprioritaskan pementasan ini lagi. Kalo dulu anak-anak PK gue ngasih istilah, kita udah beda frekuensi. Semangat-semangat itu yang gue kangenin di anak-anak Agora. Tadi gue main juga entah kenapa, jadi mikirin itu. Lu boleh bilang kalo lu ada masalah atau pikiran taro dulu diluar tempat latihan. Tapi masalahnya tadi kepikiran dan ngehe-nya pas lagi latihan. Jadi kacau balau semuanya pas gue main. Bener-bener palsu banget tadi gue main. Blocking kacau. Apalan kacau. Improvisasi kacau. Emosi kacau. Semua kacau.

Bisa gue bilang, hari ini bukan cuma plot Vito doang yang kacau. Atmosfir keseluruhan latihan juga kacau. Stress ga sih lu bentar lagi udah mau pentas, lu udah ngasih harga tiket cukup tinggi buat kalangan mahasiswa, ekspektasi penonton udah besar banget ke Teater Agora tapi keadaan internal Agora dan suasana latihannya kaya TAI KUCING gini. Serius deh: TAI KUCING.


Kadang gue suka kesel sendiri kalo gue latihan jelek dan gabisa mengeksplorasi di tiap sesi latihan. Gue selalu mencoba membuat proses-proses peningkatan. Saat gue ngerasa Ena mulai banyak peningkatan dan main sangat bagus, gue malah yang ngedrop karena mikirin hal macem begini. Fak men.

Udah. Cukup gitu aja review gue hari ini.

*Cheers Tai Kucing*