Showing posts with label Fiksi. Show all posts
Showing posts with label Fiksi. Show all posts

Thursday, January 30, 2014

Tentang Damhoeri

Tentang Damhoeri. Ia seorang pengamen jang poenja mimpi djadi anak pedjabat teras. Ia ta’ mau tjapek-tjapek djadi pedjabat. “Lebih enak djadi anaknja adja, karena tinggal habisi doeit orangtoea. Foja-foja dan pesta setiap saatnja”, katanja.
Waktoe itoe, kali pertama akoe kenalan dengannja saat toeroen angkoetan kota bersama. Akoe bawa kandang jang berisi piaraankoe. Damhoeri penasaran karena akoe bawa binatang jang ta’ ladzim dipiara manoesia. Akoe piara roebah dengan boeloenja jang berwarna oranje kemerah-merahan seperti api jang menjala-njala. Ia orang jang banjak tanja karena rasa ingin tahoenja jang besar. Ternyata orangnja ramah dan bersahadja, walaoepoen moekanja tampak sangat menakoetkan.
Akoe ngobrol sebentar dengan Damhoeri karena penasaran djoega dengan kehidoepan djalanan teroetama jang mereka rasakan sendiri. Hanja ingin tahoe soepaja ada motivasikoe teroes oentoek bersjoekoer kepada Allah SWT.
Dia laloe bercerita singkat, menoempahkan kekesalannja kepada orang-orang djaman sekarang jang sedikit sekali peduli pada orang miskin matjam mereka. Bahkan terkadang, dianggap ada poen tidak. Dia pernah sekali waktoe ngamen di angkoetan oemoem, dimana semoea orang menggoenakan alat bantoe dengar jang tersamboeng dengan ponsel atau pemoetar moesik mereka. “Bagaimana mau njanji? Oentoek dengar soeara kita sadja, koeping mereka soedah disoembat. Gimana nanti mereka djadi Presiden atau Pedjabat? Masa maoenja denger jang enak-enak teroes..”
Sajangnja, Damhoeri pamit tjaboet dan njamboeng lagi ngamen di angkot berikoetnja. Ini seperti ironi dalam kehidoepan. Perbedaan jang ada poen semakin lebar dan nganga. Gila djoega. Banjakin sjoekoer-sjoekoer adja lah kita. Agak djaoeh berdjalan, akoe boeka tas. Akoe lihat alat bantoe dengar pemoetar moesikkoe. Laloe kami poen berpisah. Aku teroes berdjalan, dia ada di kotak sampah.

Friday, November 8, 2013

Hujan

Hujan tampak marah-marah sekali. Sesekali petir menggelegar. Tak biasanya hujan semarah ini. Angin bertiup kencang mengempaskan pepohonan ke tanah. Aku terlalu takut untuk menerjang hujan ini. Aku tipe perempuan yang suka merunduk saja dan berteduh. Menunggu hujan reda biarpun hingga larut.

Baru tahun kedua aku kuliah disini. Belum banyak yang kukenal. Belum banyak pula yang aku ketahui. Aku biasa dijemput pulang oleh ayahku sepulangnya kerja. Tetapi hujan ini tampaknya memacetkan ibukota yang mudah tergenang air. Ayahku tak bisa menjemput pulang, mobilnya pasti terjebak dalam lautan roda-roda berputar lintasi Jakarta yang semakin memanas[1]. Aku sendirian dalam kebutaan tentang jalan pulang. Kini hanya ada aku, payung dan hujan dalam satu meja panjang penuh penantian ini. Tak ada gelas dan tak ada nyali.

Pukul setengah lima sore. Hujan tak kunjung berhenti. Memberi isyarat kelelahan pun tidak. Burung-burung gereja pun berteduh dibawah atap kantin ini, sibuk menghangatkan badan dan mengeringkan sayap-sayap basahnya. Hari semakin gelap, bayangan rumput kian pekat.

Pukul lima sore hujan reda walau masih sedikit terisak. Aku segera menuju jalan pulang. Payung hitam peninggalan almarhumah ibuku menemaniku. Aku tahu ibu akan selalu menemaniku dalam hujan yang menakutkan ini.

Hanya ada satu jalan dari kampusku menuju jalan pulang yaitu melalui gang sempit yang hanya muat dua orang. Kata orang, setiap malam menjelang tak jarang kejahatan menyapa tiap bayangan di sepanjang jalan gang ini. Ah, aku benci jalan ini. Makanya, aku berusaha pulang sebelum malam terlalu larut, sebelum cahaya tak bisa menembus jalan ini. Kebetulan, cahaya matahari masih sedikit menggelayut menunggu dilahap sang malam.

Lalu sosok itu muncul di ujung gang. Aku terlalu takut untuk menatap kejahatan, hingga kutundukkan kepalaku dan menatap tiap langkah kakiku. Doaku keluar dari mulutku. Aku pegangi payungku erat-erat, berharap ibu membantu menggenggam tanganku dari atas sana.

Aku merasa kakinya mulai mendekat dan ketika kakiku berpapasan dengan kakinya, aku menatapnya. Aku menatap mata yang begitu melekat dalam mataku. Kita saling berpapasan dan mengangkat payung bersamaan[2]. Aku tersenyum simpul dan dia juga. Ini suatu kebetulan yang membuatku senang dan membuat detak jantungku tak beraturan. Ini adalah aliran yang datang dari langit, ketika hujan datang.

Sejak saat itu, aku selalu menolak jika ayah menawarkan jemputan. Sejak saat itu, aku juga tak lagi takut kepada hujan dan selalu senang menanti hujan datang.

***

Hujan datang lagi. Sejak saat itu aku selalu senang menunggu hujan datang karena aku tahu akan ada pelangi sehabis hujan. Kali ini aku tak membawa payung peninggalan ibuku, karena aku ingin menikmati aliran itu lagi sendirian. Aliran yang dibawa turun dari langit langsung, yang membuatku mabuk kasmaran. Aku ingin menatap mata itu lagi sendirian. Mata yang melekat di mataku yang membuatku jatuh cinta.

Aku sampai diujung jalan gang itu. Aku belum menemukan sosok yang kutunggu. Detik jam terus berdetak membawa dingin masuk kedalam sel kulitku. Aku terus menanti. Tapi tetap tak kutemukan sosok itu diujung gang. Aku kehujanan. Aku basah, oleh hujan dan air mataku sendiri.

Mengapa Tuhan menciptakan misteri atau segala kemungkinan yang tak mampu kita tebak?

***

Hujan datang lagi. Sejak saat itu, aku tak terlalu senang lagi dengan kehadirannya. Karena ternyata pelangi tak selalu muncul sehabis hujan. Pelangi akan datang ketika ada sinar mentari terpantul bulir-bulir air yang menggenang. Sementara hujan hanyalah air yang turun dari langit. Aku paham. Bahwa tak selamanya kemungkinan kehidupan bisa kita tebak akhir ceritanya. Ini misteri yang dari dulu alam bawa, ada sebelum Adam ditendang Tuhan ke bumi ini. Cerita cinta kita ternyata bukan sesuatu yang turun dari langit. Dan aku tutup, cinta pada pandangan pertama itu ternyata sesuatu yang nyata namun absurd.

Pukul lima sore. Hujan tak kunjung berhenti. Aku kembali meminta ayahku menjemput pulang. Aku kembali suka merunduk dan berteduh. Menunggu hujan reda biarpun larut, karena aku takut basah lagi oleh hujan dan air mataku sendiri.

***

[1] The Bobrocks – Romansa Kaum Urban, (2010) Album Kompilasi Sounds From FISIP UI Vol.1, Depok.
[2] Ayusya Abiansekar – Parade Toleransi, (2009) Terbanglah Dara, Kelirpro: Depok.

cinta tidak jatuh dari langit.
Cinta Tidak Jatuh Dari Langit.


 ***
February 17, 2011 at 5:46pm
Notes Facebook:
https://www.facebook.com/notes/nihaqus-nihaq-yuhamus/hujan/501304551639



Thursday, November 7, 2013

Mungkin Besok

"Sekarang saya lagi lelah. Suasana hati saya lagi kacau. Barusan saya minum-minum alkohol, habis 4 botol sendirian. Saya mikir, kenapa setiap saya jalan selalu ada awan hitam kecil yang mengikuti saya. Mengelilingi jalan saya. Selalu. Kelabu. Buang waktu. Mending saya mabok. Jalan-jalan ke luar, ga tentu arah. Ga ada tujuan. Beli senyum orang yang bisa kita lengkungin kaya pelangi. Bebas. Semuanya bebas. Now, I wanna take my time for me. All me. Mungkin besok, saya baru akan cari jalan pulang saya sendiri.”, tulis Mama di ponsel Papa saat aku curi-curi melihatnya. Sekedar mencari jawaban kenapa Mama belum pulang 2 bulan ini.

Thursday, October 24, 2013

Kulepas Kau Lekas

Ada tiga ciri pemimpin yang kuamati dari perjalanan hidupku mengamati orang-orang di sekeliling. Satu, mereka yang selalu berada di depan. Menjadi pusat perhatian. Senang jika orang lain memperhatikan. Mereka ini yang selalu mengumbar kata, menuai pujian. Mereka yang selalu aktif bergerak dan tak suka jika kedudukannya terusik. Mereka yang tak senang kalah dan tak suka berada bukan di depan.

Kedua, adalah mereka yang memimpin bersama-sama, berjalan dan duduk di tengah. Mereka mampu mengatur ritme gerak yang di depan, serta memperhatikan gerak yang di belakang. Mereka yang terbiasa jalan aman dan suka berada di tengah keramaian. Mereka yang harus selalu berada dalam kehangatan. Pancaran mata mereka lembut, bagai surya yang menggelayut. Ketiga, adalah yang memimpin dari belakang. Ia yang hampir tak pernah terlihat memimpin. Mereka yang selalu memastikan semuanya bergerak tak tertinggal. Mereka yang memberikan banyak pelajaran, tapi mereka jugalah yang pada akhirnya ditinggal banyak orang.

Sayangnya, aku tak memperhatikan diriku sendiri. Mataku terlalu sibuk mengamati orang di sekeliling dan otakku sibuk menganalisis tiap-tiap gerak bibir, tangan, tubuh, raut wajah mereka. Untuk apa mereka begini atau karena apa mereka begitu. Sementara orang-orang terbaikku yang seharusnya bisa memperhatikanku dan kumintai pendapatnya, satu per satu justru pergi karena mereka ingin selalu di depan. Lalu pertanyaan yang muncul di permukaan adalah apakah hidup telah melambatkan gerakku atau mereka hanya tak ingin berjalan beriringan lagi?

Manusia telah melakukan rencana, jauh sebelum mereka sempat berbicara. Sebagai manusia hendaknya kita saling berterima pada kenyataan yang sementara ini tak pernah selalu mewah. Anggap saja ini rencana yang tak kita duga, yang harus kita terima. Bukankah hidup menawarkan suka dan duka agar kita tak jera dalam memutuskan di pihak mana kita berada? Kulepas kau lekas. Tak akan kuikatkan lagi pada bibir atau jemariku. Agar rindu tak segera menyusul dan menyumbat alur nafas yang membuat diriku sesak-sesak.

Saturday, October 19, 2013

Aku (Pernah) Punya Sahabat Terbaik

Delapan tahun yang lalu kami masih sekumpulan siswa Sekolah Menengah Atas yang riang dan polos, sampai akhirnya pertemuan kali ini mengubah paradigma itu. Aku pernah punya sahabat terbaikku, delapan tahun yang lalu. Kami semua berdelapan. Bagi kami, tak ada satupun halangan dan rintangan yang mampu menghalangi laju kami ketika kami sudah bersama. Sepele. Kerja kami hanya bersenang-senang, bercanda, ketawa. Aku ulangi, kerja kami hanya bersenang-senang, bercanda dan ketawa. Itu saja cukup bagi kami. Sekolah hanyalah kegiatan sampingan.

Tentang pertemuan kali ini, ah pertemuan kali ini adalah pertemuan yang telah kami janjikan ketika kami lulus SMA. Ketika itu, kami menulis janji kami tebal-tebal di tiap seragam sahabat: "Delapan tahun lagi harus ketemu, kita liat kita jadi apa!"

***

Delapan orang itu berkumpul lagi dalam satu meja, tanpa keriangan yang dulu biasa kami lakukan. Teriakan paling kencang yang terdengar adalah denting gelas dan piring. Kuperhatikan satu-persatu muka sahabatku. Tampak dunia yang mekanik berada pada muka mereka, mereka yang saban harus berangkat pagi, menembus kemacetan Jakarta, terhuyung-huyung supaya datang lebih lebih lebih lebih cepat supaya tidak dihitung absen di Kantor, selesai kerja harus menembus kemacetan Jakarta lagi, dan pulang harus memakan nasi dingin dan basi. Tenaga dan waktu mereka hampir terkuras oleh apa yang kusebut sebagai rutinitas. Entah apa yang mereka tabung. Uang? Kebahagiaan? Masa depan? Aku tak pernah ingin tahu jawabannya, hanya pertanyaan yang terus menerus muncul di dalam hati. Aku rasa, aku bakal ngeri jika kutahu jawabannya.

***

Manusia harus beradaptasi dengan lingkungan baru, begitulah yang seharusnya terjadi agar mereka tetap bisa hidup dan mempertahankan dirinya. Tapi jika sudah seperti ini, apakah berkumpul dan beradaptasi dengan sekumpulan makhluk mekanik akan membuat kita bisa lebih menjadi manusia? Aku tak tahu mana di antara kedua itu yang terbaik. Entahlah. Jawaban itu selalu akan kita miliki sendiri-sendiri. Tapi akan kuberikan jawabanku tapi takkan kupaksakan kepadamu:

"Aku pernah punya sahabat terbaikku delapan tahun yang lalu, yang kini sudah kembali menjadi orang asing.
Kita kembali..
sendiri-sendiri."

Monday, October 7, 2013

You Wish I'm a Dead Fish But Let Me Wish...

It started out as a feeling which then grew into a hope, which then turned into a quiet thought, which then turned into a quiet word and then that word grew louder and louder until it was a battle cry. I'll come back when you call me. No need to say goodbye. Just because everything's changing doesn't mean it's never been this way before. All you can do is try to know who your friends are as you head off to the war. Pick a star on the dark horizon and follow the light. You'll come back when it's over. No need to say goodbye. Now we're back to the beginning. It's just a feeling and no one knows yet. But just because they can't feel it too doesn't mean that you have to forget. Let your memories grow stronger and stronger until they're before your eyes. You'll come back when they call you. No need to say goodbye.

You'll come back when your memories call you. No need to say goodbye.


Thanks, Regina.

Saturday, October 5, 2013

Tembok

Tembok yang kubangun lebih kokoh daripada sebelumnya. Aku ingat, waktu itu aku lupa memberi perekat di setiap bata yang kususun sehingga setiap kau datang tembok tinggi yang sudah kususun itu langsung jatuh dan berantakan. Kemarin yang lebih parah, tembok tinggi yang sudah kususn lagi langsung rubuh hanya dengan satu tangkai bunga matahari.

Tapi kali ini aku sudah temukan semen yang terbaik yang aku dapatkan dari tukang bangunan yang tidak sengaja aku temui di depan pasar, ketika ia sedang ingin memugar gapura taman kanak-kanakku. Namanya Samiduy, laki-laki paruh baya yang tak sengaja aku temui pagi itu. Ketika itu aku sedang asik membeli susu di halaman depan taman kanak-kanak itu, persis di depan pasar dan tanpa kusadari motorku menghalangi laju motor Pak Sam yang mau masuk ke pekarangan taman kanak-kanak itu. Klakson motor Pak Sam mengagetkanku sehingga memancing emosiku. Namun setelah ku lihat perawakan lelaki itu, aku menahan amarahku dan membalas klaksonnya dengan senyum dan meminta maaf padanya karena telah menghalangi jalannya. Sikapku dibalas lunak olehnya, ia juga melemparkan senyum dan juga meminta maaf karena telah mengagetkanku.

Seharusnya waktu itu, pukul delapan pagi, para pekerja sudah harus bekerja termasuk Pak Sam. Tapi baru tiga pekerja yang datang, sementara mandor yang memberikan tugas belum datang sehingga aku banyak ngobrol dengan Pak Sam. Aku ngobrol banyak tentang apa saja yang terlintas di otakku dan di otaknya juga. Kebanyakan hal-hal remeh dan tidak penting bagiku, tapi menurutnya itu sangat penting. Hingga percakapan kami berhenti ketika mandor yang memberikan tugas pada Pak Sam datang dan menyuruhnya untuk bekerja.

Susuku juga sudah habis, sehingga aku sekalian pamit. Tapi Pak Sam menyuruhku untuk menunggu, ia ingin mengambil sesuatu dan memberikannya padaku. Ketika kutanya apa yang akan ia berikan, ia tak menjawab apa-apa dan berlari ke arah dalam TK itu. Tidak lama, tubuhnya yang renta tergopoh-gopoh menghampiriku, dan memberikan sekantong plastik semen.

"Untuk apa semen ini pak?"
"Untuk apapun, nak"

***

Lima belas menit kemudian aku pulang, lalu kubangun lagi tembok tinggi yang tiap kau datang selalu rubuh itu. Tembok itu kubangun tinggi supaya kau tak bisa melihat rumahku lagi. Kau tak perlu lagi repot-repot khawatir pada apapun yang aku lakukan di dalam rumahku ini. Karena semakin kau begitu, semakin kulupakan coretan-coretan di dinding luar yang pernah ku tulis besar-besar: AKU BERJANJI UNTUK... ah lupa.

Kali ini temboknya sudah kuat. Biar angin seribu knot pun tak akan mampu merobohkannya. Kupilih batu terbaik dan sebagai perekatnya kupakai semen pemberian Pak Sam. Ada beberapa jendela satu arah yang kupasang di tembok itu, supaya aku bisa tetap melihat apa yang terjadi di luar sana namun tidak ada yang bisa mengintip apa yang terjadi di dalam sini.

Tembok yang kubangun lebih kokoh daripada sebelumnya.
Di luar tembok, aku coret besar-besar: HARAP MAKLUM.
 
***

Friday, October 4, 2013

Fly Little Wing.


Now she's walking through the clouds with a circus mind that's running wild. Butterflies and zebras and moonbeams and fairy tales. All she ever thinks about is riding with the wind. When I'm sad, she comes to me with a thousand smiles. She gives to me, free. "It's alright, it's alright", she says. "Take anything you want from me. Anything". Now she's walking through the clouds with a circus mind that's running wild. Butterflies and zebras and moonbeams and fairy tales. All she ever thinks about is riding with the wind..


Fly, oh my little wing..

Wednesday, October 2, 2013

Ramai

Oktober,

Hujan memperkenalkan diri. Dia turun dan membasahi semua yang sudah datang. Tamu-tamu sebagian berteduh di bawah kanopi, ditemani kopi. Menjauh dari tetesan hujan yang bisa melunturkan topeng berbentuk bedak padat limaratus ribu yang menempel di muka mereka. Sebagian yang lain memilih bertahan menikmati setiap tetesan hujan. Langit sedang bersuka cita lagi, mengiringi keceriaan beberapa orang yang hampir mati kekeringan. Mereka yang hampir percaya bahwa baju berdebu mereka takkan pernah lagi dibasahi hujan.

Malam semakin larut. Tamu-tamu mulai sibuk dengan percakapan dengan volume tinggi, bersaing dengan suara hujan yang juga tak mau kalah berisik. Musik makin menenggelamkan suara perempuan kecil yang bercerita tentang kekasihnya. Bagiku, suara musik dan suara perempuan kecil itu sama gaungnya. Bergumul menjadi satu diantara gendang-gendang telinga. Psilocybin yang jadi penyebabnya. Cahaya yang datang menjadi spektrum warna yang berputar-putar, menjauh dan mendekat. Denting gelas anggur atau cangkir kopi justru seperti hentakan jemari Sergei Rachmaninoff menghasilkan komposisi.klasik yang syahdu.

Malam makin larut. Kesadaran makin luput. Senyum dan tawa tak mampu ditahan-tahan. Dari luar, kita bisa bersuka ria di tengah keramaian. Menikmati apapun yang terjadi dengan senyum dan tawa artifisial. Dari dalam, perasaan berduka tak bisa dihapuskan. Entah bagaimana caranya lagi.

Mari selesaikan masalah kita yang hampir sama dengan cara kita masing-masing.

Monday, September 2, 2013

Kamera Bang Tuli

Sebut aku dengan nama depanku saja Berkah. Karena aku benci nama belakangku, yang diwariskan dari nama bapakku, yang sudah aku hapus semenjak lima belas tahun yang lalu semenjak bapak selalu menjambakku ketika bapak sedang mabuk atau ketika bapak selalu menyundutku dengan kreteknya saat aku melakukan hal yang menurutnya salah. Kejadian-kejadian itu selalu membuatku trauma, sampai aku memutuskan untuk minggat dari rumah setan itu. Aku tak peduli lagi dengannya setelah itu. Tak peduli ketika ia sakit. Tak peduli ketika ibu juga meninggalkannya. Ia sudah aku hapus dari hidupku semenjak aku memutuskan minggat.

Aku pindah ke kota sejak itu. Meninggalkan ibu dan kedua adik-adikku, Cahaya dan Mulyana. Rasa benci pada bapak juga mengorbankan cintaku pada Asih, aku harus rela meninggalkannya. Aku hanya pesan supaya Asih mau menungguku dan memahami kondisiku. Aku bilang aku mencintainya sampai satu diantara kami mati. Standar. Seperti apa yang aku tonton dan pelajari dari sinetron di televisi.

***

Aku bertahan hidup semampunya dengan cara mengamen. Dua bulan pertama di kota, aku tinggal tak tentu. Kadang di bawah jembatan, kadang di lokasi proyek bangunan. Nasib paling baik tidur di sofa kelurahan. Lumayan. Syukurnya, rasa iba masyarakat kota ini masih lebih besar daripada kota-kota besar lainnya, setidaknya itu yang kutahu dari pengalaman Amir temanku yang penjaja koran.

Uang tabungan yang pelan-pelan kukumpulkan berbulan-bulan akhirnya mampu kuubah jadi kamar kecil yang dapat kutinggali dengan layak serta gitar yang kusayang dan menemani ngamen kemana-mana. Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Atau jangan-jangan takdir memang telah menggariskan bahwa memutuskan tali silaturahmi dengan bapakku yang kafir itu lebih baik daripada hidup diperdaya olehnya.

Dua tahun aku menggantungkan hidup dengan mengamen. Banyak saingan memang di kota ini. Namun, kami saling memahami. Kami tak ribut masalah wilayah atau hal sepele lainnya. Kalaupun ada pengamen lain yang ngotot mengusirku dari wilayahnya, paling ada satu dua. Aku pun mengalah, toh rejeki ga akan lari kemana. Tapi lumayan juga hasil mengamen yang aku geluti, selain untuk menutupi kebutuhanku sehari-hari, sedikit sisa uangnya aku tabung dan kuambil sedikit untuk kredit motor. Walaupun kredit motor bekas, tetap saja kendaraan ini masih bisa kuandalkan kalau ada urusan yang jauh-jauh. Sebenarnya, aku tak mau terus-terusan mengamen. Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Aku dipertemukan oleh orang-orang yang masih punya kebaikan di kota ini. Hanya sedikit memang jumlahnya, tapi mereka semua sudah membantuku banyak, dan itu cukup. Aku dapat banyak informasi tentang peristiwa di dunia ini, mulai dari politik luar negeri hingga intrik keluarga selebritis karena Amir selalu membaca berita dari koran yang ia jajakan. Katanya, ia harus tahu persis apa yang ia jual sehingga ia harus membaca dulu seluruh isi berita yang disajikan koran-koran setiap harinya. Idealisme seorang penjaja koran. Lalu aku belajar banyak tentang komputer dan edit foto dari Bang Tuli.

Bang Tuli, perantauan dari Medan. Namanya memang tak lazim tapi ia asli Medan. Sebagai bagian dari orang Medan, yang tak terlalu banyak mengesankan hidupku, aku rasa Bang Tuli merupakan minoritas dari kelompoknya tersebut. Ia baik, ramah dan sama sekali tidak pernah berperangai buruk. Berbeda dengan Frans misalnya yang selalu ugal-ugalan membawa metromini atau Batak misalnya yang selalu menebar paku di jalanan. Bang Tuli juga seorang fotografer pernikahan, profesi yang jarang diambil seorang perantauan dari Medan. Tiap minggu aku suka diajaknya ikut sebagai timnya ke pernikahan-pernikahan orang yang menggunakan jasanya. Aku membantunya memegangi tiang lampu kamera atau menggulungi kabel, selain menghabiskan makanan kondangan tentunya. Dari sini, semua cerita bermula.

***

Aku mulai menyukai pekerjaan baru ini. Setiap hari aku ngamen kecuali Sabtu dan Minggu. Di hari itu aku ikut Bang Tuli. Tak ada libur dalam kamusku. Setiap hari aku harus mengolah waktu agar menjadi uang dan uang. Aku pikir itu memang menyiksaku, namun aku tak tahu apa yang terjadi di masa depanku. Jadi biar saja aku tak punya waktu yang cukup di masa muda supaya nanti di masa tua tinggal leha-leha dan foya-foya. Persetan warisan. Anakku harus bekerja keras, nantinya. Aku hanya akan memberinya investasi pendidikan dan tak akan lebih agar ia jadi orang yang kuat bersaing dengan orang kota lainnya.

Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Bang Tuli mulai menyukai apa yang aku kerjakan. Ia tahu aku bisa nyanyi, sehingga kadang ia menyuruhku untuk menyumbang satu lagu untuk mempelai. Setelah itu pekerjaanku nambah satu, selain gulung kabel dan megangin tiang lampu video kamera serta menghabiskan makanan undangan tentunya. Hehe. Setiap akhir minggu, aku bertemu banyak orang baru. Ternyata banyak mempelai yang menyukai suaraku dan merekomendasikan tim Bang Tuli kepada rekan-rekan mereka yang mau nikah. Mulai saat itu, order Bang Tuli meningkat pesat. Bang Tuli juga mulai memperkenalkan aku dan mengajariku memotret. Ia ajari aku fungsi dari tombol-tombol rumit yang berada di badan kameranya itu dengan sabar. Lalu, aku dipinjamkan satu kameranya untukku belajar.

Dari situlah aku mulai membawa kamera digital itu kemana-mana. Lihat, bidik, jepret. Lihat, bidik, jepret. Hasilnya aku pamerkan pada Bang Tuli sepulang berburu objek. Kebanyakan hasilnya gambar perempuan lewat. Bang Tuli tertawa ketika ia lihat satu gambar perempuan dengan muka sedang masam. Sepertinya perempuan itu sedang bertengkar dengan pacarnya dan tak sengaja aku mengambil ekspresinya yang sedang masam itu.

***

Hari itu, hari pertama Bang Tuli mempercayaiku untuk mengambil gambar mempelai. Perasaanku campur aduk saat Bang Tuli memberi briefing awal. Tentu senang, tapi aku belum terbiasa untuk mengambil gambar pengantin yang sudah terkonsep dan harus disiplin mengambil gambar sehingga rasa gugup mulai menghampiriku. Aku tak tahu siapa yang akan jadi pengantin nanti, tapi aku harus melakukan yang terbaik. Aku harus mengambil semua momen berharga demi kepuasan pengantin. Aku terus berpikir tentang konsep, rencana dimana pengambilan letak posisiku nantinya dan segala halnya selama perjalanan dari tempat Bang Tuli menuju gedung pernikahan.

Kami akhirnya sampai gedung yang masih sepi dan hanya diisi oleh keluarga kedua pengantin. Menata segala peralatan dokumentasi dan peliputan. Aku banyak meminum kopi karena malam sebelumnya aku kurang istirahat. Entah kenapa aku susah tidur malam itu. Padahal setiap sebelum kerja aku pastikan untuk cukup istirahat supaya tetap segar dan bugar. Syukurnya, kopi membantu membuatku lebih awas karena zat kafeinnya. Aku juga sesekali membidik dan mengetes kamera, merencanakan tempat bidikan yang tepat.

Pukul 09.00 WIB. Acara akad akan segera dimulai. Prosesi akad dilakukan dengan cara Islam. Pengantin pria sudah berada di tempatnya. Duduk tegap dengan mata tajam. Senyumnya simpul tak banyak terumbar. Mungkin ia menyimpan kegugupan dibalik sana. Ia seorang pengusaha tekstil kaya raya bernama Suwandi. Didepannya, terdapat sebuah meja besar yang diatasnya terdapat beberapa hiasan dan mikrofon. Wali nikah dan para saksi juga sudah duduk mengelilingi pengantin. Hanya kursi mempelai perempuan dan penghulu yang masih kosong karena dua alasan berbeda. Penghulu belum hadir di tempat, sementara pengantin perempuan baru akan dihadirkan setelah proses ijab-kabul selesai. Pukul 09.12, penghulu datang dan akad nikah segera dimulai. Aku juga langsung membidik semua momen dan semua orang yang hadir dalam acara itu. Tak satupun yang luput dari bidikan kameraku.

Prosesi akad berjalan cepat. Penghulu lalu memanggil mempelai perempuan yang sedari tadi menunggu di sebuah bilik kecil yang berada di pojok gedung itu. Aku menunggu mempelai itu tepat di depan pintu masuknya. Beberapa keluarga yang mengiringi mempelai perempuan mengawali proses keluarnya sang pengantin. Aku langsung membidik momen itu dengan lensa kameraku. Cekrik. Cekrik. Cekrik. Hingga jepretan kelima aku baru menyadari suatu hal yang semenjak pagi tadi tak aku sadari....

Dia adalah Asih.
Pengantin perempuan itu.
Ia kekasihku yang kutinggalkan dua tahun lalu.
Aku berhenti membidik kali ini.
Membeku.
Karena tajamnya mata lensa seribu kali lebih menyakitkan dari mata pisau yang menghujam mataku.

Asih melihatku. Ia berhenti berjalan. Kami berdua terpaku memandang diri kami masing-masing. Tidak. Kami tidak terpaku dengan cara yang paling romantis kali ini. Semua mata memandangi kejadian ini. Senyum yang daritadi Asih umbar di wajahnya menjelma keterkejutan. Aku membelakangi Asih dan segera bergegas menuju Bang Tuli. Aku serahkan kamera itu pada yang berpunya. Aku lalu pamit pada Bang Tuli, tak menjelaskan apa-apa kecuali bilang aku tiba-tiba sakit. Aku pergi meninggalkan gedung itu. Persetan dengan prinsipku sendiri yang baru aku niatkan pagi tadi. Persetan melakukan yang terbaik untuk mempelai. Persetan dengan semuanya. Perasaanku campur aduk. Mungkin ini jawaban tentang firasat kenapa aku malam sebelumya menjadi gelisah tanpa alasan.

***

Aku kembali ke kampung halamanku. Memandangi nisan bapak dan ibuku. Mendoakan agar dilapangkan kuburnya dan memaafkan segala kekurangan mereka. Aku bersihkan makam mereka dari tumbuhan liar yang tumbuh di atas tanahnya. Aku lalu menyuruh seorang penjaga makam untuk menanam sebuah nisan disamping makam ibuku. Nisan marmer yang kupesan dari hari pertama kedatangan kembali ke kampung halamanku ini. Asih. Begitu tulisan yang berada pada nisan itu.

Aku tanam sebagai simbol dukaku kehilangannya untuk selamanya.

***

Tamat.

Nihaqus Yuhamus
Bekasi, 2 September 2013.

Friday, August 23, 2013

Gun.Gul.Records

Alkisah terdapatlah seorang penyanyi yang diberkati Tuhan dengan suaranya yang aduhai begitu merdu. Penyanyi itu dilahirkan dengan jenis kelamin perempuan, bahkan status kepenyanyiannya telah diketahui lebih dulu oleh dokter ketimbang jenis kelaminnya. Karena pada saat keluar dari lubang vagina ibunya, si bayi mungil ini langsung berteriak dengan keras: Weeeeeee are the champions, ma freen~

Dokter yang terkejut ketika itu tidak memberitahukan kasus ini pada siapapun. Pertama karena para perawat sedang mempersiapkan inkubator untuk si bayi kecil ini. Kedua karena ibu si bayi langsung pingsan setelah berhasil melahirkan bayi ini. Ketiga karena bapak si bayi tidak berani masuk ruang persalinan karena trauma dengan darah. Dokter lalu menggendong bayi perempuan ini yang masih melanjutkan lagu dari Queen tersebut. Hal ini menurutnya tidak boleh diberitakan pada siapapun karena ini adalah keajaiban dan mukjizat yang tidak pernah terjadi lagi setelah kasus Nabi Isa yang bisa langsung ngobrol pas bayi.

Tapi berhubung gue yang nulis cerita, jadi yang tau kisah ini selain dokter itu ya gua. Mau apa lo?

***

Tujuh belas tahun kemudian, bayi ini telah tumbuh ranum menjadi mangga yang siap petik. Wangi gadis ini setelah mandi sudah bukan wangi Zwitsal atau Kodomo lagi, namun sudah berganti jadi wangi Pucelle dan Rexona Roll-On. Biasalah, gadis dalam masa pertumbuhan begitu memang menyimpan aroma singit yang harus ditutupi dengan berbagai macam wewangian.

Suara si gadis pun juga makin syahdu aduhai. Vibrasinya makin mantap dan lengkingan suaranya juga sangat luar biasa. Padahal musik yang dimainkannya sejenis musik keroncong dan campursari. Musik yang dengan improvisasi yang jarang dari para penyanyinya. Karena vibrasi dan lengkingan suaranya yang membahana, maka terciptalah sebuah sub-genre baru yang dinamakan Keroncurok. Keroncong campur Rock. Begitulah, akhirnya genre ini dikenal luas karena VCD bajakannya yang menayangkan grup musik si gadis ketika konser live di berbagai acara sunatan tersebar luas dimana-mana.

***

Selama dua tahun konsisten mengarungi jalan kemahsyurannya sendiri dengen genre Keroncuroknya, si gadis mulai dikenal luas oleh masyarakat. Regi Travolta menjadi nama panggung yang setiap dikumandangkan oleh MC, beberapa lelaki langsung melampiaskan syahwatnya dengan sholat berjamaah.

Ternyata, pemain bass dari grup Keroncurok yang bernama Orsun (Orkes Sunatan) Sumenep Berjaya itu menyimpan hati juga pada Regi Travolta. Lelaki kurus kumel dengan rambut gondrong perawakan khas orang Jawa itu bernama Margi. Nama yang cukup keren kedengerannya. Padahal orangtua Margi dulu nulis di akta kelahiran dengan nama Margiyono yang tak terpisah. Namun karena tuntutan zaman, Margi merasa malu kalau tetep membawa Yono di namanya. Akhirnya setelah berijtihad, Margi memerdekakan diri dari Yono. Nama Yono ini lalu diambil oleh Siti Habibah dari Pacitan untuk menambahi nama untuk anaknya yang sering sakit ingus kronis. Nama anak itu sebelum ditambahi Yono adalah Susilo Bambang Yudho.

Oke. Balik ke cerita Margi dan Regi. Margi ternyata selama ini memendam rasa kepada Regi, tapi rasa itu tak pernah ia utarakan langsung pada Regi. Ia hanya cari-cari perhatian aja selama ini supaya Regi melihatnya, dengan cara memvariasikan permainan bas yang ia mainkan dengan lagu yang sedang ia iringi. Contoh paling terakhir adalah ia sukses membuat Regi melihatnya ketika Regi sedang membawakan lagu klasik Final Countdown dari Europe, tiba-tiba Margi memvariasikannya dengan petikan bass lagu Lima Perkara dari Raihan.

***

Orangtua Regi adalah orangtua biasa saja. Bapaknya adalah akademisi, lulusan S3 Universitas di Cambridge. Namun setelah balik ke Indonesia bapaknya malah jadi tukang pukul karena jadi akademisi di sini kurang begitu dihargai. Atau harga seorang akademisi jauh lebih murah ketimbang jadi tukang pukul. Ibunya adalah ibu rumah tangga. Maksudnya, Ibu yang menjual seluruh rumah bertangga yang ada di perusahaan properti Agung Sedayu dan Podomoro Group.

Regi sudah kebelet pengen kawin. Masalahnya adalah ia terlalu sering kawin. Makanya ia bingung menentukan pilihannya, mau kawin sama siapa. Si X begini. Si Y begitu. Si Z kurang ini. Si W lebih disitu. Semua penuh pertimbangan. Maklumlah Regi selain anak satu-satunya sehingga berstatus dilindungi juga seorang perempuan yang punya banyak lelaki di setiap Kota. Nah! Hal yang pertama itu diketahui semua orang, sedang yang terakhir hanya Regi sendiri yang mengetahui. Sesungguhnya ia berperilaku demikian karena dulu waktu SMP menjadi bahan olok-olok perempuan-perempuan lainnya karena gayanya yang cupu waktu sekolah. Iya, dulu seragamnya dia masukin, roknya dia naikkin seperut. Terus roknya dibikin ngatung tiga perempat, dan dia pake kaos kaki panjang putih. Sementara tren perempuan-perempuan SMP gaul pada saat itu adalah yang berjilbab panjang dan roknya juga panjang. Yah, kalah suaralah intinya. Sehingga, cowok-cowok di sekolah ikut-ikutan menjauhi Regi. Makanya sekarang ia nekat jadi perempuan yang liar dan nakal supaya gaul dan bisa ngecengin balik temen-temen SMPnya yang kebanyakan udah pada nikah karena hamil duluan.

Tapi berhubung gue yang nulis cerita, jadi yang tau kisah ini selain Regi itu ya gua juga. Mau apa lo?

***

Guna mencari lelaki yang tepat, Regi mengadakan sayembara. Barangsiapa yang bisa menarik perhatiannya akan dia jadikan suami dan ayah dari anak-anaknya nanti. Pengumuman disebar ke seluruh negeri lewat media Youtube. Total pengunjung sudah melebihi 7 juta akun. Namun yang datang ke tempat yang sudah ditentukan Regi hanya 10 orang. Naas. Tapi Regi tetap mensyukurinya. Dari kesepuluh orang itu, Margi jadi salah satu yang ikut jadi kontestan. Regi kaget. Baru kali ini Margi memberanikan diri untuk dilihat Regi selain salah-salah variasi main bass-nya.

Oke kesepuluh orang itu mulai menunjukkan kemampuannya masing-masing. Satu persatu mereka maju, setelah mengisi formulir daftar ulang peserta sayembara ini. Orang pertama, mirip Agung Hercules. Ia membawa barbel kemana-mana. Kemampuannya hanyalah membentuk otot semata. Ketika ia ditanya oleh Regi dengan pertanyaan "hasil dari satu tambah satu sama dengan?", orang pertama tidak mampu menjawab. Akhirnya orang pertama gagal melanjutkan ke fase berikutnya. Orang kedua lalu maju. Ia mirip Indra L. Bruggman. Putih, tinggi, besar, bergigi gingsul yang menarik perhatian. Namun ketika ia ditanya oleh Regi apa motivasinya mengikuti sayembara ini, si orang kedua menjawab bahwa ia janjian mau ketemu orang ketiga yang mirip sama Bertrand Antolin. Akhirnya, orang kedua dan orang ketiga bertemu. Mereka berciuman di depan umum. Mereka pun masa bodoh gagal melanjutkan ke fase berikutnya.

Orang keempat lalu maju, ia mirip Jaja Miharja. Matanya bisa tertutup sebelah sementara sebelahnya lagi tetap membuka sempurna. Keahliannya hanya itu. Regi tidak tertarik pada kemampuan orang keempat, maka dari itu orang keempat pun gagal melanjutkan ke fase berikutnya. Sampai orang kesembilan, Regi tidak menemukan orang yang mampu menarik perhatiannya hingga kesempatan terakhir yang akan diberikan untuk orang kesepuluh: Margi.

Si pemain bass ini lalu maju kedepan. Herannya, ia tidak membawa bassnya yang selama ini mampu membuat banyak perempuan becek kala melihatnya membetot-betot senar bas yang tebel-tebel itu. Ia lalu melihat Regi dalam-dalam. Lalu Margi berbicara pada Regi,

"Aku ga bakal mainin bass, karena kamu udah tau semua rahasia permainan bass-ku. Aku kesini cuma bawa BPKB mobil BMW merah tuh yang ku parkir di depan itu lengkap sama STNKnya atas nama kamu. Abis itu, aku bawa sertifikat tanahku yang aku punya di Lapangan Banteng. Sama satu lagi, aku punya label rekaman Gun-Gul Records. Gundah Gulana Records. Label rekaman yang sengaja aku bikin karena aku galauin kamu. Nah, kalo kamu ga terima pinangan ini, mungkin itu label rekaman bakal aku bakar seisi-isinya. Bodo amatlah kalo ternyata di dalemnya ada orang yang lagi rekaman juga.. Jadi gimana?"

Mendengar ucapan Margi, Regi langsung loncat bahagia. Ia berlari menghampiri Margi dan memeluknya. Akhirnya Regi menetapkan pilihannya. Ia telah memilih Margi sebagai suaminya. Seluruh warga RT dan RW yang mendatangi acara sayembara itu langsung bersorak gembira. Pak RT selaku wali dan ketua panitia sayembara akhirnya meresmikan pilihan itu dan mengumumkan hari bahagia yang akan dilaksanakan selanjutnya yaitu hari pernikahan antara Regi dan Margi. Ayah Regi juga tersenyum simpul. Ia tidak bisa menjadi ketua panitia karena ia satu-satunya tukang pukul di wilayah itu, hingga ia harus menjaga keamanan acara anaknya di baris paling depan.

***

Hari pernikahan pun tiba. Semua gembira dan Regi serta Margi hidup bahagia selama-lamanya.

***

Sayangnya ini cuma cerita.
Adios.

Monday, August 19, 2013

#RandomConvo2

Orangtua 1 kepada Orangtua 2.

"Hai Clove. Sebelum kita berjalan lagi, aku ingin bercerita suatu hal padamu. Ini kualami ketika aku akan meminum obatku. Ya. Aku simpan obatku di tempat biasa, sebuah lemari kecil menggantung yang berada di kamar mandiku. Namun, sebelum aku membuka lemari kecil itu, aku melihat sesosok wajah yang sangat kusam di cermin yang berada di lemari kecil itu. Lalu aku buru-buru mengambil sabun cuci mukaku dan mencuci mencuci mencuci dan kuulangi hingga lima kali. Setelah itu, kubasuh mukaku dengan air yang sangat segar sekali. Aaaaaah, mukaku terasa sangat ringan sekali, Clove! Aku kembali melihat cermin di lemari kecil tempatku menaruh seluruh obat-obatku Clove. Kau tahu apa yang terjadi Clove? Bagaikan sulap, seluruh kusamku hilang semua! Hahahahahaha.

..................emm.. namun Clove. Kau tahu apa yang terjadi lagi setelahnya? Kerut-kerut di wajahku terlihat makin mengerikan. Oh! Aku tak ingin melihat muka orangtua menyedihkan di cermin itu lagi! Aku segera membuka lemari obatku dan meminum obat-obatku Clove. Hingga pada hari dimana obat itu tersisa satu, langsung kuhabiskan obat anti kerut wajahku itu tanpa sekali pun membuka cermin. Aku ingin melihat efek dari obat yang aku minum itu Clove dan aku pun tak ingin melihat wajah orangtua yang menyedihkan dan menjijikkan itu lagi.. Lalu setelah kutelan pil terakhir itu, aku mulai membalik pintu lemari obat itu dengan hati-hati dan melihat cerminnya dengan antusias.

............Clove. Oh Orangtua menyedihkan dan menyebalkan itu tetap berada di sana walaupun seluruh obat anti kerut wajahku sudah kuhabiskan semuanya! Aku lalu berpikir Clove. Mengapa kita susah payah harus menanggung seluruh kerut di wajah ini? Mengapa kita harus menjadi orangtua Clove? Apa kau tahu Clove tentang sebuah rahasia bahwa tidak ada tempat di dunia ini untuk orangtua? Aku ingin selamanya muda Clove. Aku ingin terus menjadi muda, tanpa harus menjadi orangtua yang selalu menyedihkan, menyebalkan dan menjijikkan. Tidak ada tempat untuk orangtua di dunia ini Clove, sehingga obat-obat anti kerut wajah itu laris manis di pasar dan apotik di negeri ini! Ah.. Kita selalu mengganggap orangtua adalah makhluk lemah dan tak ada gunanya lagi Clove. Setidaknya begitulah pendapat yang kita yakini ketika kita muda dulu. Naah, kau lihat aku kini? Hahahahahahahahaha.

...............Clove. Aku sudah selesai bercerita. Mari kita teruskan perjalanan ini"


***
Nihaqus (lagi berak)
di Kakus,
19 Agustus.

Thursday, August 1, 2013

#Jejak

Aku sedang bersih-bersih. Ruangan ini harus siap ditinggali lagi. Sudah lama semenjak kepergiannya, ruangan ini tidak lagi digunakan oleh orang lain dalam waktu lama. Beberapa mungkin ada yang datang dan melihat-lihat, tapi mereka tidak tinggal. Mereka hanya mampir, lalu pergi lagi. Debu tebal berada dimana-mana. Aku bersihkan dinding utamanya, namun ini tak mau hilang.. Berkali-kali aku bersihkan namun tak juga hilang.

Sayang, jejak ini milikmu, bukan?

Wednesday, July 31, 2013

#SuratFrank

Hai,

Hari-hari yang aku jalani sekarang tampak berbeda tanpamu. Mungkin dulu aku terbiasa terbangun karena keberisikanmu membangunkanku sahur dengan berbagai cara, lalu kita masak berdua, dan menyiapkan hidangan sahur sederhana bersama. Ya, walau ada sedikit minyak goreng di mukamu atau ada tumpahan bumbu rendang di bawah bibir bawahmu, tetap banyak canda yang kita habiskan. Begitu bukan? Apa aku salah ingatan? Sekarang, dering alarm ponsel pintarku atau suara rendah ayahku yang berlomba dulu-duluan membangunkanku sahur. Tak ada senyum simpulmu atau mukamu yang bau kasur lagi tahun ini.

Kehilangan? Bisa jadi. Tapi aku nikmati masa itu dan masa sekarang ini. Masa sendiri yang ada di sini, dan masa sendiri yang kau inginkan itu mungkin sama-sama sudah dilewati dengan beberapa momen yang tak kalah indah. Lalu tulisan ini? Hehe, ini sekedar kenangan kecil yang terbawa angin pagi saja. Jangan terlalu ditanggapi.

Oh iya Rik, aku ganti nomor. Aku tahu kamu mungkin tidak akan membaca ini, atau kamu mungkin tidak akan peduli lagi. Sekedar kasihtau kalau itupun membantu. :)


Salam manisku,

Frank.

Monday, July 22, 2013

Hujan, Kopi, Johan, Enny dan Hampir Tiga Pagi.

Adalah perpaduan ciamik untuk seorang manusia yang sedang diuji kesabarannya di bulan puasa ini untuk melawan dan mengalahkan ketidakpekaan dan kebiasaan merelakan seseorang (pergi satu persatu dari hidupnya). Setelah ditilik-tilik lagi, semuanya ini adalah perpaduan yang juga mampu menghasilkan bumbu paling sedap dalam kehidupan: Rindu.

Hujan, kopi, Johan, Enny dan Hampir Tiga Pagi bernilai sama dengan rindu yang malu-malu diucapkan malam yang akan hilang.

Tapi maaf, jangan besar kepala dulu.
Rindu yang malu-malu diucapkan malam yang tua itu bukan keterwakilan rindu yang aku rasakan.

Selamat pagi.

Wednesday, July 17, 2013

#ThingsToRemember


Sebentar lagi waktunya akan datang. Aku akan memenuhi janji pada ucapanku sendiri dan itu akan terasa melegakan. Tak banyak yang bisa aku berikan. Lebih daripada benda. Aku berikan kau tanda. Mungkin kau tidak akan memahami maksudku dan semua benda-benda bertanda itu. Sekarang akan ku beritahu.

Adalah sinar yang seharusnya mengingatkanmu pada gelapnya jalan menuju pulang. Adalah alat hitung yang seharusnya membantumu membuat perhitungan-perhitungan sebelum kau memutuskan. Adalah tempat penyimpanan yang seharusnya mengingatkanmu tentang pentingnya menyimpan rapat-rapat hal yang bernilai. Adalah jam yang seharusnya mengingatkanmu tentang betapa banyaknya waktu yang sudah kita habiskan bersama.

Semua kubalutkan dalam hal-hal yang kau sukai, sebagai caraku mengajarkanmu secara diam-diam. Supaya kau menyukai bendanya dan tidak merasa bahwa aku terlalu pintar untuk mengajarkanmu tanda-tandanya. Persis seperti kata penulis kesukaanku: "Ada makna dibalik semua pertanda". Sebentar lagi waktunya akan datang. Semoga kau mengerti.

Monday, July 15, 2013

#RandomConvo1

"Lo kaya ga pernah muda aja?!"

"Gue pernah seumur lu, tapi lu ga pernah seumur gue. Lu gatau apa yang gue tau, makanya gue kasihtau!"

"Dan gimana caranya lu tau, kalo gue boleh tau? Apa karena lu dulu dikasihtau juga?"

"Enggak. Gue punya pengalaman kaya gitu sebelumnya, jadi gue ga pengen lu kaya begitu.."

"Hooo.. Thanks. Kalau begitu, lu ga perlu repot marah-marah ke gue dan ngasihtau apa yang lu tau. Gue udah cukup dewasa kok. Kalopun gue harus tau, biarin gue tau sendiri."

"Kenapa lu keras kepala banget sih?"

"Iya. Emang. Terus kenapa?"

"Ngeyel!"

"Gue cuma kesel aja kalo gue harus melakukan apa yang orang lain tuntut untuk gue lakukan. Gue capek terus-terusan kalo dituntut harus begini harus begitu. Kenapa sih lu ga ngebiarin gue lakuin sesuatu yang gue suka? Kenapa gue harus terus menerus ngikutin apa yang bener dan ngehindarin apa yang salah menurut versi lu?

"Karena balik lagi, lu gatau apa-apa!"

"Oke kalo begitu, balik lagi aja juga deh. Biarin aja gue tau semuanya sendiri, kaya dulu lo tau semuanya sendiri. Lu ga perlu repot-repot nuntun gue lah"

"Ga pengen aja gue liat lu nanti susah. Gue khawatir aja jadinya.."

"Ha?! Lucu banget!! Kalo gue susah, apa gue ngeluh ke elu? Minta lu bantuin gue selama ini? Pernah ga wahai orang-yang-tau-segalanya? malaikat-pelindung-gue?"

"...Engga sih..."

"Nah! Jadi kalo gue susah ya gue juga kan yang rasain? Yang lu rasain tuh menurut gue bukan bentuk kekhawatiran, tapi semacam rasa iba. Dari dulu lu tau, kalo gue paling ga suka dikasihanin sama orang lain"

"Oke. Terserah lo. Lakkukan aja lah apa yang lo mau. Kalo lu kenapa-kenapa, kasihtau gue. I really care of you"

"Gausah. Makasih banyak tawaran baiknya. Gue ga mau ngerepotin lu. Karena saat lu kerepotan, gue malah ikut tambah repot sih.. Jadi, ga terlalu memecahkan masalah"

***

Setelah itu mereka berdua hening dalam keramaian. Si perempuan menyibukkan dirinya dengan ponselnya dan si lelaki memandangi cangkir kopinya yang sudah mendingin..

***

Tamat

Saturday, July 13, 2013

666

"enam ratus enam puluh lima.."

***

Bar.
Malam itu udara di luar jauh berbeda daripada ruangan tempatku berada. Udara diluar sangat dingin, tipikal udara yang selalu begitu ketika tiap hujan berhenti. Sementara ruangan ini penuh dengan kepulan asap yang mengantri disedot mesin penyedot udara tua itu, dan kau bisa bayangkan betapa gerahnya ruangan ini. Ve, sudah lama duduk menemani kumpulan lelaki tua dengan perut gendut yang tiap kancing kemejanya hampir-hampir lepas karena kegendutannya itu. Lelaki-lelaki itu bukanlah lelaki kesepian, hanya butuh hiburan yang baru dengan gundik-gundik yang beberapa diantaranya kukenal. Salah satunya termasuk Ve, gadis yang sudah 3 tahun diasuh oleh Bella, si Ratu Gundik. Haha, jangan bayangkan Bella adalah perempuan cantik dengan tubuh langsing dan digila-gilai banyak lelaki hidung belang. Tidak. Jauh daripada itu, ia adalah perempuan gendut dan bau, ia hanya wangi ketika ada klien yang datang untuk mencari jasa-jasa gundiknya. Ia tidak mahir berdandan dan memiliki selera busana di bawah rata-rata. Walau demikian, aku sudah 13 tahun bekerja untuknya. Menghasilkan uang yang lumayan banyak hanya untuk menemani perempuan-perempuan kesepian yang ditinggalkan suami, atau sekedar bermain dalam arisan perempuan-perempuan sosialita yang terlalu penasaran atau barangkali terlalu doyan dengan kontol. Merekalah salah satu klien-klien Bella.

Muka Ve hari ini tampak tidak terlalu bersemangat. Sama sepertiku. Alasanku sederhana, aku bosan. Sementara untuk alasan Ve, aku tidak terlalu paham. Mukanya bersungut-sungut, tapi kepedulianku hanya cukup untuk memperhatikannya dari meja bar. Tidak lebih. Aku memesan minuman. Sebotol bir dingin Franziskaner Hefe-Weisse untukku dan segelas Mount Gay Rum dengan cola untuk Ve, kesuntukanku dan malam yang pengap ini. Aku suruh pelayan untuk mengantarkan minumannya ke Ve. Ve menerimanya dan melirikku. Lalu kita bersulang di udara.

"Roe-Ans!"

***

Apartment.
Aku tinggal dalam kemewahan yang barangkali hanya sedikit orang yang mampu menikmatinya di negeri ini. Kemewahan-kemewahan yang aku dapatkan dari kebutuhan perempuan akan perhatian, sedikit belaian, kehangatan pelukan dan ciuman-ciuman palsu. Ah, satu lagi. Hubungan seksual. Siapa bilang perempuan tidak membutuhkan hal yang satu itu? Aha, aku ceritakan sedikit saja rahasia pada kalian, bahwa dalam dasarnya, perempuan memiliki hasrat buas akan percintaan yang berapi-api walaupun pada permukaan ia terlihat begitu tertutup terbalut oleh kepalsuan-kepalsuan atau barangkali tipuan-tipuan yang mereka namakan: kealiman sosial.

Aku bisa saja mendapatkan seluruh rahasia itu, ah barangkali rahasia umum itu dari semua perempuan-perempuan yang sudah aku layani. Mereka yang tidak segan-segan untuk membayarku mahal, mereka yang tidak ragu-ragu memberikan apapun yang aku inginkan walaupun permintaan-permintaan yang tidak masuk akal hanya untuk mendapatkan apa yang tidak mereka dapatkan dari suami atau pasangan mereka. Tentu saja, aku meminta lebih untuk apa yang aku bisa lakukan yang semua orang tidak bisa lakukan. Itulah yang menjadi jawaban akan kemewahan-kemewahan yang aku dapatkan ini. Lidah, adalah kekuatan lelaki sepertiku, dan perempuan adalah makhluk yang paling menyukai kata-kata yang membuat mereka merasa senang, walaupun itu adalah kebohongan. Itulah kelemahan mereka. Mereka sedia untuk membayar mahal kebohongan-kebohongan yang telah menjadi candu itu dan tenang saja aku sangat menikmatinya!

Ah sudahlah, kuceritakan tentang kamar ini. Aku berbagi kamar dengan Ve. Kamarku berada di apartmen kelas premium di wilayah bisnis di Kota ini. Sudah aku katakan di awal tadi, hanya sedikit yang bisa mendapatkan kemewahan seperti ini. Aku takut karena sudah terlalu lama menumpang denganku, hubungan kami akan berakhir menjadi seperti saudara, itu yang aku jauhi. Karena itu, kapan pun aku mau, akan aku ajari bagaimana hubungan diantara kita yang seharusnya terjalin. Pada awalnya, Ve tidak setuju dengan apa yang aku tawarkan. Namun lambat laun, logika bisnisnya juga berjalan dan ia merasa bahwa apa yang aku tawarkan sangat menguntungkan bagi logika bisnisnya. Jadi, kami berdua sepakat untuk menjadikan hubungan kita dalam wilayah kumpul-manusia-yang-butuh-hubungan-seksual-secara-kompromis.

Kami berada di ranjang sekarang. Melakukan beberapa sentuhan awal untuk menghangatkan suasana. Aku menyusuri seluk tubuh Ve yang walaupun sudah ku lakukan ratusan kali tetap tak bosan kulakukan. Belum lama kami membagi kehangatan, ponselku berbunyi. Bella menelponku. Aku biarkan tak terangkat karena aku masih asik menyusuri tubuh Ve dengan bibir dan lidahku. Sesekali lenguhan Ve seperti api yang membuatku tersundut. Suara ponselku berbunyi lagi. Bella menelponku lagi. Ergh, kali ini aku harus menjawabnya karena dari dialah kemewahan-kemewahan ini hadir.

"Ya?"
"Lama sekali kau.."
"Mandi, biasa. Kenapa?"
"Ada klien baru"
"Siapa?"
"Pejabat. Kau harus tau! Ia adalah Ketua salah satu partai politik di negeri ini!"
"Ha? Bella, aku tahu ini sudah larut. Barangkali kau mabuk. Ini nomorku. Bukan nomor Ve"
"Aku tidak sedang mabuk, Clove. Ia meminta kau dan Ve, bermain seks. Ia hanya ingin menonton adegan kalian bercinta secara langsung dan ia bersedia membayar mahal untuk itu"
"Tapi, kita dari dulu tidak melakukan itu.."
"Klien baru, selera baru. Kau tau ia bersedia bayar 80 juta per dua jam untuk ini"
"Gila! Okay, aku dengarkan"
"Kalian hanya cukup bermain seks di depannya. Tidak perlu canggung. Tidak ada rekaman. Tidak ada orang lain, kecuali kalian bertiga"
"Selebihnya?"
"Selebihnya tidak ada. Kalian cukup melakukan apa yang ia inginkan. Kecuali perjanjian diatara kalian yang tidak aku ketahui. Tapi aku akan pastikan bahwa tidak ada perjanjian yang tidak akan kuketahui"
"Bertahun-tahun aku berada diketiakmu dan menghasilkan seluruh kemewahan ini. Bagiku itu cukup, tak butuh yang lebih dari ini. Kau bisa lihat loyalitasku selama ini, kan? Hahaha. Lalu, kapan?"
"Sebisa kalian. Kapan?"
"Okay, besok."
"Kau gundikku yang paling bisa kuandalkan Clove!"

Bella menutup percakapan itu dengan nada antusias. Sementara aku dalam keadaan bingung. Akan mudah bila kukatakan pada Ve tentang ini, karena ia begitu terbiasa melakukan hubungan seksual dengan lelaki atau ditonton lelaki. Sementara aku? Aku terbiasa menjadi satu-satunya lelaki dalam tiap jasa-jasaku yang sudah belasan tahun kulakukan dan menjadi seperti rutinitas. Lalu apa jadinya bila semua adegan percintaan ini dilihat lelaki-yang-lain?

***

Apartment 2.
Kami bertemu pada sebuah tempat. Kami berempat. Aku, Ve, Bella dan si lelaki yang menurut Bella adalah salah satu ketua partai politik di negeri ini, yang memperkenalkan diri sebagai Mr. Fahri. Sayangnya, aku tidak pernah mengikuti perkembangan terakhir situasi politik di negeriku sehingga bagiku ia tak jauh berbeda dengan klien Bella yang lainnya. Makhluk malang kesepian yang memiliki penyimpangan mental dan komitmen. Hanya mungkin, ini pengalaman baru bagiku yang menerima bayaran dari seorang lelaki.

Bella dan Mr. Fahri lalu membicarakan bisnis. Sementara aku masih memandang Ve dengan penuh senyum-senyum penuh tanda. Aku benar-benar tidak biasa ditonton oleh lelaki. Seperti ada keraguan pada diriku sendiri untuk melakukan ini, bahkan untuk bisnis. Tapi uang delapan puluh juta per dua jam adalah logika lain yang lambat laun menutupi keraguanku. Itu adalah logika yang tak masuk logika. Untuk apa ia menyediakan dana sebesar itu hanya untuk melihat adegan kami bersetubuh secara langsung dalam waktu yang bisa saja kami ulur-ulur??

Mr. Fahri lalu menaruh sebuah briefcase diatas meja. Ia membuka isinya dan terlihat tumpukan-tumpukan uang seratus ribu yang berjejer dan wangi uang baru yang sangat khas. Mataku dan Ve langsung tertuju pada uang-uang itu, kami melongo. Katanya, ini masih sebagian dari uang yang disediakan. "Hanya" 85 persen dari yang seharusnya, dan itu termasuk dalam perjanjiannya dengan Bella. Sisanya akan di cairkan via cek, melihat durasi permainan dan kepuasan Mr. Fahri. Ve tampak bersemangat.

"Bagaimana, kita deal Bu Bella?"
"Ah, ustadz. Ini lebih dari cukup sebagai uang muka"
"Hei! Sudah berapa kali saya ingatkan, jangan panggil saya ustad! Panggil saja Mister Fahri!"
"Oh, maaf. Tolong maklumi saya. Usia lanjut memang membuat saya mudah lupa, Mister Fahri. Baiklah, boleh kita tutup perjanjian ini dengan segelas anggur dan sulang?"

Setelah menjabat tangan Mr. Fahri, Bella lalu bergegas menuju bar di apartmen itu. Ia mengambil sebotol anggur, membukanya dan menyuruhku untuk membantunya membawa gelas. Aku langsung sigap membantunya dan kami kembali ke tempat duduk masing-masing. Bella lalu menuangkan anggur di tiap gelas. Menyuguhkannya satu persatu

"Untuk Mister Fahri!"

***

Sudah hampir dua jam kami bermain dan mencoba seluruh gaya yang diinginkan oleh Mr. Fahri. Keringatku dan keringat Ve terus menetes dan nafas kami terus memburu. Ve tampak kelelahan juga. Aku pun demikian. Tapi bayangan uang yang berada di atas meja itu menjadi pelecut kami berdua. Selalu kubisikkan "delapan puluh!" tiap kali Ve memberi isyarat kelelahan. Sementara itu, Mister Fahri sedari tadi menonton kami berdua. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sesekali ia ikut memegang kami berdua dan mengocok kontolnya. Ah, jika bukan karena uang yang amat banyak itu, aku takkan sedia dipegangnya. Jijik. Sesekali Mr. Fahri mengarahkan kami agar melakukan gaya persetubuhan yang ia inginkan. Lenguhan Mr. Fahri ketika bergairah membuatku muak, tapi sekali lagi aku teringat akan bayangan uang yang berada di atas meja itu. Aku biarkan Ve yang melihat Mr. Fahri ketika ia mengarahkan kami, karena aku benar-benar tidak berminat untuk melihat perut buncit dan titit kecilnya itu.

Jam sudah menunjukkan waktu yang ditentukan. Lalu aku diarahkan untuk orgasme di muka Ve. Tak ada kesulitan. Lalu Mr. Fahri ingin Ve menyudahinya dengan melakukan oral sex untuk Mr. Fahri. Aku segera bergegas dari ranjang dan ke kamar mandi. Meninggalkan mereka berdua di atas ranjang. Kubersihkan kontolku di pancuran dan mendengar lenguhan keras Mr. Fahri.

***

Kami cukup lama beristirahat sebelum berlanjut ke sesi kedua. Mr. Fahri seperti orang yang tidak kenal lelah dan tidak mau merugi. Aku menyimpulkan bahwa ada semacam gangguan mental yang orang ini idap. Semacam penyakit yang belum kuketahui istilahnya. Tapi aku yakin, bahwa ini adalah sebuah penyakit atau semacam penyimpangan seksual. Mr. Fahri seperti tidak ingin kehilangan banyak waktu untuk beristirahat dan meminta kami untuk melanjutkan sesi kedua. Kali ini kami diminta untuk menggunakan berbagai properti yang ia telah siapkan sebelumnya. Ia membawa sebuah koper besar yang berisi properti-properti seperti borgol, beragam vibrator, pecutan, dildo, dua pasang kostum dan beragam properti lain yang aku sendiri baru melihatnya.

Lalu, Mr. Fahri lalu meminta sebuah permintaan yang membuat aku dan Ve terkejut. Ia ingin aku melakukan anal sex untuknya. Seketika, bayangan uang yang sedari tadi membayangiku langsung lenyap diliputi rasa geram yang luar biasa. Secara spontan aku menolaknya karena itu tidak dalam perjanjian yang sebelumnya kami sepakati. Bahkan sebetulnya dengan keterlibatan Mr. Fahri dalam permainan aku dan Ve saja sudah melanggar perjanjian kami, namun aku mencoba menahannya dari tadi. Mr. Fahri lalu mengatakan bahwa ia akan memberikan uang lebih untuk itu, sehingga Ve mencoba melerai kami. Ve menawarkan untuk melakukan itu untuk Mr. Fahri menggunakan dildo koleksinya, sementara aku cukup berada di bangku dan menonton mereka bercinta. Mr. Fahri setuju. Lalu mereka melakukan itu di atas ranjang, ergh.. aku jijik melihatnya.

Mr. Fahri lalu menyuruhku untuk menggantikan Ve. Memasukkan dildo yang ada ke dalam lubang pantatnya. Aku benar-benar muak. Aku lalu bergegas mengambil sesuatu dari mantel tebalku dan mendekati ranjang. Menyuruh Ve untuk beralih. Mengambil dildo itu dari anusnya dan memasukkan corong pistol yang selalu aku bawa untuk keadaan-keadaan darurat.

"AAAW!, Mr. Fahri teriak.
"Haha, sakit ustadz? Ini sedikit lebih kecil tapi mematikan! Mau coba?"

Lalu, Dooooor! Doooor! Doooor! Tiga kali letusan. Darah menyiprat ke seluruh wajah dan badanku.


"enam ratus enam puluh enam.. gak nyangka angka bagus dapet barang busuk", gumamku kecil.

***

TAMAT

Monday, July 8, 2013

Kita Adalah Fondasi Monorel.... di Jakarta

Persis. Seperti balok-balok beton yang ditanami besi yang berada tepat di tengah-tengah Jakarta. Membelah jalanan dan berdiri pongah. Kita adalah fondasi monorel di Jakarta. Terlalu kuat untuk dihancurkan namun tidak pernah tersambung satu sama lain. Kita adalah gengsi yang terlalu kuat satu sama lain. Yang pada akhirnya membakar diri kita sendiri dalam harapan-harapan yang tak berarah. Kita adalah fondasi monorel di Jakarta.

Apakah masih ada harapan untuk tersambung sebuah jembatan diantara kita?

Monday, July 1, 2013

Yang Kau Sebut Persimpangan

adalah tempat berhentimu sekaligus tempamu berjalan.
Ya kau sadari pelan-pelan
bahwa kau sedang berjalan di tempat!
dan ketika kau berlari, kau sudah terlambat.


"Waktu tak akan menunggu manusia",
begitu kata-kata ibuku yang selalu kupercaya.