Friday, November 8, 2013

Hujan

Hujan tampak marah-marah sekali. Sesekali petir menggelegar. Tak biasanya hujan semarah ini. Angin bertiup kencang mengempaskan pepohonan ke tanah. Aku terlalu takut untuk menerjang hujan ini. Aku tipe perempuan yang suka merunduk saja dan berteduh. Menunggu hujan reda biarpun hingga larut.

Baru tahun kedua aku kuliah disini. Belum banyak yang kukenal. Belum banyak pula yang aku ketahui. Aku biasa dijemput pulang oleh ayahku sepulangnya kerja. Tetapi hujan ini tampaknya memacetkan ibukota yang mudah tergenang air. Ayahku tak bisa menjemput pulang, mobilnya pasti terjebak dalam lautan roda-roda berputar lintasi Jakarta yang semakin memanas[1]. Aku sendirian dalam kebutaan tentang jalan pulang. Kini hanya ada aku, payung dan hujan dalam satu meja panjang penuh penantian ini. Tak ada gelas dan tak ada nyali.

Pukul setengah lima sore. Hujan tak kunjung berhenti. Memberi isyarat kelelahan pun tidak. Burung-burung gereja pun berteduh dibawah atap kantin ini, sibuk menghangatkan badan dan mengeringkan sayap-sayap basahnya. Hari semakin gelap, bayangan rumput kian pekat.

Pukul lima sore hujan reda walau masih sedikit terisak. Aku segera menuju jalan pulang. Payung hitam peninggalan almarhumah ibuku menemaniku. Aku tahu ibu akan selalu menemaniku dalam hujan yang menakutkan ini.

Hanya ada satu jalan dari kampusku menuju jalan pulang yaitu melalui gang sempit yang hanya muat dua orang. Kata orang, setiap malam menjelang tak jarang kejahatan menyapa tiap bayangan di sepanjang jalan gang ini. Ah, aku benci jalan ini. Makanya, aku berusaha pulang sebelum malam terlalu larut, sebelum cahaya tak bisa menembus jalan ini. Kebetulan, cahaya matahari masih sedikit menggelayut menunggu dilahap sang malam.

Lalu sosok itu muncul di ujung gang. Aku terlalu takut untuk menatap kejahatan, hingga kutundukkan kepalaku dan menatap tiap langkah kakiku. Doaku keluar dari mulutku. Aku pegangi payungku erat-erat, berharap ibu membantu menggenggam tanganku dari atas sana.

Aku merasa kakinya mulai mendekat dan ketika kakiku berpapasan dengan kakinya, aku menatapnya. Aku menatap mata yang begitu melekat dalam mataku. Kita saling berpapasan dan mengangkat payung bersamaan[2]. Aku tersenyum simpul dan dia juga. Ini suatu kebetulan yang membuatku senang dan membuat detak jantungku tak beraturan. Ini adalah aliran yang datang dari langit, ketika hujan datang.

Sejak saat itu, aku selalu menolak jika ayah menawarkan jemputan. Sejak saat itu, aku juga tak lagi takut kepada hujan dan selalu senang menanti hujan datang.

***

Hujan datang lagi. Sejak saat itu aku selalu senang menunggu hujan datang karena aku tahu akan ada pelangi sehabis hujan. Kali ini aku tak membawa payung peninggalan ibuku, karena aku ingin menikmati aliran itu lagi sendirian. Aliran yang dibawa turun dari langit langsung, yang membuatku mabuk kasmaran. Aku ingin menatap mata itu lagi sendirian. Mata yang melekat di mataku yang membuatku jatuh cinta.

Aku sampai diujung jalan gang itu. Aku belum menemukan sosok yang kutunggu. Detik jam terus berdetak membawa dingin masuk kedalam sel kulitku. Aku terus menanti. Tapi tetap tak kutemukan sosok itu diujung gang. Aku kehujanan. Aku basah, oleh hujan dan air mataku sendiri.

Mengapa Tuhan menciptakan misteri atau segala kemungkinan yang tak mampu kita tebak?

***

Hujan datang lagi. Sejak saat itu, aku tak terlalu senang lagi dengan kehadirannya. Karena ternyata pelangi tak selalu muncul sehabis hujan. Pelangi akan datang ketika ada sinar mentari terpantul bulir-bulir air yang menggenang. Sementara hujan hanyalah air yang turun dari langit. Aku paham. Bahwa tak selamanya kemungkinan kehidupan bisa kita tebak akhir ceritanya. Ini misteri yang dari dulu alam bawa, ada sebelum Adam ditendang Tuhan ke bumi ini. Cerita cinta kita ternyata bukan sesuatu yang turun dari langit. Dan aku tutup, cinta pada pandangan pertama itu ternyata sesuatu yang nyata namun absurd.

Pukul lima sore. Hujan tak kunjung berhenti. Aku kembali meminta ayahku menjemput pulang. Aku kembali suka merunduk dan berteduh. Menunggu hujan reda biarpun larut, karena aku takut basah lagi oleh hujan dan air mataku sendiri.

***

[1] The Bobrocks – Romansa Kaum Urban, (2010) Album Kompilasi Sounds From FISIP UI Vol.1, Depok.
[2] Ayusya Abiansekar – Parade Toleransi, (2009) Terbanglah Dara, Kelirpro: Depok.

cinta tidak jatuh dari langit.
Cinta Tidak Jatuh Dari Langit.


 ***
February 17, 2011 at 5:46pm
Notes Facebook:
https://www.facebook.com/notes/nihaqus-nihaq-yuhamus/hujan/501304551639



No comments:

Post a Comment

Kalo mau komen pake bahasa yang santun dan sopan ya saudara-saudari!