Showing posts with label Teater Agora. Show all posts
Showing posts with label Teater Agora. Show all posts

Sunday, May 26, 2013

Terimakasih Teater Agora UI

"Selamat Pagi temen-temen.
Halo. Apa kabar semuanyah?

Banyak bgt ya gue dapet pelajaran berharga di rumah ini, Teater Agora. Udah banyak waktu yg gue luangin untuk sama-sama belajar dari orang-orang berbakat dan berpotensi, orang-orang yg cerdas dan yang berani. Semuanya bikin gue seneng banget bisa kenal kalian semua.

Tiap suasana latihan-latihan yang dijalanin, walaupun gue males gerak buat latihan fisik, selalu bikin gue seneng dan semangat terus dateng kesini. Apalagi atmosfir pementasan yg selalu bikin ketagihan dan bisa jadi ajang untuk menilai perkembangan-perkembangan diri.

Tapi, atas beberapa pertimbangan pribadi, gue rasa ini waktunya gue buat cabut dari rumah ini. Ga tau sampe kapan, tapi yg jelas saat ini gue memutuskan untuk ga lagi bareng-bareng kalian, entah untuk sekedar latihan atau ikut produksi di masa-masa yg akan datang.

Maap, kemaren di rumah Maman waktu Pre-Event Thanksgiving, gue mungkin salah satu orang yg semangat berapi-api pengen ngadain pementasan yg terbaik buat Agora entah di bulan Oktober-November. Tapi sekarang, gue rasa ini waktunya yg tepat buat gue mundur dari Teater Agora dan ini udah jadi keputusan yg bulet.

Terimakasih buat orang-orang yg udah banyak ngewarnain hidup gue di Agora walau cuma dalam waktu yg sebentar ini, dari mulai pementasan BSJ sampe Waktunya Lelaki, hehe. Makasih buat Mbe, Dudung, Jack, Ocka, Mando, Denisa, Ena, Madil, Vini dan semua-semuanya yg ga mungkin bisa gue sebutin satu-persatu. Maap, maap, maap.

Tadinya gue pikir dengan adanya anak haram non filsafat gabung Agora malah bikin Agora jadi berantakan, tapi ternyata itu pikiran yg ga terbukti kok. Hehehehe. Semua orang emang berhak memajukan Teater Agora, ga cuma anak Filsafat doang. Mwahaha. Majuin terus ya Agora, temen-temen. Gue akan sangat senang ngeliat Teater Agora, Teater yg ikut gue bidani persalinannya, bisa tumbuh terus dan bisa terus konsisten eksis dalam dunia perteateran khususnya, dan mengubah masyarakat umumnya. *woelah*

Yupyup and Adios. :)"

Abis ngirim ini di grup whatsapp Majelis Ta'lim Agora, langsung plong. Lega. Terimakasih ya semua.

26 Mei 2013, 00:58


Trus ada gif si Agnes nagging biar nambahin efek dramatis.

Friday, May 17, 2013

Vito-Vanny #PartTerakhir: "Being Vito"

 Sebelumnya lu udah pada tau belom kalo gue main di Waktunya Lelaki yang dipentasin Teater Agora, Rabu (15/5) kemaren?? Kalo belom tau, lu payah bangeeet! Kan udah gue kasih tau berkali-kali di postingan gue sebelum-sebelumnyah. Hahaha. Yaudahlah, your loss.



Nah tulisan kali ini gue mau sedikit buka rahasia tentang proses kreatif pembangunan karakter-karakter yang gue mainin di Teater Agora ini.

Balada Sakit Jiwa (15 Mei 2012)
Pementasan Waktunya Lelaki ini tepat setahun setelah pementasan pertama Teater Agora (Balada Sakit Jiwa, 15 Mei 2012). Di BSJ gue berperan sebagai Mayor Alexander Roy, seorang purnawirawan yang memiliki kecanduan akan perilaku seks diluar kebiasaan dan memiliki sifat-sifat yang kejam dalam membina orang-orang di sebuah Asylum eksperimental untuk orang-orang yang dianggap gila oleh masyarakatnya. Karakter Mayor, gue buat berdasarkan asumsi tanpa observasi. Asumsi-asumsi itu dibuat dari sebuah pembacaan singkat tentang mental-mental seorang yang memiliki kecenderungan haus kekuasaan. Gue membuat semacam latar belakang Mayor, yang bener-bener gue tulis di sebuah kertas, tentang bagaimana latar belakang keluarganya, karir, ekonomi, lingkungan sosial, cara bergaul, cara merokok, cara berbicara, gaya berbicara, gaya menggunakan mimik, gesture kepala, cara duduk, cara jalan, dan berbagai macam hal-hal detail lainnya yang dibangun untuk memperkuat ketokohan Mayor. Proses ini pun dibantu dengan keleluasaan yang Sutradara berikan untuk menciptakan sendiri tokoh-tokoh dan menghidupkannya. Maklum, gue dan Mbek lahir dari rahim yang sama: Teater Sastra dan empunya Mas Yudhi Soenarto selalu menitikberatkan proses kreatif dan imajinasi aktor sendiri dalam mendekatkan dirinya dengan karakter (Stanislavski's System).

Pada saat itu, gue memiliki kuasa penuh untuk menguasai panggung dan cerita, karena disana sosok Mayor adalah sosok sentral yang baru dihadirkan belakangan (termasuk sosok Wenda yang juga hadir belakangan). Karena kekuasaan menguasai panggung itulah, gue suka mengeksplorasi tiap jengkal panggung dan mencoba agar tidak berjarak dengan semuanya: penonton, panggung, dan properti. Namun, karena lemahnya observasi yang gue lakukan, menurut gue karakter Mayor yang kejam dan beringas cuma gue tampilkan lewat sisi luarnya saja. Lewat amukan, gerakan dan mimik/gesture tapi gue keteteran sendiri saat harus improvisasi disana-sini saat gue lupa dialog atau ketuker-tuker dialognya. Karena itu, kedalaman emosi Mayor dalam mengungkapkan dialog bagi gue sendiri masih belom terlalu maksimal gue lakukan.

Gue adalah orang yang selalu mencintai sebuah kata-kata khas semacam "Yippi-kai-yeey"nya Bruce Willis di Die Hard. "I'll be Back"nya Arnold di Terminator, dsb. Di pementasan sebelumnya, saat gue jadi Mayor, gue mencoba untuk menciptakan kata-kata itu: "Ngehe!", "Tai Kukus!", dsb. Selain itu gue mencoba melekatkan sebuah barang agar menjadi khas "Mayor banget" seperti tongkat, kacamata hitam dan arloji. Walaupun ga begitu ngena, tapi kata-kata dan aksesoris ini cukup representatif dengan karakter Mayor yang dingin tapi kasar, tenang tapi cukup ambisius.

Waktunya Lelaki (15 Mei 2013)
Proses kreatif gue dalam membangun karakter di Waktunya Lelaki cukup sedikit berbeda dengan proses di Balada Sakit Jiwa. Saat Mbek memutuskan cast Vito di Waktunya Lelaki buat gue, gue dengan cepat mengobsevasi beberapa tipe pria-pria yang memiliki kecenderungan "halus", "kemayu", "sensitif". Beberapa target sempet gue observasi dengan cara memperhatikan perilakunya. Mulai dari cara duduk, cara memainkan rambut, cara senyum, cara membaca buku, cara berdiri, dan perilaku-perilaku lainnya. Gue ga berangkat dari asumsi, karena memperhatikan tipe-tipe pria kaya Vito sangat gampang banget ditemui di lingkungan kampus gue. Terlebih lagi, gue juga sempet bermain di pementasan Sketsa Robot dari Teater Sastra dan berperan sebagai seorang transgender. Disana, gue ga terlalu banyak dialog sehingga gue ga terlalu mengkesplor dan observasi terlalu jauh walaupun ada beberapa referensi yang gue pake menjadi karakter Vito. Lalu gue mulai buat karakter Vito dengan beberapa perbedaan. Betuk rambut yang gue biarin ngebob sendiri, tai lalet diatas bibir kanan, fashion Vito yang tampak "laki" dan sebagainya.

Secara ektrinsik dan intrinsik gue mulai membangun karakter Vito. Dalam berbagai sesi latihan gue mencoba untuk menggunakan berbagai karakter, sehingga gue memutuskan untuk mematenkan karakter Vito pada dua minggu sebelum hari pementasan. Setelah mematenkan itu, gue mulai untuk disiplin menjaga karakter, terbiasa dan konsisten dengan perilaku dan emosi Vito. Semua rencana itu gue tulis, gue catet dan gue terus coba dalam tiap sesi latihan. Setelah itu, gue dengerin beberapa koreksi dan evaluasi dari yang menonton. Terlepas dari suka atau ketidaksukaan penonton dengan pilihan gue menjatuhkan pilihan untuk memainkan dan menginterpretasikan Vito seperti apa yang gue tampilkan di atas panggung, itu bukan lagi jadi urusan gue. Haha. Biar penonton yang ngereview sendiri dan menganalisis kenapa Vito dimunculkan seperti itu.

Pada pementasan kali ini, gue diberikan sebuah ruangan milik gue sendiri dan harus bermain dalam ruangan yang itu saja. Plot gue termasuk salah satu plot pembawa keceriaan yang harus membangkitkan lagi emosi penonton setelah disuguhkan plot Eva-Ernest yang cukup bikin emosi ngedown. Bagi gue, itu tantangan berat banget: menaikkan emosi tanpa harus terburu-buru berurusan dengan tempo permainan. Serius, gue capek banget sebenernya sedetik sebelum mentas karena kurang istirahat dan kurang bobo. Tapi saat gue melangkah menuju panggung dari sayap panggung, di detik berikutnya gue sudah harus profesional, maksimal dan total. Gue harus membayar semua keikhlasan diri gue memainkan Vito serta semua hasil pengamatan gue tersebut. Maka, Voila! Kalo kata orang itu "keajaiban panggung", beberapa orang bilang "ngebanci panggung", kalo Mbek bilang "colongan" tapi gue bener-bener ga ngerasain lagi apa itu yang namanya capek karena gue udah in to the character. Gue udah dirasuki Vito dalam setengah jam dan gue gak dalam posisi mengelak dari semua itu. Gue harus merelakan tiap gerak tubuh gue dipinjam dan "ditelanjangi" Vito.

Dalam periode hampir setengah jam itu, gue harus terus menerus disiplin dan konsisten dengan semua rencana gue selama latihan. Cara duduk, ngomong, emosi, dan karena tugas scene ini adalah menaikkan emosi penonton lagi, gue berusaha untuk berjudi dengan melakukan improvisasi. Bukan. Bukan ngarang cerita. Tapi dengan ngebuat semacam kata-kata khas dan silent act yang khas. Maka lahirlah "Yup Yup!", "O ow", "Laillaha illalahu", "Kenapa kamu diem? Kebelet eek?", adegan gue nonjok boneka, dan segala sesuatu yang bener-bener baru lahir pas di atas panggung tanpa persiapan, tanpa latihan. Gue bener-bener ngerelain dan mengikhlaskan diri gue selama setengah jam "dipinjem" Vito. Untungnya, perjudian gue berjalan lancar sehingga semua yang lahir di panggung tampak lucu apa adanya dan bukan sesuatu yang gue buat-buat untuk ngelucu. Prinsipnya, gue ga berusaha untuk menjadi Vito tapi gue berkenalan dengan Vito dan membiarkannya bermain di dalem tubuh gue.

Gue pun turut terbantu dengan akting lawan main gue, Anisa Fajrina Djuanda (Ena, Sastra Inggris 2011) yang malem itu mentas dengan all-out. Gue yakin dia juga ngerasain keajaiban panggung karena gue bener-bener merinding sendiri pas dia marah dalam keadaan puncak dan teriak ke Vito saat dia bilang udah muak dengan segala cerita tentang cinta sejati bla-bla-bla. Gue, secara pribadi selalu mengkritik permainan Ena selama latihan supaya dia bisa terus mengeksplor dirinya dan aktingnya. Emosi dia ga pernah sampe puncak. Dia ga pernah bisa ngimbangin emosi gue, dan selalu minta gue untuk nurunin emosi gue. Tapi gue selalu bilang kalo dia bisa lebih dan lebih lagi, walau mungkin dengan cara yang kasar dan jahat. Maka dari itu gue dan dia selalu evaluasi permainan kita setelah abis latihan dan ditutup biasanya dengan curhat. Tujuannya? Ngebantu banget sih buat bangun chemistry dan kedekatan hubungan antar karakter Vito dan Vanny, selain untuk mengetahui latar belakang masing-masing supaya apa yang nanti ditampilkan bener-bener natural. Hasilnya? Dia tampil luar biasa. Gue yakin penonton juga kebawa emosi dan terwakilkan banget dengan segala kemuakan Vanny. Gue yakin penonton juga paham kondisi Vanny dan ikut kesel juga. Di satu sisi itu rencana awal gue: Membiarkan penonton membenci Vanny sebagai sosok yang "jahat" namun juga memakluminya sebagai pilihan yang "logis dan memang sudah sepantasnya". Ena benar-benar bisa menterjemahkan itu dengan porsi yang sangat pas. Ga kekurangan. You did a great job, Anisyakh!


***

Di postingan gue sebelumnya (nih disini nih!) gue nulis tentang kekhawatiran gue tentang kegagalan pementasan ini. Kekhawatiran itu, gue jelasin disini lahir entah dari kemungkinan setting panggung yang belum siap, tim musik yang masih belom ngangkat mood pemain, atau dari gue sendiri sebagai pemain yang belom fokus ke pementasan dan ngerasa belom siap tampil terkait dengan proses-proses dan konflik internal yang melanda. Tapi gue mencoba untuk tampil maksimal dan total, setidaknya buat diri gue sendiri. Buat apa yang udah gue korbanin, baik waktu, duit, tenaga, pikiran dan mental psikologis. Nyatanya, saat dipanggung gue liat setting panggung yang udah keren banget walau dikerjain dengan ngebut, terus tim musik yang... ya walaupun masih ga blend in tetep harus diapresiasi, membuat gue dapet "Kratingdaeng" tambahan di atas panggung.

Semua kekhawatiran itu nyatanya jadi mood booster. Jadi letupan semangat bertenaga. Jadi keajaiban-keajaiban yang klimaks. Senengnya, apa yang gue dan Ena hadirkan di atas panggung, emosi yang kita suguhkan mampu mencampur adukkan emosi-emosi penonton. Itu yang bisa gue sendiri lihat dan denger dari tawa penonton, renyuhan penonton, dan yang paling luar biasa adalah tepuk tangan meriah penonton ketika adegan Vito-Vanny berakhir.

Disini gue bener-bener bisa menyudahi tantangan loncat dari karakter Mayor seorang pria yang kejam, sadis, beringas, dan brengsek di pementasan Balada Sakit Jiwa menjadi karakter Vito seorang pria lemah lembut, sensitif, kemayu, dan "bencong". Sukses atau tidaknya, tinggal nunggu tanggepan dan komentar penonton.

Buat para penonton Waktunya Lelaki, terimakasih banyak! Sampai jumpa di pementasan Teater Agora berikutnya!

Foto oleh Komunitas Pagi Buta UI
Foto oleh Fersacalia Liyong

Foto oleh Fersacalia Liyong

*Cheers*

Saturday, May 11, 2013

Ehm.

"aklgjf;IQBG. GSFKLJASGFJKB piubgaf98136y5[03891y5[0*()tyw*(&#^_%"

Bentar lagi pementasan dan masih kayak begini aja. Ibaratnya badan nih ya, belom pada nyambung satu sama lain. Gimana mau jalan, ya ga? Huft. Nah itu tadi yang diatas, isi sebagian kepala gue sih mikirin pementasan. Hahaha. Udahlah, gua coba semaksimal gua aja. Semoga bagus nanti tanggal 15 Mei. Pada nonton ya! Jam 4 Sore, di Auditorium Gedung IX FIB UI, Depok. :D

*Cheers*

Friday, April 26, 2013

Vito-Vanny #EntahUdahPartBerapa

Oke. Ini review singkat tentang latihan plot Vito-Vanny di Waktunya Lelaki hari Kamis (25/4). Bisa dikatakan latihan hari ini: TAI KUCING. Entah ada apa dengan gue? Padahal gue yang selama ini bimbing Ena dan ngasih tau tentang trik-trik di panggung, tentang jangan kebanyakan mikirin penampilan dan bla-bla-bla. Tapi ini tadi latihan paling tai kucing. Feelnya ga ada. Semangatnya ga ada. Tadi gue latihan cuma sekedar formalitas doang, ga ada emosi ga ada passionnya sama sekali. Kenapa ya guaa?

Gue mencoba merunut kembali tentang penurunan ini. Ini penurunan terbesar gue selama latihan dan menjadi Vito. Padahal, kemaren mainnya udah enak banget dan gue ngerasain banget enjoy-nya jadi Vito. Masalah pribadi? Emmm, ada sih. Tapi serius gue ga mikirin semua masalah pribadi itu pas tadi latihan. Justru gue malah mikirin tentang masalah kenapa di pementasan ini banyak orang yang semangatnya ilang sama sekali. Orang-orangnya ilang-ilangan dan entah kenapa gue ngerasa mereka udah pada ga memprioritaskan pementasan ini lagi. Kalo dulu anak-anak PK gue ngasih istilah, kita udah beda frekuensi. Semangat-semangat itu yang gue kangenin di anak-anak Agora. Tadi gue main juga entah kenapa, jadi mikirin itu. Lu boleh bilang kalo lu ada masalah atau pikiran taro dulu diluar tempat latihan. Tapi masalahnya tadi kepikiran dan ngehe-nya pas lagi latihan. Jadi kacau balau semuanya pas gue main. Bener-bener palsu banget tadi gue main. Blocking kacau. Apalan kacau. Improvisasi kacau. Emosi kacau. Semua kacau.

Bisa gue bilang, hari ini bukan cuma plot Vito doang yang kacau. Atmosfir keseluruhan latihan juga kacau. Stress ga sih lu bentar lagi udah mau pentas, lu udah ngasih harga tiket cukup tinggi buat kalangan mahasiswa, ekspektasi penonton udah besar banget ke Teater Agora tapi keadaan internal Agora dan suasana latihannya kaya TAI KUCING gini. Serius deh: TAI KUCING.


Kadang gue suka kesel sendiri kalo gue latihan jelek dan gabisa mengeksplorasi di tiap sesi latihan. Gue selalu mencoba membuat proses-proses peningkatan. Saat gue ngerasa Ena mulai banyak peningkatan dan main sangat bagus, gue malah yang ngedrop karena mikirin hal macem begini. Fak men.

Udah. Cukup gitu aja review gue hari ini.

*Cheers Tai Kucing*

Wednesday, April 24, 2013

Capek

Enggak. Ga ngeluh. Cuma dapet peran jadi yang namanya Vito di Waktunya Lelaki ini bener-bener menguras tenaga, pikiran dan keikhlasan. Zzz. Barusan abis selesai latian, terus sekarang capek masih kebawa emosinya Vito. Baru balik jam 1 persis di rumah, gamau mandi malem tapi mau nonton Munchen-Barca dulu.

*Cheers*

Friday, April 19, 2013

#VitoVanny Part 1

Hari ini gue latian Agora kembali setelah Selasa kemarin gabisa latian karena lagi ada kerjaan ditambah pula ujan yang gede banget dan ga berenti-berenti. Banyak banget progress yang gue rasain di latihan kali ini. Target gue, minggu depan (asumsi 3x latihan lagi) gue sama Ena udah bisa apalin naskah Vito-Vanny diluar kepala. Jadi tinggal masukin emosi-emosinya aja. Beberapa blockingan dasar dan suara masih jadi bahan evaluasi. Tadi Mas Sani sempet kasih komentar katanya gue natural banget jadi Vito. WHAT??! Jadi maksudnya gue? HAHAHAHA. Terus tadi gue sempet nanya Etep, dia bilang cuma di bagian VIto doang yang keluar dari ekspektasi dia antara hasil baca sama hasil yang gua mainin. Entah itu pujian atau sindirian. HAHA.

Mungkin lu bertanya-tanya, Vito Vanny itu apa dan siapa? Begini, cerita singkatnya sih gini. Gue ikutan main di Produksi Teater Agora yang keempat berjudul Waktunya Lelaki, karya dari temen gue sendiri namanya Mbek. Trus, Teater Agora sendiri itu apa dan Waktu Lelaki itu apa bisa lu dapetin jawabannya di tumblr mereka atau di twitter mereka. Nah, tentang Vito dan Vanny, mereka itu adalah salah satu tokoh yang hadir dalam pementasan ini. Sepasang kekasih yang memulai cinta dari hal-hal sepele dan satu selera. Sehingga….. *Oke ga boleh Spoiler*

Nah, promosi sedikit, Pementasan Waktunya Lelaki ini bakal dipentaskan pada tanggal 15 Mei 2013. Berarti ya tinggal sebulan kurang. Harga tiket sih standar ya, Rp 20.000,- (bahkan itu udah murah banget buat sebuah pementasan kelompok dari dan di kampus, tapi kenapa banyak yang pada complain sih…) Tempatnya di Auditorium Gedung IX FIB UI, Depok. Dari deretan daftar pemain sih ada banyak ya, males nyebutin satu-satu. Hahaha.

Oke begitu aja dulu deh, resume latihan hari ini. Ena udah mulai enak mainnya. Cuma masih kurang antusias lagi bawain Vanny-nya. Mungkin kurang gue korek dikit ketakutan apa yang selalu dia rasain sebelum main yang mungkin ngefek ke permainannya. Blocking sama suara masih harus banyak latihan lagi dan kontrol lagi. Gitu aja dulu. Doain mulus terus ya sampe pementasannya selesai!

*Cheers*

(Tumblr, 19 April 2013: Review latihan 18 April 2013)

Friday, April 12, 2013

Nihaq Mau Bobo Nih, Tumben.

Jadi besok Jumat pagi itu, ada acara akad nikahan klien. Makanya tadi dateng latian telat banget. Soalnya ketemuan dulu sama kliennya. Padahal gue belom apal naskah sama sekali. Si Ena harus digembleng banget sih ini.. Apalan banget soalnya anaknya, jadi ga asik kalo dibikin flow-- Suka bingung sendiri kalo lepas dari naskah. Gue sendiri ini, juga susah banget ini masukkin feelnya Vito, nangisnya Vito dan motivasi Vito nangisnya belom dapet. Selalu pake nangis boong-boongan. Semoga makin lama nanti latiannya makin bagus dan gue apal sama Gue-Ena bisa bangun chemistry Vito-Vanny. #KERJAKERAS

Trus ini sih rencananya mau tidur. Karena harus bangun pagi banget! FAK. Acaranya tuh jam tujuh, jadi harus berangkat jam setengah enam dari markas besar. HUFT. Tapi gue ga boleh ngeluh! Habis ini kan duitnya buat refreshing ke Jogja. Yuhuuuu. Ke Borobudur, nerbangin lampion oh lampion pas bulan purnama. :* AMO MUPEEENG KAAAN?

Trus rencananya besok, sebelum jum'atan kemungkinan acaranya udah selesai sih. Terus jum'atan dulu di TKP dan langsung ke Depok. Harus langsung ngeprint skrip casting filmnya anak Cina itu trus ketemuan deh sama si Dharma dan Sheila itu. Mudah-mudahan sih gue lolos castingnya ya, semoga. Supaya bisa ke luar negeri, jadi ada kesibukan juga abis pementasan. KELUAR NEGERI BROOOOH FOR THE FIRST TIME!

Kalopun ga dapet ya, trip ke Jogja kemungkinan bakal gue coba buat sekalian ngisi waktu kenal-kenalan sama orang-orang Saturday Acting Club. Ga gede sih namanya, tapi serius orang-orangnya keren dan kayanya ga sombong dan ga eksklusif. Itung-itung sambil belajar, menambah jaringan dan melarikan diri lah dari 'lingkaran setan bernama rutinitas'. Kata Laire juga si Mas Rossa udah nanyain gue. "Mana temen kamu yang katanya mau gabung?" *Blushing*. Iya mas insya allah saya nanti dateng. Semoga saya dapet yang terbaik ya mas!

Yaudah begitu aja dulu deh. Udah setengah dua, berarti cuma tidur 2 jaaam! ERGH. (Eh, gaboleh ngeluuh). Oke. Selamat tidur. Adios!