Ada tiga ciri pemimpin yang kuamati dari perjalanan hidupku mengamati orang-orang di sekeliling. Satu, mereka yang selalu berada di depan. Menjadi pusat perhatian. Senang jika orang lain memperhatikan. Mereka ini yang selalu mengumbar kata, menuai pujian. Mereka yang selalu aktif bergerak dan tak suka jika kedudukannya terusik. Mereka yang tak senang kalah dan tak suka berada bukan di depan.
Kedua, adalah mereka yang memimpin bersama-sama, berjalan dan duduk di tengah. Mereka mampu mengatur ritme gerak yang di depan, serta memperhatikan gerak yang di belakang. Mereka yang terbiasa jalan aman dan suka berada di tengah keramaian. Mereka yang harus selalu berada dalam kehangatan. Pancaran mata mereka lembut, bagai surya yang menggelayut. Ketiga, adalah yang memimpin dari belakang. Ia yang hampir tak pernah terlihat memimpin. Mereka yang selalu memastikan semuanya bergerak tak tertinggal. Mereka yang memberikan banyak pelajaran, tapi mereka jugalah yang pada akhirnya ditinggal banyak orang.
Sayangnya, aku tak memperhatikan diriku sendiri. Mataku terlalu sibuk mengamati orang di sekeliling dan otakku sibuk menganalisis tiap-tiap gerak bibir, tangan, tubuh, raut wajah mereka. Untuk apa mereka begini atau karena apa mereka begitu. Sementara orang-orang terbaikku yang seharusnya bisa memperhatikanku dan kumintai pendapatnya, satu per satu justru pergi karena mereka ingin selalu di depan. Lalu pertanyaan yang muncul di permukaan adalah apakah hidup telah melambatkan gerakku atau mereka hanya tak ingin berjalan beriringan lagi?
Manusia telah melakukan rencana, jauh sebelum mereka sempat berbicara. Sebagai manusia hendaknya kita saling berterima pada kenyataan yang sementara ini tak pernah selalu mewah. Anggap saja ini rencana yang tak kita duga, yang harus kita terima. Bukankah hidup menawarkan suka dan duka agar kita tak jera dalam memutuskan di pihak mana kita berada? Kulepas kau lekas. Tak akan kuikatkan lagi pada bibir atau jemariku. Agar rindu tak segera menyusul dan menyumbat alur nafas yang membuat diriku sesak-sesak.
Showing posts with label Kata-Kata. Show all posts
Showing posts with label Kata-Kata. Show all posts
Thursday, October 24, 2013
Wednesday, October 23, 2013
"Hal yang paling kutakuti di dunia ini adalah teriakan paling bising
yang keluar dari mulutmu, sayang. Teriakan yang mampu mencabik malam
sunyi walau tak satu setanpun bisa dengar. Aku takut teriakan itu yang
selama ini kita namai ‘Diam.’"
Saturday, October 19, 2013
Aku (Pernah) Punya Sahabat Terbaik
Delapan tahun yang lalu kami masih sekumpulan siswa Sekolah Menengah Atas yang riang dan polos, sampai akhirnya pertemuan kali ini mengubah paradigma itu. Aku pernah punya sahabat terbaikku, delapan tahun yang lalu. Kami semua berdelapan. Bagi kami, tak ada satupun halangan dan rintangan yang mampu menghalangi laju kami ketika kami sudah bersama. Sepele. Kerja kami hanya bersenang-senang, bercanda, ketawa. Aku ulangi, kerja kami hanya bersenang-senang, bercanda dan ketawa. Itu saja cukup bagi kami. Sekolah hanyalah kegiatan sampingan.
Tentang pertemuan kali ini, ah pertemuan kali ini adalah pertemuan yang telah kami janjikan ketika kami lulus SMA. Ketika itu, kami menulis janji kami tebal-tebal di tiap seragam sahabat: "Delapan tahun lagi harus ketemu, kita liat kita jadi apa!"
***
Delapan orang itu berkumpul lagi dalam satu meja, tanpa keriangan yang dulu biasa kami lakukan. Teriakan paling kencang yang terdengar adalah denting gelas dan piring. Kuperhatikan satu-persatu muka sahabatku. Tampak dunia yang mekanik berada pada muka mereka, mereka yang saban harus berangkat pagi, menembus kemacetan Jakarta, terhuyung-huyung supaya datang lebih lebih lebih lebih cepat supaya tidak dihitung absen di Kantor, selesai kerja harus menembus kemacetan Jakarta lagi, dan pulang harus memakan nasi dingin dan basi. Tenaga dan waktu mereka hampir terkuras oleh apa yang kusebut sebagai rutinitas. Entah apa yang mereka tabung. Uang? Kebahagiaan? Masa depan? Aku tak pernah ingin tahu jawabannya, hanya pertanyaan yang terus menerus muncul di dalam hati. Aku rasa, aku bakal ngeri jika kutahu jawabannya.
***
Manusia harus beradaptasi dengan lingkungan baru, begitulah yang seharusnya terjadi agar mereka tetap bisa hidup dan mempertahankan dirinya. Tapi jika sudah seperti ini, apakah berkumpul dan beradaptasi dengan sekumpulan makhluk mekanik akan membuat kita bisa lebih menjadi manusia? Aku tak tahu mana di antara kedua itu yang terbaik. Entahlah. Jawaban itu selalu akan kita miliki sendiri-sendiri. Tapi akan kuberikan jawabanku tapi takkan kupaksakan kepadamu:
"Aku pernah punya sahabat terbaikku delapan tahun yang lalu, yang kini sudah kembali menjadi orang asing.
Kita kembali..
sendiri-sendiri."
Tentang pertemuan kali ini, ah pertemuan kali ini adalah pertemuan yang telah kami janjikan ketika kami lulus SMA. Ketika itu, kami menulis janji kami tebal-tebal di tiap seragam sahabat: "Delapan tahun lagi harus ketemu, kita liat kita jadi apa!"
***
Delapan orang itu berkumpul lagi dalam satu meja, tanpa keriangan yang dulu biasa kami lakukan. Teriakan paling kencang yang terdengar adalah denting gelas dan piring. Kuperhatikan satu-persatu muka sahabatku. Tampak dunia yang mekanik berada pada muka mereka, mereka yang saban harus berangkat pagi, menembus kemacetan Jakarta, terhuyung-huyung supaya datang lebih lebih lebih lebih cepat supaya tidak dihitung absen di Kantor, selesai kerja harus menembus kemacetan Jakarta lagi, dan pulang harus memakan nasi dingin dan basi. Tenaga dan waktu mereka hampir terkuras oleh apa yang kusebut sebagai rutinitas. Entah apa yang mereka tabung. Uang? Kebahagiaan? Masa depan? Aku tak pernah ingin tahu jawabannya, hanya pertanyaan yang terus menerus muncul di dalam hati. Aku rasa, aku bakal ngeri jika kutahu jawabannya.
***
Manusia harus beradaptasi dengan lingkungan baru, begitulah yang seharusnya terjadi agar mereka tetap bisa hidup dan mempertahankan dirinya. Tapi jika sudah seperti ini, apakah berkumpul dan beradaptasi dengan sekumpulan makhluk mekanik akan membuat kita bisa lebih menjadi manusia? Aku tak tahu mana di antara kedua itu yang terbaik. Entahlah. Jawaban itu selalu akan kita miliki sendiri-sendiri. Tapi akan kuberikan jawabanku tapi takkan kupaksakan kepadamu:
"Aku pernah punya sahabat terbaikku delapan tahun yang lalu, yang kini sudah kembali menjadi orang asing.
Kita kembali..
sendiri-sendiri."
Friday, October 18, 2013
Pada dasarnya manusia takut untuk tidak mengetahui apa-apa, karena itu dengan sederhana manusia menciptakan alat penerang untuk menerangi jalan gelap penuh misteri yang saban hari harus manusia terka-terka sendiri apa yang berada di sisi-sisinya.
Monday, October 7, 2013
You Wish I'm a Dead Fish But Let Me Wish...
It started out as a feeling which then grew into a hope, which then turned into a quiet thought, which then turned into a quiet word and then that word grew louder and louder until it was a battle cry. I'll come back when you call me. No need to say goodbye. Just because everything's changing doesn't mean it's never been this way before. All you can do is try to know who your friends are as you head off to the war. Pick a star on the dark horizon and follow the light. You'll come back when it's over. No need to say goodbye. Now we're back to the beginning. It's just a feeling and no one knows yet. But just because they can't feel it too doesn't mean that you have to forget. Let your memories grow stronger and stronger until they're before your eyes. You'll come back when they call you. No need to say goodbye.
You'll come back whenyour memories call you. No need to say goodbye.
Thanks, Regina.
You'll come back when
Thanks, Regina.
Friday, October 4, 2013
Fly Little Wing.
Now she's walking through the clouds with a circus mind that's running wild. Butterflies and zebras and moonbeams and fairy tales. All she ever thinks about is riding with the wind. When I'm sad, she comes to me with a thousand smiles. She gives to me, free. "It's alright, it's alright", she says. "Take anything you want from me. Anything". Now she's walking through the clouds with a circus mind that's running wild. Butterflies and zebras and moonbeams and fairy tales. All she ever thinks about is riding with the wind..
Fly, oh my little wing..
Thursday, October 3, 2013
Flying To Neptune
Sifat Capricorn mendekati Ikarus. Mereka pasti terbang tinggi, setelah itu jatuh dan mati.
Wednesday, October 2, 2013
Ramai
Oktober,
Hujan memperkenalkan diri. Dia turun dan membasahi semua yang sudah datang. Tamu-tamu sebagian berteduh di bawah kanopi, ditemani kopi. Menjauh dari tetesan hujan yang bisa melunturkan topeng berbentuk bedak padat limaratus ribu yang menempel di muka mereka. Sebagian yang lain memilih bertahan menikmati setiap tetesan hujan. Langit sedang bersuka cita lagi, mengiringi keceriaan beberapa orang yang hampir mati kekeringan. Mereka yang hampir percaya bahwa baju berdebu mereka takkan pernah lagi dibasahi hujan.
Malam semakin larut. Tamu-tamu mulai sibuk dengan percakapan dengan volume tinggi, bersaing dengan suara hujan yang juga tak mau kalah berisik. Musik makin menenggelamkan suara perempuan kecil yang bercerita tentang kekasihnya. Bagiku, suara musik dan suara perempuan kecil itu sama gaungnya. Bergumul menjadi satu diantara gendang-gendang telinga. Psilocybin yang jadi penyebabnya. Cahaya yang datang menjadi spektrum warna yang berputar-putar, menjauh dan mendekat. Denting gelas anggur atau cangkir kopi justru seperti hentakan jemari Sergei Rachmaninoff menghasilkan komposisi.klasik yang syahdu.
Malam makin larut. Kesadaran makin luput. Senyum dan tawa tak mampu ditahan-tahan. Dari luar, kita bisa bersuka ria di tengah keramaian. Menikmati apapun yang terjadi dengan senyum dan tawa artifisial. Dari dalam, perasaan berduka tak bisa dihapuskan. Entah bagaimana caranya lagi.
Mari selesaikan masalah kita yang hampir sama dengan cara kita masing-masing.
Hujan memperkenalkan diri. Dia turun dan membasahi semua yang sudah datang. Tamu-tamu sebagian berteduh di bawah kanopi, ditemani kopi. Menjauh dari tetesan hujan yang bisa melunturkan topeng berbentuk bedak padat limaratus ribu yang menempel di muka mereka. Sebagian yang lain memilih bertahan menikmati setiap tetesan hujan. Langit sedang bersuka cita lagi, mengiringi keceriaan beberapa orang yang hampir mati kekeringan. Mereka yang hampir percaya bahwa baju berdebu mereka takkan pernah lagi dibasahi hujan.
Malam semakin larut. Tamu-tamu mulai sibuk dengan percakapan dengan volume tinggi, bersaing dengan suara hujan yang juga tak mau kalah berisik. Musik makin menenggelamkan suara perempuan kecil yang bercerita tentang kekasihnya. Bagiku, suara musik dan suara perempuan kecil itu sama gaungnya. Bergumul menjadi satu diantara gendang-gendang telinga. Psilocybin yang jadi penyebabnya. Cahaya yang datang menjadi spektrum warna yang berputar-putar, menjauh dan mendekat. Denting gelas anggur atau cangkir kopi justru seperti hentakan jemari Sergei Rachmaninoff menghasilkan komposisi.klasik yang syahdu.
Malam makin larut. Kesadaran makin luput. Senyum dan tawa tak mampu ditahan-tahan. Dari luar, kita bisa bersuka ria di tengah keramaian. Menikmati apapun yang terjadi dengan senyum dan tawa artifisial. Dari dalam, perasaan berduka tak bisa dihapuskan. Entah bagaimana caranya lagi.
Mari selesaikan masalah kita yang hampir sama dengan cara kita masing-masing.
Saturday, September 21, 2013
Satu Lagu Blues
Babe, I'm Gonna Leave You. I said baby, you know I'm gonna leave you. I'll leave you when the summertime. Leave you when the summer comes a-rollin. Leave you when the summer comes along. Baby, I wanna leave you. I ain't jokin' woman, I got to ramble. I believin' we really got to ramble. I can hear it callin' me the way it used to do, I can hear it callin' me back home. Babe, I'm gonna leave you
I know, I never never never gonna leave you babe. But I got to go away from this place. I've got to quit you. I know it feels good to have you back again and I know that one day baby, it's really gonna grow, yes it is. We gonna go walkin' through the park every day. Come what may, every day. It was really, really good. You made me happy every single day.
But now, I've got to go away.
#np Babe, I'm Gonna Leave You - Led Zeppelin
I know, I never never never gonna leave you babe. But I got to go away from this place. I've got to quit you. I know it feels good to have you back again and I know that one day baby, it's really gonna grow, yes it is. We gonna go walkin' through the park every day. Come what may, every day. It was really, really good. You made me happy every single day.
But now, I've got to go away.
#np Babe, I'm Gonna Leave You - Led Zeppelin
Monday, September 2, 2013
#Catet2
"Skills win you medals, but attitude wins hearts"
Kamera Bang Tuli
Sebut aku dengan nama depanku saja Berkah. Karena aku benci nama belakangku, yang diwariskan dari nama bapakku, yang sudah aku hapus semenjak lima belas tahun yang lalu semenjak bapak selalu menjambakku ketika bapak sedang mabuk atau ketika bapak selalu menyundutku dengan kreteknya saat aku melakukan hal yang menurutnya salah. Kejadian-kejadian itu selalu membuatku trauma, sampai aku memutuskan untuk minggat dari rumah setan itu. Aku tak peduli lagi dengannya setelah itu. Tak peduli ketika ia sakit. Tak peduli ketika ibu juga meninggalkannya. Ia sudah aku hapus dari hidupku semenjak aku memutuskan minggat.
Aku pindah ke kota sejak itu. Meninggalkan ibu dan kedua adik-adikku, Cahaya dan Mulyana. Rasa benci pada bapak juga mengorbankan cintaku pada Asih, aku harus rela meninggalkannya. Aku hanya pesan supaya Asih mau menungguku dan memahami kondisiku. Aku bilang aku mencintainya sampai satu diantara kami mati. Standar. Seperti apa yang aku tonton dan pelajari dari sinetron di televisi.
***
Aku bertahan hidup semampunya dengan cara mengamen. Dua bulan pertama di kota, aku tinggal tak tentu. Kadang di bawah jembatan, kadang di lokasi proyek bangunan. Nasib paling baik tidur di sofa kelurahan. Lumayan. Syukurnya, rasa iba masyarakat kota ini masih lebih besar daripada kota-kota besar lainnya, setidaknya itu yang kutahu dari pengalaman Amir temanku yang penjaja koran.
Uang tabungan yang pelan-pelan kukumpulkan berbulan-bulan akhirnya mampu kuubah jadi kamar kecil yang dapat kutinggali dengan layak serta gitar yang kusayang dan menemani ngamen kemana-mana. Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Atau jangan-jangan takdir memang telah menggariskan bahwa memutuskan tali silaturahmi dengan bapakku yang kafir itu lebih baik daripada hidup diperdaya olehnya.
Dua tahun aku menggantungkan hidup dengan mengamen. Banyak saingan memang di kota ini. Namun, kami saling memahami. Kami tak ribut masalah wilayah atau hal sepele lainnya. Kalaupun ada pengamen lain yang ngotot mengusirku dari wilayahnya, paling ada satu dua. Aku pun mengalah, toh rejeki ga akan lari kemana. Tapi lumayan juga hasil mengamen yang aku geluti, selain untuk menutupi kebutuhanku sehari-hari, sedikit sisa uangnya aku tabung dan kuambil sedikit untuk kredit motor. Walaupun kredit motor bekas, tetap saja kendaraan ini masih bisa kuandalkan kalau ada urusan yang jauh-jauh. Sebenarnya, aku tak mau terus-terusan mengamen. Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Aku dipertemukan oleh orang-orang yang masih punya kebaikan di kota ini. Hanya sedikit memang jumlahnya, tapi mereka semua sudah membantuku banyak, dan itu cukup. Aku dapat banyak informasi tentang peristiwa di dunia ini, mulai dari politik luar negeri hingga intrik keluarga selebritis karena Amir selalu membaca berita dari koran yang ia jajakan. Katanya, ia harus tahu persis apa yang ia jual sehingga ia harus membaca dulu seluruh isi berita yang disajikan koran-koran setiap harinya. Idealisme seorang penjaja koran. Lalu aku belajar banyak tentang komputer dan edit foto dari Bang Tuli.
Bang Tuli, perantauan dari Medan. Namanya memang tak lazim tapi ia asli Medan. Sebagai bagian dari orang Medan, yang tak terlalu banyak mengesankan hidupku, aku rasa Bang Tuli merupakan minoritas dari kelompoknya tersebut. Ia baik, ramah dan sama sekali tidak pernah berperangai buruk. Berbeda dengan Frans misalnya yang selalu ugal-ugalan membawa metromini atau Batak misalnya yang selalu menebar paku di jalanan. Bang Tuli juga seorang fotografer pernikahan, profesi yang jarang diambil seorang perantauan dari Medan. Tiap minggu aku suka diajaknya ikut sebagai timnya ke pernikahan-pernikahan orang yang menggunakan jasanya. Aku membantunya memegangi tiang lampu kamera atau menggulungi kabel, selain menghabiskan makanan kondangan tentunya. Dari sini, semua cerita bermula.
***
Aku mulai menyukai pekerjaan baru ini. Setiap hari aku ngamen kecuali Sabtu dan Minggu. Di hari itu aku ikut Bang Tuli. Tak ada libur dalam kamusku. Setiap hari aku harus mengolah waktu agar menjadi uang dan uang. Aku pikir itu memang menyiksaku, namun aku tak tahu apa yang terjadi di masa depanku. Jadi biar saja aku tak punya waktu yang cukup di masa muda supaya nanti di masa tua tinggal leha-leha dan foya-foya. Persetan warisan. Anakku harus bekerja keras, nantinya. Aku hanya akan memberinya investasi pendidikan dan tak akan lebih agar ia jadi orang yang kuat bersaing dengan orang kota lainnya.
Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Bang Tuli mulai menyukai apa yang aku kerjakan. Ia tahu aku bisa nyanyi, sehingga kadang ia menyuruhku untuk menyumbang satu lagu untuk mempelai. Setelah itu pekerjaanku nambah satu, selain gulung kabel dan megangin tiang lampu video kamera serta menghabiskan makanan undangan tentunya. Hehe. Setiap akhir minggu, aku bertemu banyak orang baru. Ternyata banyak mempelai yang menyukai suaraku dan merekomendasikan tim Bang Tuli kepada rekan-rekan mereka yang mau nikah. Mulai saat itu, order Bang Tuli meningkat pesat. Bang Tuli juga mulai memperkenalkan aku dan mengajariku memotret. Ia ajari aku fungsi dari tombol-tombol rumit yang berada di badan kameranya itu dengan sabar. Lalu, aku dipinjamkan satu kameranya untukku belajar.
Dari situlah aku mulai membawa kamera digital itu kemana-mana. Lihat, bidik, jepret. Lihat, bidik, jepret. Hasilnya aku pamerkan pada Bang Tuli sepulang berburu objek. Kebanyakan hasilnya gambar perempuan lewat. Bang Tuli tertawa ketika ia lihat satu gambar perempuan dengan muka sedang masam. Sepertinya perempuan itu sedang bertengkar dengan pacarnya dan tak sengaja aku mengambil ekspresinya yang sedang masam itu.
***
Hari itu, hari pertama Bang Tuli mempercayaiku untuk mengambil gambar mempelai. Perasaanku campur aduk saat Bang Tuli memberi briefing awal. Tentu senang, tapi aku belum terbiasa untuk mengambil gambar pengantin yang sudah terkonsep dan harus disiplin mengambil gambar sehingga rasa gugup mulai menghampiriku. Aku tak tahu siapa yang akan jadi pengantin nanti, tapi aku harus melakukan yang terbaik. Aku harus mengambil semua momen berharga demi kepuasan pengantin. Aku terus berpikir tentang konsep, rencana dimana pengambilan letak posisiku nantinya dan segala halnya selama perjalanan dari tempat Bang Tuli menuju gedung pernikahan.
Kami akhirnya sampai gedung yang masih sepi dan hanya diisi oleh keluarga kedua pengantin. Menata segala peralatan dokumentasi dan peliputan. Aku banyak meminum kopi karena malam sebelumnya aku kurang istirahat. Entah kenapa aku susah tidur malam itu. Padahal setiap sebelum kerja aku pastikan untuk cukup istirahat supaya tetap segar dan bugar. Syukurnya, kopi membantu membuatku lebih awas karena zat kafeinnya. Aku juga sesekali membidik dan mengetes kamera, merencanakan tempat bidikan yang tepat.
Pukul 09.00 WIB. Acara akad akan segera dimulai. Prosesi akad dilakukan dengan cara Islam. Pengantin pria sudah berada di tempatnya. Duduk tegap dengan mata tajam. Senyumnya simpul tak banyak terumbar. Mungkin ia menyimpan kegugupan dibalik sana. Ia seorang pengusaha tekstil kaya raya bernama Suwandi. Didepannya, terdapat sebuah meja besar yang diatasnya terdapat beberapa hiasan dan mikrofon. Wali nikah dan para saksi juga sudah duduk mengelilingi pengantin. Hanya kursi mempelai perempuan dan penghulu yang masih kosong karena dua alasan berbeda. Penghulu belum hadir di tempat, sementara pengantin perempuan baru akan dihadirkan setelah proses ijab-kabul selesai. Pukul 09.12, penghulu datang dan akad nikah segera dimulai. Aku juga langsung membidik semua momen dan semua orang yang hadir dalam acara itu. Tak satupun yang luput dari bidikan kameraku.
Prosesi akad berjalan cepat. Penghulu lalu memanggil mempelai perempuan yang sedari tadi menunggu di sebuah bilik kecil yang berada di pojok gedung itu. Aku menunggu mempelai itu tepat di depan pintu masuknya. Beberapa keluarga yang mengiringi mempelai perempuan mengawali proses keluarnya sang pengantin. Aku langsung membidik momen itu dengan lensa kameraku. Cekrik. Cekrik. Cekrik. Hingga jepretan kelima aku baru menyadari suatu hal yang semenjak pagi tadi tak aku sadari....
Dia adalah Asih.
Pengantin perempuan itu.
Ia kekasihku yang kutinggalkan dua tahun lalu.
Aku berhenti membidik kali ini.
Membeku.
Karena tajamnya mata lensa seribu kali lebih menyakitkan dari mata pisau yang menghujam mataku.
Asih melihatku. Ia berhenti berjalan. Kami berdua terpaku memandang diri kami masing-masing. Tidak. Kami tidak terpaku dengan cara yang paling romantis kali ini. Semua mata memandangi kejadian ini. Senyum yang daritadi Asih umbar di wajahnya menjelma keterkejutan. Aku membelakangi Asih dan segera bergegas menuju Bang Tuli. Aku serahkan kamera itu pada yang berpunya. Aku lalu pamit pada Bang Tuli, tak menjelaskan apa-apa kecuali bilang aku tiba-tiba sakit. Aku pergi meninggalkan gedung itu. Persetan dengan prinsipku sendiri yang baru aku niatkan pagi tadi. Persetan melakukan yang terbaik untuk mempelai. Persetan dengan semuanya. Perasaanku campur aduk. Mungkin ini jawaban tentang firasat kenapa aku malam sebelumya menjadi gelisah tanpa alasan.
***
Aku kembali ke kampung halamanku. Memandangi nisan bapak dan ibuku. Mendoakan agar dilapangkan kuburnya dan memaafkan segala kekurangan mereka. Aku bersihkan makam mereka dari tumbuhan liar yang tumbuh di atas tanahnya. Aku lalu menyuruh seorang penjaga makam untuk menanam sebuah nisan disamping makam ibuku. Nisan marmer yang kupesan dari hari pertama kedatangan kembali ke kampung halamanku ini. Asih. Begitu tulisan yang berada pada nisan itu.
Aku tanam sebagai simbol dukaku kehilangannya untuk selamanya.
***
Tamat.
Aku pindah ke kota sejak itu. Meninggalkan ibu dan kedua adik-adikku, Cahaya dan Mulyana. Rasa benci pada bapak juga mengorbankan cintaku pada Asih, aku harus rela meninggalkannya. Aku hanya pesan supaya Asih mau menungguku dan memahami kondisiku. Aku bilang aku mencintainya sampai satu diantara kami mati. Standar. Seperti apa yang aku tonton dan pelajari dari sinetron di televisi.
***
Aku bertahan hidup semampunya dengan cara mengamen. Dua bulan pertama di kota, aku tinggal tak tentu. Kadang di bawah jembatan, kadang di lokasi proyek bangunan. Nasib paling baik tidur di sofa kelurahan. Lumayan. Syukurnya, rasa iba masyarakat kota ini masih lebih besar daripada kota-kota besar lainnya, setidaknya itu yang kutahu dari pengalaman Amir temanku yang penjaja koran.
Uang tabungan yang pelan-pelan kukumpulkan berbulan-bulan akhirnya mampu kuubah jadi kamar kecil yang dapat kutinggali dengan layak serta gitar yang kusayang dan menemani ngamen kemana-mana. Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Atau jangan-jangan takdir memang telah menggariskan bahwa memutuskan tali silaturahmi dengan bapakku yang kafir itu lebih baik daripada hidup diperdaya olehnya.
Dua tahun aku menggantungkan hidup dengan mengamen. Banyak saingan memang di kota ini. Namun, kami saling memahami. Kami tak ribut masalah wilayah atau hal sepele lainnya. Kalaupun ada pengamen lain yang ngotot mengusirku dari wilayahnya, paling ada satu dua. Aku pun mengalah, toh rejeki ga akan lari kemana. Tapi lumayan juga hasil mengamen yang aku geluti, selain untuk menutupi kebutuhanku sehari-hari, sedikit sisa uangnya aku tabung dan kuambil sedikit untuk kredit motor. Walaupun kredit motor bekas, tetap saja kendaraan ini masih bisa kuandalkan kalau ada urusan yang jauh-jauh. Sebenarnya, aku tak mau terus-terusan mengamen. Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Aku dipertemukan oleh orang-orang yang masih punya kebaikan di kota ini. Hanya sedikit memang jumlahnya, tapi mereka semua sudah membantuku banyak, dan itu cukup. Aku dapat banyak informasi tentang peristiwa di dunia ini, mulai dari politik luar negeri hingga intrik keluarga selebritis karena Amir selalu membaca berita dari koran yang ia jajakan. Katanya, ia harus tahu persis apa yang ia jual sehingga ia harus membaca dulu seluruh isi berita yang disajikan koran-koran setiap harinya. Idealisme seorang penjaja koran. Lalu aku belajar banyak tentang komputer dan edit foto dari Bang Tuli.
Bang Tuli, perantauan dari Medan. Namanya memang tak lazim tapi ia asli Medan. Sebagai bagian dari orang Medan, yang tak terlalu banyak mengesankan hidupku, aku rasa Bang Tuli merupakan minoritas dari kelompoknya tersebut. Ia baik, ramah dan sama sekali tidak pernah berperangai buruk. Berbeda dengan Frans misalnya yang selalu ugal-ugalan membawa metromini atau Batak misalnya yang selalu menebar paku di jalanan. Bang Tuli juga seorang fotografer pernikahan, profesi yang jarang diambil seorang perantauan dari Medan. Tiap minggu aku suka diajaknya ikut sebagai timnya ke pernikahan-pernikahan orang yang menggunakan jasanya. Aku membantunya memegangi tiang lampu kamera atau menggulungi kabel, selain menghabiskan makanan kondangan tentunya. Dari sini, semua cerita bermula.
***
Aku mulai menyukai pekerjaan baru ini. Setiap hari aku ngamen kecuali Sabtu dan Minggu. Di hari itu aku ikut Bang Tuli. Tak ada libur dalam kamusku. Setiap hari aku harus mengolah waktu agar menjadi uang dan uang. Aku pikir itu memang menyiksaku, namun aku tak tahu apa yang terjadi di masa depanku. Jadi biar saja aku tak punya waktu yang cukup di masa muda supaya nanti di masa tua tinggal leha-leha dan foya-foya. Persetan warisan. Anakku harus bekerja keras, nantinya. Aku hanya akan memberinya investasi pendidikan dan tak akan lebih agar ia jadi orang yang kuat bersaing dengan orang kota lainnya.
Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Bang Tuli mulai menyukai apa yang aku kerjakan. Ia tahu aku bisa nyanyi, sehingga kadang ia menyuruhku untuk menyumbang satu lagu untuk mempelai. Setelah itu pekerjaanku nambah satu, selain gulung kabel dan megangin tiang lampu video kamera serta menghabiskan makanan undangan tentunya. Hehe. Setiap akhir minggu, aku bertemu banyak orang baru. Ternyata banyak mempelai yang menyukai suaraku dan merekomendasikan tim Bang Tuli kepada rekan-rekan mereka yang mau nikah. Mulai saat itu, order Bang Tuli meningkat pesat. Bang Tuli juga mulai memperkenalkan aku dan mengajariku memotret. Ia ajari aku fungsi dari tombol-tombol rumit yang berada di badan kameranya itu dengan sabar. Lalu, aku dipinjamkan satu kameranya untukku belajar.
Dari situlah aku mulai membawa kamera digital itu kemana-mana. Lihat, bidik, jepret. Lihat, bidik, jepret. Hasilnya aku pamerkan pada Bang Tuli sepulang berburu objek. Kebanyakan hasilnya gambar perempuan lewat. Bang Tuli tertawa ketika ia lihat satu gambar perempuan dengan muka sedang masam. Sepertinya perempuan itu sedang bertengkar dengan pacarnya dan tak sengaja aku mengambil ekspresinya yang sedang masam itu.
***
Hari itu, hari pertama Bang Tuli mempercayaiku untuk mengambil gambar mempelai. Perasaanku campur aduk saat Bang Tuli memberi briefing awal. Tentu senang, tapi aku belum terbiasa untuk mengambil gambar pengantin yang sudah terkonsep dan harus disiplin mengambil gambar sehingga rasa gugup mulai menghampiriku. Aku tak tahu siapa yang akan jadi pengantin nanti, tapi aku harus melakukan yang terbaik. Aku harus mengambil semua momen berharga demi kepuasan pengantin. Aku terus berpikir tentang konsep, rencana dimana pengambilan letak posisiku nantinya dan segala halnya selama perjalanan dari tempat Bang Tuli menuju gedung pernikahan.
Kami akhirnya sampai gedung yang masih sepi dan hanya diisi oleh keluarga kedua pengantin. Menata segala peralatan dokumentasi dan peliputan. Aku banyak meminum kopi karena malam sebelumnya aku kurang istirahat. Entah kenapa aku susah tidur malam itu. Padahal setiap sebelum kerja aku pastikan untuk cukup istirahat supaya tetap segar dan bugar. Syukurnya, kopi membantu membuatku lebih awas karena zat kafeinnya. Aku juga sesekali membidik dan mengetes kamera, merencanakan tempat bidikan yang tepat.
Pukul 09.00 WIB. Acara akad akan segera dimulai. Prosesi akad dilakukan dengan cara Islam. Pengantin pria sudah berada di tempatnya. Duduk tegap dengan mata tajam. Senyumnya simpul tak banyak terumbar. Mungkin ia menyimpan kegugupan dibalik sana. Ia seorang pengusaha tekstil kaya raya bernama Suwandi. Didepannya, terdapat sebuah meja besar yang diatasnya terdapat beberapa hiasan dan mikrofon. Wali nikah dan para saksi juga sudah duduk mengelilingi pengantin. Hanya kursi mempelai perempuan dan penghulu yang masih kosong karena dua alasan berbeda. Penghulu belum hadir di tempat, sementara pengantin perempuan baru akan dihadirkan setelah proses ijab-kabul selesai. Pukul 09.12, penghulu datang dan akad nikah segera dimulai. Aku juga langsung membidik semua momen dan semua orang yang hadir dalam acara itu. Tak satupun yang luput dari bidikan kameraku.
Prosesi akad berjalan cepat. Penghulu lalu memanggil mempelai perempuan yang sedari tadi menunggu di sebuah bilik kecil yang berada di pojok gedung itu. Aku menunggu mempelai itu tepat di depan pintu masuknya. Beberapa keluarga yang mengiringi mempelai perempuan mengawali proses keluarnya sang pengantin. Aku langsung membidik momen itu dengan lensa kameraku. Cekrik. Cekrik. Cekrik. Hingga jepretan kelima aku baru menyadari suatu hal yang semenjak pagi tadi tak aku sadari....
Dia adalah Asih.
Pengantin perempuan itu.
Ia kekasihku yang kutinggalkan dua tahun lalu.
Aku berhenti membidik kali ini.
Membeku.
Karena tajamnya mata lensa seribu kali lebih menyakitkan dari mata pisau yang menghujam mataku.
Asih melihatku. Ia berhenti berjalan. Kami berdua terpaku memandang diri kami masing-masing. Tidak. Kami tidak terpaku dengan cara yang paling romantis kali ini. Semua mata memandangi kejadian ini. Senyum yang daritadi Asih umbar di wajahnya menjelma keterkejutan. Aku membelakangi Asih dan segera bergegas menuju Bang Tuli. Aku serahkan kamera itu pada yang berpunya. Aku lalu pamit pada Bang Tuli, tak menjelaskan apa-apa kecuali bilang aku tiba-tiba sakit. Aku pergi meninggalkan gedung itu. Persetan dengan prinsipku sendiri yang baru aku niatkan pagi tadi. Persetan melakukan yang terbaik untuk mempelai. Persetan dengan semuanya. Perasaanku campur aduk. Mungkin ini jawaban tentang firasat kenapa aku malam sebelumya menjadi gelisah tanpa alasan.
***
Aku kembali ke kampung halamanku. Memandangi nisan bapak dan ibuku. Mendoakan agar dilapangkan kuburnya dan memaafkan segala kekurangan mereka. Aku bersihkan makam mereka dari tumbuhan liar yang tumbuh di atas tanahnya. Aku lalu menyuruh seorang penjaga makam untuk menanam sebuah nisan disamping makam ibuku. Nisan marmer yang kupesan dari hari pertama kedatangan kembali ke kampung halamanku ini. Asih. Begitu tulisan yang berada pada nisan itu.
Aku tanam sebagai simbol dukaku kehilangannya untuk selamanya.
***
Tamat.
Nihaqus Yuhamus
Bekasi, 2 September 2013.
Saturday, August 24, 2013
#Catet1
"Setiap orang berhak atas pendapatnya sendiri."
Yaudah sih. Itu kan pendapatnya. Haknya dia. Kita hargailah. Dengan begitu, dia juga bisa menghargai pendapat kita yang sebaliknya. Kan sama-sama berhak kan atas pendapat kita sendiri coy.
Monday, August 19, 2013
#RandomConvo2
Orangtua 1 kepada Orangtua 2.
"Hai Clove. Sebelum kita berjalan lagi, aku ingin bercerita suatu hal padamu. Ini kualami ketika aku akan meminum obatku. Ya. Aku simpan obatku di tempat biasa, sebuah lemari kecil menggantung yang berada di kamar mandiku. Namun, sebelum aku membuka lemari kecil itu, aku melihat sesosok wajah yang sangat kusam di cermin yang berada di lemari kecil itu. Lalu aku buru-buru mengambil sabun cuci mukaku dan mencuci mencuci mencuci dan kuulangi hingga lima kali. Setelah itu, kubasuh mukaku dengan air yang sangat segar sekali. Aaaaaah, mukaku terasa sangat ringan sekali, Clove! Aku kembali melihat cermin di lemari kecil tempatku menaruh seluruh obat-obatku Clove. Kau tahu apa yang terjadi Clove? Bagaikan sulap, seluruh kusamku hilang semua! Hahahahahaha.
..................emm.. namun Clove. Kau tahu apa yang terjadi lagi setelahnya? Kerut-kerut di wajahku terlihat makin mengerikan. Oh! Aku tak ingin melihat muka orangtua menyedihkan di cermin itu lagi! Aku segera membuka lemari obatku dan meminum obat-obatku Clove. Hingga pada hari dimana obat itu tersisa satu, langsung kuhabiskan obat anti kerut wajahku itu tanpa sekali pun membuka cermin. Aku ingin melihat efek dari obat yang aku minum itu Clove dan aku pun tak ingin melihat wajah orangtua yang menyedihkan dan menjijikkan itu lagi.. Lalu setelah kutelan pil terakhir itu, aku mulai membalik pintu lemari obat itu dengan hati-hati dan melihat cerminnya dengan antusias.
............Clove. Oh Orangtua menyedihkan dan menyebalkan itu tetap berada di sana walaupun seluruh obat anti kerut wajahku sudah kuhabiskan semuanya! Aku lalu berpikir Clove. Mengapa kita susah payah harus menanggung seluruh kerut di wajah ini? Mengapa kita harus menjadi orangtua Clove? Apa kau tahu Clove tentang sebuah rahasia bahwa tidak ada tempat di dunia ini untuk orangtua? Aku ingin selamanya muda Clove. Aku ingin terus menjadi muda, tanpa harus menjadi orangtua yang selalu menyedihkan, menyebalkan dan menjijikkan. Tidak ada tempat untuk orangtua di dunia ini Clove, sehingga obat-obat anti kerut wajah itu laris manis di pasar dan apotik di negeri ini! Ah.. Kita selalu mengganggap orangtua adalah makhluk lemah dan tak ada gunanya lagi Clove. Setidaknya begitulah pendapat yang kita yakini ketika kita muda dulu. Naah, kau lihat aku kini? Hahahahahahahahaha.
...............Clove. Aku sudah selesai bercerita. Mari kita teruskan perjalanan ini"
***
Nihaqus (lagi berak)
di Kakus,
19 Agustus.
"Hai Clove. Sebelum kita berjalan lagi, aku ingin bercerita suatu hal padamu. Ini kualami ketika aku akan meminum obatku. Ya. Aku simpan obatku di tempat biasa, sebuah lemari kecil menggantung yang berada di kamar mandiku. Namun, sebelum aku membuka lemari kecil itu, aku melihat sesosok wajah yang sangat kusam di cermin yang berada di lemari kecil itu. Lalu aku buru-buru mengambil sabun cuci mukaku dan mencuci mencuci mencuci dan kuulangi hingga lima kali. Setelah itu, kubasuh mukaku dengan air yang sangat segar sekali. Aaaaaah, mukaku terasa sangat ringan sekali, Clove! Aku kembali melihat cermin di lemari kecil tempatku menaruh seluruh obat-obatku Clove. Kau tahu apa yang terjadi Clove? Bagaikan sulap, seluruh kusamku hilang semua! Hahahahahaha.
..................emm.. namun Clove. Kau tahu apa yang terjadi lagi setelahnya? Kerut-kerut di wajahku terlihat makin mengerikan. Oh! Aku tak ingin melihat muka orangtua menyedihkan di cermin itu lagi! Aku segera membuka lemari obatku dan meminum obat-obatku Clove. Hingga pada hari dimana obat itu tersisa satu, langsung kuhabiskan obat anti kerut wajahku itu tanpa sekali pun membuka cermin. Aku ingin melihat efek dari obat yang aku minum itu Clove dan aku pun tak ingin melihat wajah orangtua yang menyedihkan dan menjijikkan itu lagi.. Lalu setelah kutelan pil terakhir itu, aku mulai membalik pintu lemari obat itu dengan hati-hati dan melihat cerminnya dengan antusias.
............Clove. Oh Orangtua menyedihkan dan menyebalkan itu tetap berada di sana walaupun seluruh obat anti kerut wajahku sudah kuhabiskan semuanya! Aku lalu berpikir Clove. Mengapa kita susah payah harus menanggung seluruh kerut di wajah ini? Mengapa kita harus menjadi orangtua Clove? Apa kau tahu Clove tentang sebuah rahasia bahwa tidak ada tempat di dunia ini untuk orangtua? Aku ingin selamanya muda Clove. Aku ingin terus menjadi muda, tanpa harus menjadi orangtua yang selalu menyedihkan, menyebalkan dan menjijikkan. Tidak ada tempat untuk orangtua di dunia ini Clove, sehingga obat-obat anti kerut wajah itu laris manis di pasar dan apotik di negeri ini! Ah.. Kita selalu mengganggap orangtua adalah makhluk lemah dan tak ada gunanya lagi Clove. Setidaknya begitulah pendapat yang kita yakini ketika kita muda dulu. Naah, kau lihat aku kini? Hahahahahahahahaha.
...............Clove. Aku sudah selesai bercerita. Mari kita teruskan perjalanan ini"
***
Nihaqus (lagi berak)
di Kakus,
19 Agustus.
Tuesday, August 6, 2013
Keep Calm And Selamat Lebaran
SELAMAT LEBARAN YA PEMBACA SETIA BLOG GUE. BAIK YANG BACANYA TERANG-TERANGAN MAUPUN YANG DIEM-DIEM SEMBUNYI. (*Sok ngartis*)
BAIK YANG DI INDONESIA, DI LUAR NEGERI, ATAU YANG DI INDONESIA TAPI PAKE IP ADDRESS LUAR NEGERI. SEMUANYA DEH. SELAMAT LEBARAN YAAAAAAA!
Balik lagi nanti dengan tulisan gue setelah lebaran paling liputan perjalan mudik. Hehehe.
:*
Sunday, August 4, 2013
Their Excuse: Pelarian
Begini, mungkin lo akan mengerti ketika lo udah ngejalanin hubungan yang cukup lama dengan seseorang dan ketika hubungan itu berakhir ada beberapa rasa yang hilang, terutama rasa mau lagi berhubungan serius sama seseorang. Entah itu karena trauma, masih sayang, antipati atau apa yang jelas untuk beberapa kasus, ada yang sampe begitu. Doi mungkin bisa aja deket sama seseorang lagi, tapi untuk ngejalanin hubungan yang serius, dia bakal pikir-pikir banget. Paling mereka ngebiarin proses-proses itu dateng lagi untuk ngembaliin perasaan dia jadi seperti sedia kala. Tapi kalo lo gabisa nunggu proses-proses itu ya ga usah berdalih macem-macem lah semacem: "Gue ga mau cuma dijadiin pelarian"
*F*
*F*
Saturday, August 3, 2013
Aku takkan kecewa pada mereka yang meninggalkanku dan pernah begitu.
Aku tak boleh kecewa dengan hidup yang kujalani dan jalan yang kuhidupi.
Aku tak boleh kecewa dengan kehidupan itu sendiri.
Berbahagialah mereka yang masih bisa memilih kebahagiaan.
Berbahagialah mereka yang masih bisa menemukan kebahagiaan diantara orang-orang yang sulit menemukan kebahagiaan.
Jika aku masih bisa memilih jalan kebahagiaan itu, tentu saja menghabiskan hidup dengan mereka adalah cara sempurna mendefinisikan kebahagiaan itu.
Tapi aku takkan kecewa pada mereka yang meninggalkanku dan pernah begitu.
Mari sini mendekat kembali.
Bagi lagi kehangatan dalam rapatnya ikatan lengan kalian.
Apa yang melekat di badan bisa dihilangkan, namun yang melekat di pikiran sulit untuk dilupakan.
Mari sini sayang. Bagi lagi pembicaraan-pembicaraan yang bisa mendewasakan.
Apa kau bisa izinkan aku rasakan kehangatan itu datang lagi sebelum tubuh ini mendingin?
Aku tak boleh kecewa dengan hidup yang kujalani dan jalan yang kuhidupi.
Aku tak boleh kecewa dengan kehidupan itu sendiri.
Berbahagialah mereka yang masih bisa memilih kebahagiaan.
Berbahagialah mereka yang masih bisa menemukan kebahagiaan diantara orang-orang yang sulit menemukan kebahagiaan.
Jika aku masih bisa memilih jalan kebahagiaan itu, tentu saja menghabiskan hidup dengan mereka adalah cara sempurna mendefinisikan kebahagiaan itu.
Tapi aku takkan kecewa pada mereka yang meninggalkanku dan pernah begitu.
Mari sini mendekat kembali.
Bagi lagi kehangatan dalam rapatnya ikatan lengan kalian.
Apa yang melekat di badan bisa dihilangkan, namun yang melekat di pikiran sulit untuk dilupakan.
Mari sini sayang. Bagi lagi pembicaraan-pembicaraan yang bisa mendewasakan.
Apa kau bisa izinkan aku rasakan kehangatan itu datang lagi sebelum tubuh ini mendingin?
Thursday, August 1, 2013
#Jejak
Aku sedang bersih-bersih. Ruangan ini harus siap ditinggali lagi. Sudah lama semenjak kepergiannya, ruangan ini tidak lagi digunakan oleh orang lain dalam waktu lama. Beberapa mungkin ada yang datang dan melihat-lihat, tapi mereka tidak tinggal. Mereka hanya mampir, lalu pergi lagi. Debu tebal berada dimana-mana. Aku bersihkan dinding utamanya, namun ini tak mau hilang.. Berkali-kali aku bersihkan namun tak juga hilang.
Sayang, jejak ini milikmu, bukan?
Sayang, jejak ini milikmu, bukan?
Wednesday, July 31, 2013
#SuratFrank
Hai,
Hari-hari yang aku jalani sekarang tampak berbeda tanpamu. Mungkin dulu aku terbiasa terbangun karena keberisikanmu membangunkanku sahur dengan berbagai cara, lalu kita masak berdua, dan menyiapkan hidangan sahur sederhana bersama. Ya, walau ada sedikit minyak goreng di mukamu atau ada tumpahan bumbu rendang di bawah bibir bawahmu, tetap banyak canda yang kita habiskan. Begitu bukan? Apa aku salah ingatan? Sekarang, dering alarm ponsel pintarku atau suara rendah ayahku yang berlomba dulu-duluan membangunkanku sahur. Tak ada senyum simpulmu atau mukamu yang bau kasur lagi tahun ini.
Kehilangan? Bisa jadi. Tapi aku nikmati masa itu dan masa sekarang ini. Masa sendiri yang ada di sini, dan masa sendiri yang kau inginkan itu mungkin sama-sama sudah dilewati dengan beberapa momen yang tak kalah indah. Lalu tulisan ini? Hehe, ini sekedar kenangan kecil yang terbawa angin pagi saja. Jangan terlalu ditanggapi.
Oh iya Rik, aku ganti nomor. Aku tahu kamu mungkin tidak akan membaca ini, atau kamu mungkin tidak akan peduli lagi. Sekedar kasihtau kalau itupun membantu. :)
Hari-hari yang aku jalani sekarang tampak berbeda tanpamu. Mungkin dulu aku terbiasa terbangun karena keberisikanmu membangunkanku sahur dengan berbagai cara, lalu kita masak berdua, dan menyiapkan hidangan sahur sederhana bersama. Ya, walau ada sedikit minyak goreng di mukamu atau ada tumpahan bumbu rendang di bawah bibir bawahmu, tetap banyak canda yang kita habiskan. Begitu bukan? Apa aku salah ingatan? Sekarang, dering alarm ponsel pintarku atau suara rendah ayahku yang berlomba dulu-duluan membangunkanku sahur. Tak ada senyum simpulmu atau mukamu yang bau kasur lagi tahun ini.
Kehilangan? Bisa jadi. Tapi aku nikmati masa itu dan masa sekarang ini. Masa sendiri yang ada di sini, dan masa sendiri yang kau inginkan itu mungkin sama-sama sudah dilewati dengan beberapa momen yang tak kalah indah. Lalu tulisan ini? Hehe, ini sekedar kenangan kecil yang terbawa angin pagi saja. Jangan terlalu ditanggapi.
Oh iya Rik, aku ganti nomor. Aku tahu kamu mungkin tidak akan membaca ini, atau kamu mungkin tidak akan peduli lagi. Sekedar kasihtau kalau itupun membantu. :)
Salam manisku,
Frank.
Monday, July 22, 2013
Hujan, Kopi, Johan, Enny dan Hampir Tiga Pagi.
Adalah perpaduan ciamik untuk seorang manusia yang sedang diuji kesabarannya di bulan puasa ini untuk melawan dan mengalahkan ketidakpekaan dan kebiasaan merelakan seseorang (pergi satu persatu dari hidupnya). Setelah ditilik-tilik lagi, semuanya ini adalah perpaduan yang juga mampu menghasilkan bumbu paling sedap dalam kehidupan: Rindu.
Hujan, kopi, Johan, Enny dan Hampir Tiga Pagi bernilai sama dengan rindu yang malu-malu diucapkan malam yang akan hilang.
Tapi maaf, jangan besar kepala dulu.
Rindu yang malu-malu diucapkan malam yang tua itu bukan keterwakilan rindu yang aku rasakan.
Selamat pagi.
Hujan, kopi, Johan, Enny dan Hampir Tiga Pagi bernilai sama dengan rindu yang malu-malu diucapkan malam yang akan hilang.
Selamat pagi.
Monday, July 15, 2013
#RandomConvo1
"Lo kaya ga pernah muda aja?!"
"Gue pernah seumur lu, tapi lu ga pernah seumur gue. Lu gatau apa yang gue tau, makanya gue kasihtau!"
"Dan gimana caranya lu tau, kalo gue boleh tau? Apa karena lu dulu dikasihtau juga?"
"Enggak. Gue punya pengalaman kaya gitu sebelumnya, jadi gue ga pengen lu kaya begitu.."
"Hooo.. Thanks. Kalau begitu, lu ga perlu repot marah-marah ke gue dan ngasihtau apa yang lu tau. Gue udah cukup dewasa kok. Kalopun gue harus tau, biarin gue tau sendiri."
"Kenapa lu keras kepala banget sih?"
"Iya. Emang. Terus kenapa?"
"Ngeyel!"
"Gue cuma kesel aja kalo gue harus melakukan apa yang orang lain tuntut untuk gue lakukan. Gue capek terus-terusan kalo dituntut harus begini harus begitu. Kenapa sih lu ga ngebiarin gue lakuin sesuatu yang gue suka? Kenapa gue harus terus menerus ngikutin apa yang bener dan ngehindarin apa yang salah menurut versi lu?
"Karena balik lagi, lu gatau apa-apa!"
"Oke kalo begitu, balik lagi aja juga deh. Biarin aja gue tau semuanya sendiri, kaya dulu lo tau semuanya sendiri. Lu ga perlu repot-repot nuntun gue lah"
"Ga pengen aja gue liat lu nanti susah. Gue khawatir aja jadinya.."
"Ha?! Lucu banget!! Kalo gue susah, apa gue ngeluh ke elu? Minta lu bantuin gue selama ini? Pernah ga wahai orang-yang-tau-segalanya? malaikat-pelindung-gue?"
"...Engga sih..."
"Nah! Jadi kalo gue susah ya gue juga kan yang rasain? Yang lu rasain tuh menurut gue bukan bentuk kekhawatiran, tapi semacam rasa iba. Dari dulu lu tau, kalo gue paling ga suka dikasihanin sama orang lain"
"Oke. Terserah lo. Lakkukan aja lah apa yang lo mau. Kalo lu kenapa-kenapa, kasihtau gue. I really care of you"
"Gausah. Makasih banyak tawaran baiknya. Gue ga mau ngerepotin lu. Karena saat lu kerepotan, gue malah ikut tambah repot sih.. Jadi, ga terlalu memecahkan masalah"
***
Setelah itu mereka berdua hening dalam keramaian. Si perempuan menyibukkan dirinya dengan ponselnya dan si lelaki memandangi cangkir kopinya yang sudah mendingin..
***
Tamat
"Gue pernah seumur lu, tapi lu ga pernah seumur gue. Lu gatau apa yang gue tau, makanya gue kasihtau!"
"Dan gimana caranya lu tau, kalo gue boleh tau? Apa karena lu dulu dikasihtau juga?"
"Enggak. Gue punya pengalaman kaya gitu sebelumnya, jadi gue ga pengen lu kaya begitu.."
"Hooo.. Thanks. Kalau begitu, lu ga perlu repot marah-marah ke gue dan ngasihtau apa yang lu tau. Gue udah cukup dewasa kok. Kalopun gue harus tau, biarin gue tau sendiri."
"Kenapa lu keras kepala banget sih?"
"Iya. Emang. Terus kenapa?"
"Ngeyel!"
"Gue cuma kesel aja kalo gue harus melakukan apa yang orang lain tuntut untuk gue lakukan. Gue capek terus-terusan kalo dituntut harus begini harus begitu. Kenapa sih lu ga ngebiarin gue lakuin sesuatu yang gue suka? Kenapa gue harus terus menerus ngikutin apa yang bener dan ngehindarin apa yang salah menurut versi lu?
"Karena balik lagi, lu gatau apa-apa!"
"Oke kalo begitu, balik lagi aja juga deh. Biarin aja gue tau semuanya sendiri, kaya dulu lo tau semuanya sendiri. Lu ga perlu repot-repot nuntun gue lah"
"Ga pengen aja gue liat lu nanti susah. Gue khawatir aja jadinya.."
"Ha?! Lucu banget!! Kalo gue susah, apa gue ngeluh ke elu? Minta lu bantuin gue selama ini? Pernah ga wahai orang-yang-tau-segalanya? malaikat-pelindung-gue?"
"...Engga sih..."
"Nah! Jadi kalo gue susah ya gue juga kan yang rasain? Yang lu rasain tuh menurut gue bukan bentuk kekhawatiran, tapi semacam rasa iba. Dari dulu lu tau, kalo gue paling ga suka dikasihanin sama orang lain"
"Oke. Terserah lo. Lakkukan aja lah apa yang lo mau. Kalo lu kenapa-kenapa, kasihtau gue. I really care of you"
"Gausah. Makasih banyak tawaran baiknya. Gue ga mau ngerepotin lu. Karena saat lu kerepotan, gue malah ikut tambah repot sih.. Jadi, ga terlalu memecahkan masalah"
***
Setelah itu mereka berdua hening dalam keramaian. Si perempuan menyibukkan dirinya dengan ponselnya dan si lelaki memandangi cangkir kopinya yang sudah mendingin..
***
Tamat
Subscribe to:
Posts (Atom)