Thursday, January 21, 2016

Reportase Perjalanan: Suryono Sang Penjaga Hutan.

Rumah Adat Suku Sakai

Ada yang menarik ketika saya kemarin mengunjungi Provinsi Riau. Sebenarnya, saya datang ke sana untuk melihat peresmian rumah adat Suku Sakai, di Desa Kesumbo Ampai, Kabupaten Bengkalis (19/1). Usai acara peresmian rumah adat Suku Sakai, terpikir oleh saya untuk menggali cerita dan melihat lebih dekat masyarakat yang tinggal di lahan-lahan hutan konsesi milik perusahaan yang berada Provinsi Riau. Perlu diketahui, di wilayah Provinsi Riau, sepanjang mata memandang banyak sekali tanaman sawit dan hutan tanaman industri seperti pohon Eucalyptus dan pohon Akasia yang tinggi jenjang. Apalagi belum lama ini terjadi bencana nasional kebakaran hutan, maka saya pikir akan lebih menarik untuk menggali cerita dari masyarakat yang tinggal di hutan-hutan konsesi ini dan terpapar asap pada kebakaran hutan yang lalu.

Pohon Akasia, Tinggi dan Jenjang

Akasia menjulang, menantang awan

Lalu saya mencari perusahaan-perusahaan untuk saya jadikan target repertoar perjalanan ini. Tujuan utama saya saat itu adalah PT. Arara Abadi, anak perusahaan APP - Sinarmas Agroforestry, salah satu perusahaan yang memiliki konsesi hutan tanaman industri. Sekedar untuk diketahui, Rumah Adat Suku Sakai berada di Kabupaten Bengkalis, sementara hutan-hutan tanaman Industri banyak berada di Kabupaten Siak. Untuk mencapai ke area PT. Arara Abadi di Kabupaten Siak, saya harus menempuh jarak sekitar 200an kilometer dari tempat penginapan saya di Kabupaten Bengkalis. Perjalanan selama 4 jam yang ditempuh dengan mobil itu terasa amat jauh dan membosankan, ya karena di kanan dan kiri jalan saya hanya melihat hamparan Pohon Sawit.

Namun jarak yang jauh bukan jadi penghalang untuk memulai sebuah cerita, ya kan?

Setelah perjalanan yang lumayan melelahkan, saya lalu menemui pihak perusahaan. Saya mengemukakan maksud dan tujuan saya kepada pihak perusahaan untuk menemui masyarakat yang berada di dalam areal konsesi perusahaan. Rupanya saya diperbolehkan dan diizinkan untuk melihat langsung masyarakat yang tinggal dan berada di dalam lahan hutan konsesi mereka. Saya lalu dibawa masuk ke dalam lahan konsesi HPHTI (Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri) PT. Arara Abadi, letaknya di Distrik Rasau Kuning, Desa Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak.



Awalnya saya membayangkan bahwa areal Hutan ini hanya berisi pepohonan Akasia atau Eucalyptus saja. Karena sejauh mata memandang, memang pohon-pohon berkarakter langsing semampai ini yang menjadi santapan mata saya. Namun setelah 15 menit berjalan dengan mobil dari gerbang utama, saya menemukan areal yang di dalamnya terdapat lahan-lahan yang diolah menjadi lahan pertanian. Tanaman yang ditanam pun bermacam-macam, ada tanaman sayur bayam, kangkung, kacang panjang, pepaya madu, melon, duren dan karet. Rata-rata tanaman semusim.

770 Hektar Yang Diperuntukkan Tanaman Kehidupan.

Saya bertemu dengan Suryono, salah seorang masyarakat yang sudah tinggal di Desa ini selama 15 tahun. Ia adalah ketua kelompok Tani Jaya, kelompok tani yang berjumlah 18 orang. Menurutnya, kelompok taninya bergerak di perkebunan dan pertanian. Pak Suryono sendiri, selain menjadi petani, ia juga menjadi pedagang. Saban panen, ia pasti akan menjajakan hasil tanamannya ke pasar.


Suryono


Pertemuan saya akhirnya menghasilkan sebuah diskusi hangat. Sesuatu yang jarang saya dapati di ibukota. Menurutnya, pada awalnya sempat terjadi konflik antara petani dan perusahaan. Konflik tersebut lantaran masyarakat merasa bahwa mereka sulit mendapat manfaat langsung dari hutan akasia yang ditanami oleh perusahaan. Konflik itu bermuara pada tuntutan masyarakat agar bisa memanfaatkan lahan-lahan tidur yang belum dimanfaatkan perusahaan. Akhirnya, pada tahun 2011 terciptalah kesepakatan antara para petani dan perusahaan dalam sebuah MoU tentang tanaman kehidupan.

Ada 770 hektar lahan yang diberikan perusahaan untuk dimanfaatkan para petani dan masyarakat untuk ditanami tanaman kehidupan. Tak berhenti disana, Suryono dan para petani lain diberikan pelatihan dan pembinaan terutama tentang sistem bercocok tanam dan teknis lain tentang pertanian. Tak berhenti di sana, Suryono juga dipinjamkan modal uang untuk pembelian bibit, pupuk, media tanam dan lainnya. Contohnya, kelompoknya diberikan modal sebesar Rp 4.100.000 untuk menanam melon. Dari modal ini, petani bisa mendapat keuntungan kira-kira sampai Rp 15 juta setelah menunggu Melon panen selama 65-70 hari. Suryono cukup beruntung ia memiliki kecakapan dalam berdagang sehingga ia tak kesulitan dalam mendapatkan pasarnya. Namun, ia mengatakan bahwa ternyata petani yang tidak punya kecakapan berdagang yang seperti dirinya juga diberikan semacam kemudahan karena perusahaan bersedia untuk menjualkan hasil-hasil tanaman tersebut dan uang penjualannya diberikan kepada para petani.

Lahan Pak Suryono ini pun sangat menarik. Ia sendiri mengelola sekitar 2 hektar, yang ia tanami berbagai macam tanaman seperti yang telah saya sebutkan di atas. Di tanah seluas 2 hektar tersebut, kanan kirinya dibatasi oleh hutan akasia, tanaman sawit, hutan konservasi dan kebun karet. Ya. Tanah yang difungsikan kembali oleh Suryono ini sebenarnya dulunya adalah lahan-lahan bekas kebun sawit yang sudah berumur 7 tahun. Namun setelah melakukan kalkulasi, hasil yang dihasilkan tanaman sawit ternyata sama sekali tidak menguntungkan. Justru tanaman-tanaman holtikulturalah yang memberi keuntungan paling banyak. Sehingga, Suryono dengan segera membersihkan tanaman sawit tersebut dan mengubahnya menjadi lahan untuk tanaman kehidupan.

Suryono dan kelompok taninya sempat kesulitan air dalam suatu musim kemarau. Usahanya untuk meminta bantuan agar dibuatkan danau buatan untuk lahan tanaman kehidupan di areal konsesi ini dikabulkan perusahaan sehingga para petani dan masyarakat bisa memanfaatkan danau buatan tersebut untuk menjadi sumber air lahan pertaniannya.

Pembakar Hutan?

Ah, saking takjubnya saya pada oase di hutan Akasia ini, saya sampai lupa pada tujuan utama saya mendatangi Pak Suryono. Ya. Menggali cerita tentang kebakaran hutan. Belum lama ini, telah terjadi kebakaran hutan yang sangat masif yang tidak hanya menyerang Pulau Sumatera, tapi juga pulau-pulau besar termasuk Jawa, Kalimantan dan Papua. Banyak yang menuduh kebakaran hutan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan motif 'land clearing' untuk memangkas biaya; ada lagi yang menuduh kebakaran hutan dilakukan oleh masyarakat yang melakukan perambahan liar.

Ada yang menarik sebenarnya. Masyarakat seolah digiring oleh sebuah kesimpulan bahwa seluruh perusahaan-perusahaan itu bersalah. Menurut saya jelas ada yang berbeda, ketika kita secara objektif, memisahkan antara perusahaan pulp and paper yang seluruh alat produksinya adalah kayu dengan perusahaan sawit yang tidak memerlukan kayu sebagai alat produksinya. Sementara kebakaran yang terjadi, melahap semua sektor lahan dan hutan, baik gambut, kebun sawit dan hutan industri. Bagi saya, untuk apa perusahaan pulp and paper dengan sengaja melakukan pembakaran pada alat produksinya sendiri?

Ah, tapi lupakan dulu argumentasi saya tersebut. Saya lebih ingin menggali, sejauh apa sebenarnya keseriusan perusahaan-perusahaan ini dalam melakukan tindakan pencegahan kebakaran atau pemadaman kebakaran. Banyak yang menuduh perusahaan melakukan publisitas palsu dengan tim-tim kebakaran hutannya yang tidak sebanding dengan luas wilayah kebakaran.

Menurut Suryono, setiap dua kali dalam setahun ia selalu mengikuti pelatihan tentang persiapan pemadam kebakaran yang diberikan perusahaan di balai-balai pelatihan. Petani lainnya juga diberikan pelatihan untuk mencegah kebakaran. Beberapa warga masyarakat juga dijadikan sebagai Masyarakat Peduli Api yang berfungsi sebagai tim pencegah dan reaksi cepat dan selalu menggarisbawahi bahwa perambahan liar dengan membakar adalah pelanggaran hukum. Namun Suryono menekankan fungsinya sebagai petani dalam hal pencegah kebakaran ini lebih sebagai orang terdepan yang memberikan informasi kepada Masyarakat Peduli Api atau Regu Pemadam Kebakaran perusahaan apabila ada titik-titik api yang ia lihat.

Rambah Liar dan Bercocok Tanam

Memang menjadi masalah ketika masyarakat masih menganggap bahwa hutan bisa dirambah secara liar dan pembukaan lahan dengan dibakar adalah sesuatu yang wajar. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, adalah pihak yang berperan sebagai penentu paling akhir. Pemerintah sebaiknya memang harus terus memberikan pendidikan dan pemahaman yang memadai kepada masyarakat tentang perlunya menjaga kelestarian lingkungan dengan tidak membuka lahan hutan dengan cara membakar. Penghukuman kepada perusahaan-perusahaan bukan saja akan berdampak ekonomi besar, tapi juga berdampak sosial yang sangat besar. Tidak hanya itu, penghukuman ini juga akan menambah beban pemerintah sendiri dalam menjaga areal hutan konsesi yang kosong dari ancaman para perambah liar.

Saya pikir, perusahaan memang hanya bisa berperan dalam sebagian kecil saja. Mereka bertindak sebagai mitra yang membantu pemerintah dalam mengupayakan angka nol kebakaran hutan dan lahan. Terkait kebijakan yang lebih tinggi, mustahil perusahaan mengupayakan langkah. Upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan dengan memberikan pemahaman sehingga persepsi para perambah liar berubah serta pemberdayaan masyarakat di wilayah konsesi, bukan hanya berfungsi untuk memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat tersebut tapi sekaligus mencetak para penjaga-penjaga hutan yang sebenarnya.

Saya pikir, cara-cara seperti inilah yang mampu menciptakan agen-agen penjaga hutan dan pencegah kebakaran yang paling efektif dan efisien. Pemberdayaan masyarakat secara total akan menciptakan Suryono-Suryono lain sebagai sang penjaga hutan.

Suryono, Sang Penjaga Hutan

Wednesday, January 20, 2016

Suku Sakai: Perjuangan Berkompromi Dengan Modernisasi

Saya mau ngisi tulisan pertama di tahun 2016 ini dengan pengalaman pertama saya menginjak kaki di tanah Sumatera. Orangtua dari pihak ibu yang dari Sumatera rupanya ga bantu banyak supaya bisa cepet ke Sumatera. Lucunya lagi, bukan Palembang atau Lampung, tanah Sumatera yang saya injak pertama kali. Namun Riau.

Ya, saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu Suku Melayu Tua (Proto Melayu) yang tersisa di Tanah Sumatera. Bukan suku Batak, bukan juga suku Minangkabau. Suku ini cukup asing di telinga masyarakat Indonesia. Suku tersebut adalah Suku Sakai, yang saat ini terbanyak berhimpun di Desa Kesumbo Ampai, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.

Saya berangkat ke Desa Kesumbo Ampai untuk mengunjungi peresmian Rumah Adat Suku Sakai (19/1), yang dibangun oleh APP - Sinarmas Forestry yang membantu agar kelestarian adat istiadat, budaya dan kesenian Suku Sakai terjaga di Indonesia.












Latar Belakang




Provinsi Riau memiliki lima kabupaten yaitu, Kab. Kampar; Kab. Bengkalis; Kab. Indragiri Hulu; Kab. Riau; serta ada satu Kota Madya Pekanbaru yang menjadi Ibukota Riau. Orang Sakai hidup di wilayah Kab. Bengkalis. Sedangkan orang Sakai terbanyak adalah yang berada di wilayah Kecamatan Mandau. Sebagian kecil lainnya hidup di wilayah Kecamatan Bukit Baru. Desa-desa yang berpenduduk asli suku Sakai ada di desa-desa seperti Talang Parit, Talang Sei Limau dan sebagainya.
Tempat tinggal orang Sakai pada umumnya terletak di tepi-tepi mata air dan rawa-rawa. Melalui jalan sungai atau jalan darat, yaitu dengan jalan kaki atau merambah hutan, tempat tinggal mereka dapat dicapai. Sehingga sebetulnya orang Sakai tidak sepenuhnya terasing dari masyarakat luar Riau. Karena lingkungan hidup mereka jauh dari pantai, maka lingkungan hidup mereka adalah rawa-rawa, atau daerah berpayau-payau, berhutan serta bersungai. Fauna dan flora lingkungan hidup mereka sama dengan lingkungan alam wilayah Riau, khususnya lingkungan alam bukan pantai. Mereka hidup tepencar-pencar dalam sebuah satuan wilayah yang berada dalam sebuah satuan administrasi yang dinamakan bathin (dukuh) kalau penduduknya sedikit, dan kepenghuluan kalau jumlah penduduknya banyak. 

Ketika kota Duri mulai dibangun dan dikembangkan, orang Sakai sebagian besar yang menghuni wilayah-wilayah di sekitar kota tersebut diminta pergi dengan diberi pesangon untuk penggantian rugi atas tanah dan pepohonan serta tanaman-tanaman yang ada di ladang-ladang mereka. Sebagian dari mereka berpindah tempat pemukiman ke kelompok-kelompok tempat tinggal atau desa-desa orang Sakai lainnya, dimana mereka mempunyai kerabat. 


Dalam KBBI, Sakai diakui sebagai sebuah suku bangsa yang mendiami Kepulauan Riau dan Tanah Melayu. Beberapa orang mengatakan bahwa Orang Sakai datang dari kerajaan Pagaruyung, Minangkabau, Sumatra Barat, dalam dua gelombang migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14, langsung ke daerah Mandau. Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing membangun rumah dan tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan perbatinan lima. (lima dukuh).
 
Setelah beberapa tahun tinggal di Desa Mandau, rombongan yang berjumlah lima keluarga ini, memohon untuk diberi tanah atau hutan untuk mereka menetap dan hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagaruyung. Oleh kepala Desa Mandau, masing-masing keluarga diberi hak atas tanah-tanah atau hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai Gelutu, sungai Penaso, sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon. 

Berdasarkan data Departemen Sosial Propinsi Riau pada tahun 1982, terdapat 4.995 orang Sakai. Mereka hidup di 13 desa (kepenghuluan) yaitu: Pinggir, Semunai, Muara Basung, Kulin, Air Jamban, Tengganau, Petani, Kuala Penaso, Betulu, Syam-syam, Minas, Kandis, Sebangu. 

Setiap orang Sakai harus memiliki sebidang tanah, bahkan orang dewasa atau remaja yang masih bujangan pun harus memiliki tanah atau ladang. Karena hanya dari ladang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari. Untuk pembuatan ladang melalui empat tahapan. Yaitu, memilih tempat untuk berladang. Tanah yang dipilih biasanya tidak banyak semak belukarnya. Tanahnya miring agar tidak tergenang air, berdekatan dengan anak sungai atau air yang mengalir, dan tidak ada sarang semutnya.Yang kedua, membuka hutan untuk dijadikan ladang. Mereka memberi tahu Bathin, tentang maksud membuka ladang diwilayah hutan yang mereka pilih. Bila telah selesai urusan ini, maka mereka menebang pohon-pohon yang ada dihutan yang mereka pilih. Yang ketiga, mereka menanam benih padi. Kemidian mereka menanam ubi kayu beracun dan sayur-sayuran serta tanaman-tanaman lainnya. 
 
Menjerat hewan, menangkap ikan dan meramu hasil hutan. Biasanya orang Sakai juga menjerat berbagai jenis hewan liar, (kijang, kancil, babi hutan) atau hewan lainnya yang secara tidak sengaja terjerat. Mereka juga menangkap ikan dengan menggunakan cukah yang terbuat dari anyaman rotan. 




Selain itu, mereka juga menggunakan jaring untuk menangkap ikan kecil-kecil. Serta menggunakan serok untuk udang-udang yang berada dirawa-rawa. Kegiatan ini dilakukan ketika kegiatan di ladang berkurang atau seusai menanam padi. Di samping itu mereka juga meramu atau mengumpulkan hasil hutan. Seperti dahan-dahan kering untuk kayu bakar, jamur setelah hujan turun, pucuk-pucuk daun untuk bumbu, damar, kemenyan, kapur barus dan karet.

Orang Sakai dikenal sebagai pembuat benda-benda anyaman tikar dan rotan yang baik. Semua orang bisa membuatnya. Karena kebanyakan peralatan mereka terbuat dari anyaman dan ikatan. Mereka mengayam berbagai wadah dan tempat untuk membawa barang. Di samping itu mereka juga ahli dalam membuat berbagai macam jenis mainan, yang merupakan replika dari rumah, mobil, istana, kapal terbang dan sebagainya yang mereka buat dari daun kapau.


 Suku Sakai: Perjuangan Berkompromi Dengan Modernisasi

Latar belakang tersebut membuat saya tertarik untuk datang ke lokasi ini. Menurut saya, ada hal yang menarik selain masih kurangnya pengetahuan saya akan suku bangsa ini, namun juga saya tertarik mengaji bagaimana suku bangsa ini bisa bertahan dalam arus globalisasi dan modernisasi, apalagi saat Sumatera bergeliat dengan Kelapa Sawit dan Minyak Bumi.

Ketertarikan ini membawa saya pada wawancara singkat dengan Bathin Sakai Sobanga, Bpk M. Yatim. 

 
M. Yatim, Bathin Suku Sakai Bathin Sobanga

 
Oh ya, sistem pemerintahan dalam Suku Sakai ini dapat dilihat dalam foto ini:

Ini adalah sistem pemerintahan dalam Suku Sakai secara umum
Sistem Pemerintahan yang ada dalam Bathin Sobanga

Bathin selain untuk penyebutan sebagai kerapatan suku adat, bisa juga untuk penyebutan sebagai Kepala Suku atau Pimpinan Adat. Pada Suku Sakai Bathin Sobanga ini, Bathin dipimpin oleh Mohamad Yatim yang lahir pada sekitar tahun 1942. Saya mencoba merangkum percakapan saya dengannya.

T: Berapa populasi Suku Sakai sekarang ini, pak?

J:
Suku sakai saat ini (secara keseluruhan) terdiri dari 13 batin. Masyarakat suku sakai dipercaya berjumlah puluhan ribu. Dalam Bathin ini saja terdapat 300an Kepala Keluarga. --> Kepala suku punya 4 anak, 6 cucu. Mungkin bisa diperkirakan.
T: Bisa diceritakan sedikit tentang Suku Sakai?

J:
Kami hidup terasing, tersingkir oleh perkembangan teknologi dan modernisasi. Hutan dan tanah Sakai dicaplok pemerintah. Tonggak sejarah, ditemukan ada ladang minyak tahun 1931. Lalu eksplorasi besar-besaran di Tanah Sakai. Namun, tak ada yang diberikan dengan nilai sepadan.
Masyarakat suku sakai dianggap perusak lingkungan. Sehingga masyarakat ini terusir dan berpindah-pindah mencari ladang tinggal baru. Akhirnya masyarakat tersingkir dengan sendirinya.


T: Bagaimana cara mempertahankan Suku Sakai?


J:
Mempertahankan kampung itu sangat sulit. Apalagi zaman Soeharto. Masyarakat selalu dikatakan sebagai perusak hutan. Perambah liar. Pernah suatu ketika suku-suku pedalaman dikumpulkan oleh CPM (Polisi Militer), lalu mereka dipaksa keluar (dari hutan) dan dibawa pos keamanan. Mereka ditelanjangi dan disuruh mendiami ilalang itu. Saat itu, suku sakai untungnya tidak sampai seperti itu, hanya beberapa kali ada pemanggilan dari CPM untuk sosialisasi. Saya coba mengangkat semangat suku sakai agar bisa berjalan ke depan. Bagaimana bisa berbuat sesuatu sehingga bisa hidup berdampingan.

T: Ada peran pemerintah?

J:
Pembinaan sosial dari pemerintah itu asal-asalan. Kami dibuatkan sekolah, ya sekolah. Kami dibuatkan fasilitas, ya tinggal. Tapi kami mau hidup bagaimana? Tak ada penghidupan. Maka kami kembali ke hutan. Namun, Kami dianggap merusak hutan. Merusak bagaimana? Paling satu tahun kami menebang pohon untuk membuat ladang padi cuma habis 2 hektar.


T: Bagaimana interaksi dengan orang luar?


J:
Saya memulai (perbauran sosial) dengan mengundang orang luar datang ke daerah Sakai. Yang diharapkan oleh suku sakai adalah penghidupan. Bukan tempat tinggal atau pendidikan. Setelah ada penghidupan yang jelas, tempat tinggal dan pendidikan itu adalah hal-hal yg mengikuti. 



T: Bagaimana penghidupan atau cara Suku Sakai bertahan hidup?

J:
Mata pencaharian masyarakat Suku sakai adalah berkebun karet dan berkebun sawit. Dengan sistem tanam campur. Ada yg menanam sawit, ada yg menanam karet. Kalau mencari ikan dengan tombak, beberapa masih ada. Tapi masalahnya, ikan yg dicarinya yang tak ada. 



T: Masyarakat berkebun di hutan adat?


J:
Saat ini (khusus bathin Sobanga) punya sekitar 300 hektar hutan yang tidak diperbolehkan ditebang. Kami menjaganya dengan sanksi. Kalau ada (suku sakai) yang menebang satu pohon, maka harus diganti pohon lagi. Penebang juga didenda minimal didenda satu tepak sirih (sebuah tempat seperti bakul yg harus diisi emas penuh). Kalau ada penebang dari luar, ya bisa dibunuh.

300 hektar hutan itu tidak bisa diambil sama sekali. Dibiarkan begitu saja. Itu dinamakan Rimbau adat. Masih ada pohon langka seperti kulim, seminai, gaharu di dalamnya.



T: Bagaimana penentuan penempatan lokasi Rumah Adat Sakai ini?

J:

Penempatan lokasi Rumah Adat ini sudah ada dari dulu, dari jaman nenek moyang. Pada pembangunan ulang rumah adat ini, Masyarakat disertakan dalam rancang bangun. Materi kayu, dulu dan sekarang berbeda. Dulu meranti dan bahan-bahan yang tak mudah dimakan rayap. Sekarang, bahan kayu tersebut sudah tak ada. Tapi masyarakat memesan beberapa materi kayu ini dari perusahaan yang membantu membangun. (Landasan rumah adat ini juga sepenuhnya besi)

T: Arsitektur rumah ini unik, bisa diceritakan?

J:
Rumah terbagi atas rumah induk 11x9m, ada dua anjung sitimbal balik di bagian sayapnya. Apapun yang bersifat mufakat diselesaikan di rumah ini. Yang beranda depan disebut potapak (petapah) jatuh ukurannya 4x9m. Di bagian belakang disebut Gajah monusu yaitu bagian dapur. Semua ada ukurannya, ada filosofinya.

T: Bagaimana proses pembangunan Rumah Adat Sakai?

J:
Gedung lama terakhir dipakai pada tahun 2000. Setelah itu rusak. Proses bangun ulang dimulai pada tahun 2012. Selama dibangun ulang, aktivitas adat ada di rumah penduduk atau masjid. Agama Islam masuk 1917. Sebelumnya animisme.
Islam Baru 3 generasi (sebelum Bathin). Setelah merdeka, sebutan Sakai karena pada saat melawan Jepang, orang Sakai terkenal kebal dan sakti. Ilmu kebal disebut sebagai Berkumatan. Ilmu yg berhubungan dengan dewa-dewa. Tradisi animisme. Saat ini, ilmu beladiri masyarakat sakai ya Pencak silat. 

T: Saya tertarik dengan hutan adat. Luasnya begitu besar, 300 hektar. Bagaimana menjaganya?

J:
Untuk menjaga 300 hektar hutan Rimbau Adat, ada laskar yg terdiri dari masyarakat suku sakai sendiri. Mereka diberikan pemahaman agar tidak menebang lagi. Namun hanya memanfaatkan hasil hutannya saja (karet dan sawit). 



***