Friday, May 31, 2013

Akhir Dari Mei


Lega. Akhirnya selesai juga ini bulan yang penuh kemungkinan ini. Huft. Cape-cape seneng juga ngelewatinnya. Capek karena ya saat lu dikasih tanggung jawab walaupun lu ga dikasih duit atau timbal balik yang sepadan dalam segi materi, lu tetep harus mengemban itu dengan penuh dedikasi. Dedikasi untuk melakukan apa yang lu cintai. Teater maksudnya. Dari SMA, gue emang mencintai teater, walaupun gue ga terlalu cinta-cinta banget. Tapi ya segitulah cinta gue terhadap teater yang bisa gue ungkapkan lewat aksi-aksi di atas panggung. Lama-lama capek sih ya kalo dedikasi, loyalitas dan kecintaan harus bentrokan terus sama keluarga, uang, karir, dan tai-tainya yang lain.

Senengnya, akhirnya gue bisa ngelewatin itu semua dengan lancar. Seneng bisa bertemu anggota keluarga baru. Seneng bisa nampilin yang terbaik. Seneng masih bisa kerjasama, tuker pendapat, sharing, dan segalanya dengan orang-orang terbaik kita. Seneng juga akhirnya beberapa utang udah gue cicil-cicil. Sebelum bener-bener cabut, gue mau semua utang-utang gue lunas. Tapi masih ada beberapa utang ini yang nyisa, mulai dari kado buat Ena, balikin kemejanya Iqbal, apalagi ya... Emmm.. Entar kalo inget langsung gue catet aja deh di notes bb.

Eh iya, menjelang Juni ini gue sepagian ini ngotak-ngatik tampilan Blog gue. Seharian tadi gue mulai belajar ngedit themes, klik ini klik itu, photoshop ini photoshop itu, nambahin ini nambahin itu, ya semua gue coba pelajari sambil nyoba-nyoba. Kalo jelek, ganti. Kalo cakep, yaudah emang takdir. *ngomongin apaansih* Tujuan gue ngubah-ngubah tampilan themes Blog biar adem aja liatnya, sekalian nyari suasana baru. Bagian yang paling gue suka banget sih ya bikin header blog sendiri. Berasa kaya bikin perusahaan sendiri, terus nge-branding perusahaan dengan header. Tapi kali ini gue cuma bikin header apa adanya dulu, ngepul otak gue belajar dari 0-segini dalam waktu ga lebih dari 5 jam. Emmm.. menurut gue sih masih banyak yang harus ditambah-tambahin... *itu belom, ini belom, duh yang tadi lupa kan! itu yang ini juga belom* *ngomong sendiri*

Eh iya! Bagi siapapun yang mau ngiklan di blog gue, sini sini kasihtau gue! Emmm, iklannya dengan format foto-bertautan (linked photo) ya!. Walaupun blog gue baru lahir beberapa bulanan dan masih 2000an viewers, tapi lumayan laaah. Niatnya sih ini blog isinya mau dibikin semacam review-review gue entah review gigs, album, lagu, pertunjukan tari, teater, kehidupan atau yang lain-lainnya. Emm, gue kasih gratissshh deh sebulan ini sampe Juni. Jadi, kalo lu mau ngiklan blog lu atau majalah lu, atau perusahaan lu, atau lalala-lilili lu tolong buat gue tau ya! Dan kasihtau juga kalo ada pertunjukan-pertunjukan seru yang harus di review! Paling gampang lu mention aja twitter gue nih disini! Semoga ga bentrokan melulu sama society, HAHAHAHA.

Udah ah segitu aja dulu, ntar kalo banyak-banyak lu kelaperan lagi. Daaaaag!

*Cheers*

Sunday, May 26, 2013

Terimakasih Teater Agora UI

"Selamat Pagi temen-temen.
Halo. Apa kabar semuanyah?

Banyak bgt ya gue dapet pelajaran berharga di rumah ini, Teater Agora. Udah banyak waktu yg gue luangin untuk sama-sama belajar dari orang-orang berbakat dan berpotensi, orang-orang yg cerdas dan yang berani. Semuanya bikin gue seneng banget bisa kenal kalian semua.

Tiap suasana latihan-latihan yang dijalanin, walaupun gue males gerak buat latihan fisik, selalu bikin gue seneng dan semangat terus dateng kesini. Apalagi atmosfir pementasan yg selalu bikin ketagihan dan bisa jadi ajang untuk menilai perkembangan-perkembangan diri.

Tapi, atas beberapa pertimbangan pribadi, gue rasa ini waktunya gue buat cabut dari rumah ini. Ga tau sampe kapan, tapi yg jelas saat ini gue memutuskan untuk ga lagi bareng-bareng kalian, entah untuk sekedar latihan atau ikut produksi di masa-masa yg akan datang.

Maap, kemaren di rumah Maman waktu Pre-Event Thanksgiving, gue mungkin salah satu orang yg semangat berapi-api pengen ngadain pementasan yg terbaik buat Agora entah di bulan Oktober-November. Tapi sekarang, gue rasa ini waktunya yg tepat buat gue mundur dari Teater Agora dan ini udah jadi keputusan yg bulet.

Terimakasih buat orang-orang yg udah banyak ngewarnain hidup gue di Agora walau cuma dalam waktu yg sebentar ini, dari mulai pementasan BSJ sampe Waktunya Lelaki, hehe. Makasih buat Mbe, Dudung, Jack, Ocka, Mando, Denisa, Ena, Madil, Vini dan semua-semuanya yg ga mungkin bisa gue sebutin satu-persatu. Maap, maap, maap.

Tadinya gue pikir dengan adanya anak haram non filsafat gabung Agora malah bikin Agora jadi berantakan, tapi ternyata itu pikiran yg ga terbukti kok. Hehehehe. Semua orang emang berhak memajukan Teater Agora, ga cuma anak Filsafat doang. Mwahaha. Majuin terus ya Agora, temen-temen. Gue akan sangat senang ngeliat Teater Agora, Teater yg ikut gue bidani persalinannya, bisa tumbuh terus dan bisa terus konsisten eksis dalam dunia perteateran khususnya, dan mengubah masyarakat umumnya. *woelah*

Yupyup and Adios. :)"

Abis ngirim ini di grup whatsapp Majelis Ta'lim Agora, langsung plong. Lega. Terimakasih ya semua.

26 Mei 2013, 00:58


Trus ada gif si Agnes nagging biar nambahin efek dramatis.

Friday, May 24, 2013

Abis Nonton Pementasan Rajam (English Art Lab)

Pendahuluan
Rajam (23/5) merupakan drama yang bercerita tentang Dara dan Safia. Keduanya merupakan korban pemerkosaan walau dengan latar belakang yang berbeda. Keduanya, ingin mengungkapkan pandangan masyarakat tentang "mitos" ketubuhan perempuan. Persepsi-persepsi yang akhirnya mengakar dalam pandangan masyarakat, menjadi hukum yang menjelma secara sepihak. Persepsi-persepsi yang menjelma 'rajam' bagi korban. 'Rajam' yang lebih panas dari dera cambuk dan lebih keras dari lemparan batu.




Gue duduk paling depan, jaga-jaga kalo vokal pemain ga kedengeran banget karena membludaknya penonton. Gue duduk deket sama tukang musik. Sekedar info aja, Ini auditorium rame banget! Super rame. Penonton membludak. Panitia dan LO dalam beberapa menit masih sibuk untuk mengatur duduk penonton sambil mungkin menunggu beberapa undangan yang belum datang datang.

Sambil menunggu selesainya persiapan panitia, gue mau sedikit mengulas settingan panggung. Setting panggung dibagi tiga: Setting warung di sebelah kiri, setting ruang tidur di tengah belakang, ada sebuah level kotak panjang di tengah depan dan ruang keluarga di kanan.

16.32 WIB
Pertunjukan Rajam yg disutradai Herlin Putri dan Rahadian Adetya yg menurut sutradara dipentaskan untuk mengangkat isu-isu keperempuanan khusunya kasus perkosaan dan sepuluh persen tiketnya disumbangkan untuk korban perkosaan ini, siap dimulai.

Pertunjukan dibuka dengan setting warung yang berisi Geng AADC. Diisi dengan pembicaraan-pembicaraan tentang peraturan-peraturan diskriminatif yang dihadirkan oleh sekolah dan berlanjut ketika Dara bertanya pada Nadia tentang pengalamannya pertama kali bersetebuh dan membicarakan tentang sobekan selaput dara. Sebuah pembicaraan anak-anak Sekolah Menengah yang memang sangat umum sekali di jaman ini. Rasa penasaran dan keingintahuan yang hanya bisa didapatkan melalui pengalaman karena mungkin bagi gue hal tersebut masih merupakan ketabuan yang belum boleh diangkat kepermukaan, tidak boleh diperdengarkan. Bahkan keluarga dan sekolah sebagai tempat yang seharusnya memberikan pengetahuan akan ketubuhan ini semenjak dini terus menerus merepresi dengan bahasa-bahasa yang mengaburkan. Ini bisa terlihat ketika ada seorang tokoh yang selalu merespon dengan tidak biasa ketika kata-kata seperti "selaput dara". Adegan pembuka ini, menurut gue sukses dibawakan dengan apik.

Adegan lalu beralih ke monolog Safia. Safia adalah sosok yang bercerita. Bercerita tentang latar belakang keluarganya. Tentang ibunya yang meninggal dan mulut-mulut ibu-ibu tetangga yang masih saja membicarakan tentang "kenistaan" ibunya.  Disini Tiyul mencoba bermonolog dengan baik. Memainkan monolog, menurut gue sangat susah. (Kali ini gue ga somay coy.. Gue bisa bilang begitu karena gue pernah mainin monolog juga). Usaha Tiyul emang patut diacungi jempol di adegan Safia pembuka ini. Banyak perpindahan ekspresi dan perpindahan tokoh masih kurang smooth. Ada part yang harusnya bisa bikin merinding kalo saja Safia bener-bener nangis di bagian ketika Safia kehilangan "tangan" ibu dan merasa kasihan ketika melihat ayahnya untuk pertama kalinya menangis (saat kehilangan istrinya).

Adegan Rumah Dara:
Bukan. Ini bukan adegan bunuh-bunuhan oleh oknum jual-beli organ tubuh kaya film Rumah Dara. Ini adalah adegan dimana Dara, seorang siswi sekolah yang ada di geng AADC itu ternyata hamil. Bapak, seperti umumnya cerita kebanyakan, marah-marah dan menyalahkan pihak-pihak perempuan di keluarganya: Ia menyalahkan anaknya yang ga berpikir sebelum melakukan seks bebas dan ia menyalahkan istrinya yang ga bisa mengendalikan kontrol atas rumah. Sementara ia, sebagai kepala keluarga menganggap ia bekerja untuk mengisi segala kebutuhan atas rumah, sehingga kewajibannya hanya mencari uang bukan mengurus anak.

Di adegan ini geraman si bapak tidak terlihat dikepalan tangannya. Kepalan tangannya tidak bergetar seperti layaknya seorang bapak yang benar-benar murka, bukan lagi marah, karena menanggung malu karena anaknya hamil di luar nikah. Si Bapak kuat dengan suaranya yang terjaga, namun hal tersebut yang tidak bisa diimbangi oleh si Ibu dan si Anak. Di Adegan ini suara ibu beberapa kali tertutup oleh lenguhan yang justru membuat dialognya tidak terdengar jelas. Oh, dan satu catatan di adegan ini: Wardrobe Malfunction. Tim kostum seharusnya bisa memperhatikan lagi penggunaan kostum tokoh, karena kesalahan-kesalahan kecil seperti baju yang menyingkap bisa jadi distraksi pada penonton. Tapi keseluruhan adegan cukup menarik.

Adegan Safia part II:
Disini karakter Safia kedodoran, terlihat ucapannya keluar karena usahanya mengingat-ingat dialog. Di part ini masih ada adegan-adegan yang nanggung dan terlalu panjang bertele-tele. Tapi gue bener-bener bisa memahami apa yang dimainkan Tiyul bukan sesuatu yang mudah. Bagaimana dia harus mengingat sambil memainkan gerakan dan karakter-karakter berbeda menjadi satu. Butuh keluwesan dan porsi latihan berbulan-bulan untuk bisa menghasilkan sebuah monolog yang bagus. Gue apresiasi betul usaha Tiyul bermonolog ini, semoga ini bukan yang terakhir aja.

Adegan AADC part II:
Adegan ini berisi oleh geng AADC yang menyadari berita kehamilan Dara. Salah satu karakter menyalahkan pengaruh buruk yang dibawa oleh Nadia dan perempuan-bermulut-sumur itu. Tidak mau disalahkan, Nadia malah menyalahkan Robby, pacar Dara yang menjadi biang keladi semuanya. Kenapa Dara yang menjadi korban justru dinonaktifkan sebagai siswa di sekolah, sementara pelaku masih bebas berkeliaran. Masuknya tokoh Robby justru mengungkap sebuah rahasia, bahwa selama ini si perempuan-bermulut-sumur ternyata berkomplot dengan Robby dan membuat semacam taruhan.

Di adegan ini blocking pemain kacau balau. Pemain belum terlalu sadar blocking dan lighting sehingga mereka hanya berkumpul dan menjadi rusuh di panggung. Sama sekali tidak enak ditonton. Tampak dalam adegan ini, pemain masih belum terlalu di tata untuk menyadari "blocking "dan pengaturan pergerakan pemain juga masih terlalu bebas dan liar. Teriakan-teriakan yang timpa-timpaan a la anak SMA juga beberapa kali mengganggu. Sebetulnya teriakan-teriakan pas berantem itu menguatkan adegan ini, tapi berhubung gue ga terlalu suka sama berantem-berantem mulut gitu jadinya bagi gue mengganggu hehehe.

Ada beberapa hal yang menjadi gangguan adalah kebocoran-kebocoran lampu. Pada tiap perpindahan adegan, lampu terlalu cepat menyala, sehingga ketika Safia belum selesai duduk, adegan Dara-Orangtua sudah mulai. Sama ketika adegan Dara belum selesai sampai di tempat tidur, adegan Safia udah dimulai. Lalu ketika adegan Dara dan Safia sudah berdiri di depan dan bermonolog, lampu di bagian rumah nyala sehingga mendistraksi penonton. Menurut gue, setting kamar tidur Dara juga terlalu boros. Setting itu, tidak dipergunakan sama-sekali kecuali kasur (sebagai tempat Dara duduk) dan vas bunga (sebagai alat Dara). Dengan adegan yang hanya seperti itu (Monolog Dara), setting kamar sama sekali tidak diperlukan. Monolog Dara sebenarnya bisa dimulai di sofa rumahnya, tanpa harus membuat setting baru. Menurut gue, justru lebih baik setting yang di tengah itu sebagai ruang eksplorasi Safia.

Secara keseluruhan, pementasan ini bisa saya tangkap sebagai pementasan "Perempuan yang berbicara tentang perempuan-perempuan sebagai agen patriarki". Agen-agen yg meneruskan tradisi patriarki lewat ucapan-ucapan, aturan yang harus dipatuhi dan yang masuk sebagai kekerasan simbolik. Ucapan-ucapan dan aturan-aturan tersebut terlihat seolah-olah sebagaimana naturalnya/mestinya/normalnya perempuan berlaku dan berbusana. Ucapan-ucapan yang terlihat sebagai sesuatu yang lazim dalam masyarakat. Ketika para perempuan menuruti kekerasan-kekerasan simbolik yang dihadirkan dalam budaya-budaya yang sudah kadung melekat dalam masyarakat dan tanpa ada sesuatu pun yang menahan mereka untuk meneruskannya kepada generasi-generasi setelahnya maka para pemempuan tersebut telah serta-merta menjadi salah satu agen yang menumbuhsuburkan budaya partriarki.

"Rajam" menurut gue justru menyerang perempuan-perempuan agen ini. Mereka yang dengan tanpa sadar melestarikan diskriminasi pada kaum mereka sendiri. Yang tanpa sadar justru meng-subordinatkan posisi mereka sebagai posisi kelas dua dalam masyarakat. "Rajam" adalah stigma-stigma yang dilekatkan oleh perempuan 'baik-baik' kepada perempuan 'yang-tidak-baik', ucapan-ucapan tendensius dan menghukum. Mulut-mulut jahat deh kalo bahasa anak Kansas.

Namun fondasi-fondasi yang diangkat dalam pementasan tentang korban pemerkosaan sayangnya ditutup dengan pilihan akhir cerita: bunuh diri. Menjadikan korban perkosaan, yang dicoba untuk diangkat di pementasan ini merupakan makhluk yang lemah dan tidak bisa kuat menentang diskriminasi-diskriminasi yang hadir dalam masyarakat.

Segitu dulu ulasan singkat, saya abis nonton pementasan rajam. Semoga gak keliatan sotoy aja deh dan bahasanya tetep bisa dicerna orang banyak.


*Cheers*





Wednesday, May 22, 2013

Review Pergelaran Tari "Luka" (Avie Rajanti Putri)

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI khususnya Program Studi Sastra Inggris memiliki sebuah mata kuliah wajib yang dulunya bernama Kajian Drama Sebagai Teater. Gue beberapa kali pernah ikut membantu produksi mahasiswa-mahasiswa yang ambil kuliah KDST, walaupun bukan sebagai mahasiswa yang pernah ikut ambil mata kuliah tersebut. Hal itu karena dosen KDST, Iswahyudhi Soenarto atau akrab dipanggil Mas Yudhi merupakan ketua geng Teater Sastra UI meminta agar beberapa anggota Teater Sastra membantu produksi KDST.

Tahun ini, KDST berubah nama menjadi Kajian Budaya Pertunjukan -sesuai dengan pidato pembuka Mas Yudhi sebelum pergelaran tari Luka. Perubahan ini mungkin saja dikarenakan agar mahasiswa tidak melulu menjadikan teater verbal sebagai satu-satunya produk akhir KDST. Oleh karena itu dengan perubahan nama ini, pergelaran tari "Luka", yang oleh Mas Yudhi juga disebut teater-gerak-non-verbal bisa tetap dipentaskan.

***

Gue memang udah niat banget dari semingguan yang lalu buat jaga kesehatan supaya tetep fit. Masalahnya, dalam dua minggu ini ada lima acara Pertunjukan seni yang dipentaskan di FIB UI. Pertama, pementasan Teater Agora (15/5); kedua pergelaran tari Narthanna Budaya (17/5); ketiga pementasan Teater Pagupon (20/5); keempat pergelaran tari Luka (22/5); kelima pementasan English Art Lab (23/5). Selain jaga kesehatan badan, gue juga harus pinter-pinter jaga kesehatan keuangan, men. Masalahnya dalam dua minggu itu, duit Rp 80.000,- sudah melayang begitu saja. Fufufu~ Oke gapapa. Nah, sekarang nih gue mau review Pergelaran Tari Luka yang dipentaskan sebagai hasil akhir mahasiswa-mahasiswa kelas KBP (Kajian Budaya Pertunjukan).

Gue masuk Auditorium sekitar jam empat lewat, karena gue lupa persisnya gara-gara ga liat jam. Kali ini, gue masuk bareng Etep, sahabat seangkatan gue dari mahasiswa. Kami berdua emang ngefans banget sih sama Avie, sutradara pergelaran tari Luka ini sebelum-sebelum pertunjukan ini diadain. Nah, sedikit kasih info tentang pergelarana ini, pergelaran tari ini termasuk dalam rangkaian EAL Arts Festival 2013: Sulap Sastra dan pergelaran tari ini gratis alias tanpa biaya. Pas masuk, gue liat Auditorium cukup ramai mungkin karena ga dipungut biaya atau juga karena banyak temen-temen yang ingin support dan nonton Avi atau penampil yang lainnya. Cuma sayang banget, ga ada semacam guide book tentang pergelaran tari ini (kan gue mau tau siapa tim produksinya bla-bla-bla).

Tata panggung sangat sepi. Tidak ada layar dan level. Benar-benar hanya panggung kosong tanpa properti berat apapun kecuali gantungan dedaunan plastik di atas panggung dan properti ringan lain. Tata lampu cukup sederhana, hanya beberapa lampu par 36 ditambah dengan lampu follow spot berwarna putih. Jika gue bandingin tata lampu pergelaran tari ini dengan pergelaran tari Narthanna Budaya sepekan sebelumnya, memang ibarat langit dan bumi. Di pergelaran tari Narthanna Budaya, permainan lampu sangat atraktif karena ditambah banyak lampu-kepala-goyang (Moving Head). Pergelaran Narthanna Budaya kemaren tuh kalo masalah permainan tata lampu bisa gue bilang yang paling juara!

Untuk masalah tata musik, gue bilang tata musik di pergelaran tari Luka ini sangat-sangat-sangat disiplin dan bermain dengan rapi. Gak kedengeran berlebihan dan kekurangan. Pas banget buat mengisi nuansa dan rasa pementasan. Gua acungi jempol buat Joni sama Rian yang udah jadi konduktor pemusik yang apik. Cuma sayang aja sih, speaker untuk musik suka timbul tenggelam. Maksudnya, kadang speaker kanan nyala yang kiri mati. Kiri nyala, kanan yang mati. Cuma kekurangan teknis itu ga mempengaruhi pementasan secara keseluruhan.

Nah, mulai deh kita review buat pergelarannya. Pergelaran Luka ini mengambil kisah Bawang Putih dan Bawang Merah. Semua tarian merupakan bagian-bagian yang menceritakan kisah Bawang Putih dan Bawang Merah, dengan alur yang diceritakan oleh seorang narator gaib. Selama pergelaran berlangsung beberapa scene di dominasi oleh tarian Avie (yaiyalah jagoannyah...) sebagai Bawang Putih dan Manda sebagai bawang merah. Beberapa scene juga memperkenalkan beberapa tokoh seperti teman-teman Bawang Merah, teman-teman Bawang Putih, Peri Hutan dan Binatang-binatang serta Ibu pemberi Hadiah. Pergelaran tari ini hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali kecuali teriakan dan tawa. Yang paling menarik dari pertunjukan ini adalah para penari tidak sekedar memainkan gerak tubuhnya, namun mereka juga menunjukkan emosi gerakannya dengan ekspresi muka. Avie misalnya, bisa memainkan mimik yang sangat kontras ketika ia kesakitan, ketakutan, sedih, marah, dendam, dsb. Beberapa ekspresi-ekspresi Avie bikin gue merinding sih. Lalu Manda yang jadi Bawang Merah, walaupun gerakannya masih keliatan ragu-ragu di beberapa kesempatan, bentuk muka dan make-up nya sangat-sangat membantu dia untuk memainkan tokoh antagonis di pertunjukan kali ini. Ekspresi-ekspresi itu yang membuat tiap gerakan bernyawa dan ga cuma buang-buang gerakan doang. Naik turunnya emosi kisah cerita dan para penari juga sangat dibantu dengan permainan tata lampu yang smooth dan musik. Jago.

Scene yang paling menyenangkan sekali ya scene peri hutan dan binatang-binatang. Walaupun gerakan tariannya sangat sederhana dan masih belom terlalu kompak, keceriaan yang dibagikan untuk penonton sudah sangat sampai. Tapi tetap, scene terfavorit saya adalah ketika Avie buta dan saya dengan detail memperhatikan jari-jari kaki Avie setiap dia bergerak. Luar biasa! Kayak ngeliat kelingking-kelingking lagi jalan-jalan kecil. *duh gimana ya bahasa enaknya...* Alhasil, pertunjukan yang cukup sebentar tersebut tetap mengasyikkan dan gue bisa nikmatin. Benar-benar bikin nambah kagum sama Avie dkk.

Hmm, Segitu dulu aja deh review-nya. Sukses Avie dkk. Ditunggu lagi pergelaran tari selanjutnya.

*Cheers*

Nih posternya nih.. dari @englishartlab

Baru mulai nih..

Para temen bawang putih yang nyimpen lipstik di lipetan BH.


Rule 1: Bawang Putih, kalo bobo harus tetep cakep.
Dadaaaah!

Tuesday, May 21, 2013

Review Bulan Bujur Sangkar (Teater Pagupon)

Halo-halo!
Begini sebelumnya gue mau kasih sedikit pendahuluan. Senin ini (20/5) IKSI alias organisasi kemahasiswaannya Sastra Indonesia UI berulang tahun yang... wah udah tua banget deh pokoknya. (Biasanya kalo udah tua banget pantang nyebut umur, katanya sensitip). Nah dalam perayaan ulangtahunnya itu, mereka membuat sebuah acara bernama "Indonesia Tebar Pesona". Dalam rangkaian acaranya itu, ada penampilan sebuah geng (buseet geeeng) hahaha maksudnya ada penampilan grup teater yang berada di bawah pengetahuan IKSI. Grup tersebut bernama Teater Pagupon. Teater Pagupon merupakan salah satu Teater yang dituakan di Fakultas Ilmu Budaya UI (dulu namanya Fakultas Sastra UI), selain Teater Sastra UI tentunya, dan rutin mentas di kampus FIB UI. Dua pementasan terakhir mereka yang gue tonton yaitu Malam Jahanam (karya Motinggo Boesje) dan Mati Suri di Jakarta (kerya Rebecca Kezia). Pada Senin kali ini, mereka mementaskan pementasan berjudul Bulan Bujur Sangkar, naskah karya dari Iwan Simatupang dan disutradarai Sinyo Nantogog (Nanto).



Diambil dari @teaterpagupon

Oke, pendahuluannya kelar.
Sebelum masuk ke gedung pertunjukan, Yoga manggil gue dari arah gedung 1. Bukan. Bukan Yoga Mohamad karib gue, tapi Yoga anak Prancis yang waktu lalu pergi ke Senen bareng gue. Disitu dia lagi nongkrong sambil ngerokok nungguin para pemain lagi nyanyi-nyanyi-nyamain-frekuensi. Pementasan ngaret dari waktu seharusnya. Di poster dan berbagai media promosi, dinyatakan bahwa pementasan akan dimulai pada pukul 15.00 WIB. Tapi ternyata baru main jam 16.30 WIB.

Menjelang jam setengah lima, panitia udah manggil-manggil para pemain untuk stand by. Gue nunggu si Anas, temen angkatan gue buat kasih semangat. Sempet juga gue foto bareng sama Anas sebelum manggung. Mukanya masih acak-acakan dikasih cat Latex. Ini bukan Hoax. Nih kalo ga percaya:

Sebenernya lebih acak-acakan muka gue sih. Maap.

Setelah itu gue langsung menuju gedung pertunjukan. Dengan harga tiket yang ga mahal (Rp 20.000) gue masuk bareng Yoga. Setelah masuk auditorium gedung IX, kami pisah. Gue menuju arah kanan dan ambil tempat buat duduk di tangga belakang kanan. Posisi itu bagi gue adalah tempat paling pewe buat nonton, alesannya? Simple. Karena ada tiang/tembok yang bisa disenderin kalo ntar tiba-tiba bosen nonton. *Kok tiang, Haq?* *Iye sih berisik amat lu nyindir pundak cewek buat disenderin* *Sensitip* *maap*

Pas gue masuk, pementasan belum dimulai. Masih ada enam orang yang ada di atas panggung dan sedang lalalili ngobrol barangkali MC dan para peserta di acara sebelumnya, atau barangkali juga lagi ada acara bagi-bagi sertifikat. Di dalem, gue ketemu beberapa anak Teater Agora tapi emang sengaja ga gabung karena udah dapet tempat pewe sementara yang lainnya pada duduk di tengah kanan. Sambil nunggu acara pementasannya mulai, gue sibuk whatsapp sana-sini biar pada gabung ikut nonton. Suasana auditorium, menurut gue cukup ramai-ramai-sepi. Ga membludak kaya pementasan Teater Masa Lalu waktu itu. Indikasinya? masih ada cukup ruang di Auditorium buat penonton nonton sambil guling-gulingan. Apalagi salto. Barangkali karena di luar cuaca tiba-tiba hujan besar juga kali ya jadinya banyak orang juga pada terjebak ga bisa nonton. (Ya gapapa sih terjebak ujan daripada terjebak masa lalu).

Makin lama, makin banyak lagi penonton yang masuk. Tadinya disamping gue cuma ada tiang sama tembok. Tapi abis itu Tasi anak JIP 2009 sama Intan "Galau" PL anak Belanda 2009 nyamperin duduk bareng. Masih sempet ngerokok sebatang dulu disitu sebelum gue nemu ada tulisan "Dilarang Merokok" di Auditorium. Para pengisi musik dan penyanyi-penyanyinya Pagupon juga masih check sound,

Dan akhirnya... Pementasan akhirnya diumumkan akan segera dimulai oleh suara perempuan yang ghaib.

Jreng-jreeeng!

Gue sudahi dulu ya cakap-cakap basa-basinya. Langsung aja gue mulai reviewnya *mulai rada serius*
Oke, pementasan Teater Pagupon kali ini dilihat dari settingan panggung, cukup sederhana. Di panggung, hanya ada sebuah tiang gantungan besar di tengah disusun atas beberapa level, sementara kanan dan kirinya terdapat "batu-batu" besar yang juga disusun dari beberapa level. Sisanya, ornamen-ornamen kecil untuk menghiasi setting tiang gantungan dan batu-batuan. Di belakang, ada tiga layar panjang yang terpisah. Satu di bagian kanan, satu dibagian tengah dan sisanya di kiri. Lampu-lampu di dominasi warna merah dan kuning. Ada sembilan mic kondensor yang tergantung dan tiga mic yang berada di depan panggung. Secara visual, settingan panggung ini, walaupun cukup sederhana, benar-benar memunculkan suasana yg muram dan suram.

Jangan bicara tentang isi cerita, karena ada beberapa hal yg merusak gue untuk masuk mengevaluasi isi cerita. Teater Pagupon memang dikenal memiliki kekuatan di bagian musik dan latar suara, namun kali ini gue pikir sisi itu perlu mendapat kritik gue. Musik menabrak permainan dialog pemain, sementara vokal pemain dibawah standar. Tabrakan kerasa terjadi ketika ada musik yang berlirik menabrak dialog yang sedang diucapkan pemain. Sementara gak ada upaya kedua belah pihak untuk saling mengalah, entah volume suara musik yang dikecilkan atau volume suara pemain yang dinaikkan. Tapi dibalik setting suara musik yang terlalu besar, vokal pemain juga sangat mengkhawatirkan. Terlalu kecil untuk didengar padahal dialog-dialog dalam drama ini sarat arti dan filosofis. Sayang sekali 9 kondensor menggantung tak membantu vokal-vokal dan artikulasi hampir kebanyakan pemain. Fatal banget. Karena itu, tersiksa banget gue saat nonton plotnya Becca dan yang anak muda bawa senapan itu sambil usaha banget dengerin dialog-dialog yang dilalap sound musik.

Menurut gue, permainan baru dimulai, saat Annas mulai bermain. Terlepas dari kekariban gue dengan Anas, tapi secara objektif hanya suara vokal Annas yang mampu melebihi suara pemusik. Memang begitulah standarnya menurut gue. Segitu sangat pas dan ga boleh turun lagi. Nah, ketika masuk adegan dimana cowok yang tinggi badannya kaya Karim Abdul Jabar sama perempuan yang pake kerudung itu berdialog, gue melihat mereka berdialog tanpa rasa. Mereka ragu pada isi dialog dan kurang keyakinan, maksudnya mereka keliatan cuma asal ngomong aja gitu bukan yang ngomong sambil ngerasain arti dialognya gitu.. *masalah rasa, ya gue agak sok tau sih, tapi emang berasa aja* Nih, Bahkan tawa si Karim Abdul Jabar aja terasa hampa dan datar. Ketawa-ketawa yang ga dari dalem hati. Abis itu.. Ada perempuan yang masuk di plot Annas. Dia terlalu banyak mengayunkan tangannya dan menjadi berlebihan. Harusnya ia lebih disiplin menjaga gerak tangannya sendiri.

Dari segi keaktoran, gue bisa bilang baru Annas yang memenuhi standar keaktoran. Becca suaranya masih ketiban musik, *kesian... kan berat* Tapi gerakan-gerakan dan silent actnya udah bagus. Sisanya, masih butuh jam terbang lagi untuk main teater. Yang mesti dievaluasi banget sih ya feel in musiknya aja. Ga mesti diisi musik keseluruhan sih menurut gue. Karena ada beberapa part musik yang justru ngacaukan adegan dan ada beberapa part yang lebih baik sunyi ketimbang harus ada musik. Terus tadi gue paling keganggu sama suara biola sih. Hehehe. Di beberapa part, suara biolanya bisa bikin tersentuh. Tapi kadang suka kelebihan aja porsinya. Harmonisasi suara penyanyinya patut diacungi jempol. Bagus. Trus tadi ada Sound effect pemberian alam: Gledek pas Annas mau gantung kepalanya.

Semoga review dari gue ini bermanfaat dan semoga ga kedengeran sok tau atau sok jago ya.. Untuk pihak-pihak yang ga suka dengan isi review ini, silakan langsung ngobrol aja biar ga slek. :D

*Cheers*

Sunday, May 19, 2013

Dulu Gue Ga Percaya Pas Adan Bilang

"Biasanya, cewek yang ninggalin kita atau kita tinggalin makin lama kalo makin diperhatiin jadi jelek, haq"

Sekali kesempatan, gue ga percaya. Kesempatan kedua, masih ga percaya. Pas udah kesempatan ketiga dan kesempatan berikut-berikutnya, gue perhatiin lagi...... Iya juga sih.

Friday, May 17, 2013

Cowboy vs Matador

"Bull riding refers to rodeo sports that involve a rider getting on a large bull and attempting to stay mounted while the animal attempts to buck off the rider."

Intinya, kecenderungan banteng itu emang sulit dikendalikan. Dalam olah raga jantung macem Rodeo aja, mengendalikan banteng cuma diitung sampe delapan detik pertama. Sisanya, bisa jadi maut kalo ga banyak orang ngebantu lu untuk mengendalikan banteng tersebut. Apa yang hendak gue ungkapkan adalah sifat-sifat banteng itu emang liar dan sulit dikendalikan. Banteng mah ya ibaratnya nih kalo jadi manusia punya sifat: "suka-suka gue lah..". Gitu.

Nah, daripada lu bermain sedekat itu dengan banteng kaya main Rodeo, yang efeknya bisa bikin lu mati konyol, ya minimal bikin lo jatuh mendingan lu coba deh jadi matador. Seorang matador, punya kharisma dan ketenangan dalam mengendalikan seekor banteng. Pesona seorang matador, gayanya yang flamboyan dan ga perlu gembar-gembor sok jago dan sok pamer nyali dan keahlian nantangin Banteng inilah yang patut ditiru.

Seorang atlet Rodeo (Cowboy), bisa jadi dia orang yang nyalinya gede. Berani ambil resiko tinggi dengan minimal jatoh kelempar dari punggung banteng. Tapi saat show off-nya selesai, dia butuh banyak orang buat bantuin dia ngendaliin itu banteng. Artinya, ga cukup nyali doang buat melunakkan dan menjinakkan banteng. Lu butuh kecerdasan. Sementara, seorang matador,  gue rasa dia orang yang paling gede nyalinya tapi ga gembar-gembor. Dia cukup ngibas-ngibas kain buat bikin banteng itu lari mendekat, dan dia butuh keahlian untuk sedikit mengelak. Selalu begitu sampai akhirnya bantengnya itu lelah sendiri dan sang matador menyudahinya dengan sebuah tikaman ke arah banteng tersebut.

Dua-duanya memang beresiko, karena berhadapan dengan banteng memang sangat beresiko dikarenakan sifat liar dan sulit dikendalikannya itu. Semoga semua orang bisa menggunakan akal pikiran yang sehat dan cerdas serta kemampuan dan ketenangan untuk mengelak dalam waktu yang tepat dan cepat sehingga terbebas dari terjangan seekor banteng.

***

Dan diantara kedua hal yang mengadu nyali dengan banteng ini, hanya festival "dikejar banteng marah terus lari" aja yang merupakan kegiatan paling dungu sedunia.


*Cheers*

Vito-Vanny #PartTerakhir: "Being Vito"

 Sebelumnya lu udah pada tau belom kalo gue main di Waktunya Lelaki yang dipentasin Teater Agora, Rabu (15/5) kemaren?? Kalo belom tau, lu payah bangeeet! Kan udah gue kasih tau berkali-kali di postingan gue sebelum-sebelumnyah. Hahaha. Yaudahlah, your loss.



Nah tulisan kali ini gue mau sedikit buka rahasia tentang proses kreatif pembangunan karakter-karakter yang gue mainin di Teater Agora ini.

Balada Sakit Jiwa (15 Mei 2012)
Pementasan Waktunya Lelaki ini tepat setahun setelah pementasan pertama Teater Agora (Balada Sakit Jiwa, 15 Mei 2012). Di BSJ gue berperan sebagai Mayor Alexander Roy, seorang purnawirawan yang memiliki kecanduan akan perilaku seks diluar kebiasaan dan memiliki sifat-sifat yang kejam dalam membina orang-orang di sebuah Asylum eksperimental untuk orang-orang yang dianggap gila oleh masyarakatnya. Karakter Mayor, gue buat berdasarkan asumsi tanpa observasi. Asumsi-asumsi itu dibuat dari sebuah pembacaan singkat tentang mental-mental seorang yang memiliki kecenderungan haus kekuasaan. Gue membuat semacam latar belakang Mayor, yang bener-bener gue tulis di sebuah kertas, tentang bagaimana latar belakang keluarganya, karir, ekonomi, lingkungan sosial, cara bergaul, cara merokok, cara berbicara, gaya berbicara, gaya menggunakan mimik, gesture kepala, cara duduk, cara jalan, dan berbagai macam hal-hal detail lainnya yang dibangun untuk memperkuat ketokohan Mayor. Proses ini pun dibantu dengan keleluasaan yang Sutradara berikan untuk menciptakan sendiri tokoh-tokoh dan menghidupkannya. Maklum, gue dan Mbek lahir dari rahim yang sama: Teater Sastra dan empunya Mas Yudhi Soenarto selalu menitikberatkan proses kreatif dan imajinasi aktor sendiri dalam mendekatkan dirinya dengan karakter (Stanislavski's System).

Pada saat itu, gue memiliki kuasa penuh untuk menguasai panggung dan cerita, karena disana sosok Mayor adalah sosok sentral yang baru dihadirkan belakangan (termasuk sosok Wenda yang juga hadir belakangan). Karena kekuasaan menguasai panggung itulah, gue suka mengeksplorasi tiap jengkal panggung dan mencoba agar tidak berjarak dengan semuanya: penonton, panggung, dan properti. Namun, karena lemahnya observasi yang gue lakukan, menurut gue karakter Mayor yang kejam dan beringas cuma gue tampilkan lewat sisi luarnya saja. Lewat amukan, gerakan dan mimik/gesture tapi gue keteteran sendiri saat harus improvisasi disana-sini saat gue lupa dialog atau ketuker-tuker dialognya. Karena itu, kedalaman emosi Mayor dalam mengungkapkan dialog bagi gue sendiri masih belom terlalu maksimal gue lakukan.

Gue adalah orang yang selalu mencintai sebuah kata-kata khas semacam "Yippi-kai-yeey"nya Bruce Willis di Die Hard. "I'll be Back"nya Arnold di Terminator, dsb. Di pementasan sebelumnya, saat gue jadi Mayor, gue mencoba untuk menciptakan kata-kata itu: "Ngehe!", "Tai Kukus!", dsb. Selain itu gue mencoba melekatkan sebuah barang agar menjadi khas "Mayor banget" seperti tongkat, kacamata hitam dan arloji. Walaupun ga begitu ngena, tapi kata-kata dan aksesoris ini cukup representatif dengan karakter Mayor yang dingin tapi kasar, tenang tapi cukup ambisius.

Waktunya Lelaki (15 Mei 2013)
Proses kreatif gue dalam membangun karakter di Waktunya Lelaki cukup sedikit berbeda dengan proses di Balada Sakit Jiwa. Saat Mbek memutuskan cast Vito di Waktunya Lelaki buat gue, gue dengan cepat mengobsevasi beberapa tipe pria-pria yang memiliki kecenderungan "halus", "kemayu", "sensitif". Beberapa target sempet gue observasi dengan cara memperhatikan perilakunya. Mulai dari cara duduk, cara memainkan rambut, cara senyum, cara membaca buku, cara berdiri, dan perilaku-perilaku lainnya. Gue ga berangkat dari asumsi, karena memperhatikan tipe-tipe pria kaya Vito sangat gampang banget ditemui di lingkungan kampus gue. Terlebih lagi, gue juga sempet bermain di pementasan Sketsa Robot dari Teater Sastra dan berperan sebagai seorang transgender. Disana, gue ga terlalu banyak dialog sehingga gue ga terlalu mengkesplor dan observasi terlalu jauh walaupun ada beberapa referensi yang gue pake menjadi karakter Vito. Lalu gue mulai buat karakter Vito dengan beberapa perbedaan. Betuk rambut yang gue biarin ngebob sendiri, tai lalet diatas bibir kanan, fashion Vito yang tampak "laki" dan sebagainya.

Secara ektrinsik dan intrinsik gue mulai membangun karakter Vito. Dalam berbagai sesi latihan gue mencoba untuk menggunakan berbagai karakter, sehingga gue memutuskan untuk mematenkan karakter Vito pada dua minggu sebelum hari pementasan. Setelah mematenkan itu, gue mulai untuk disiplin menjaga karakter, terbiasa dan konsisten dengan perilaku dan emosi Vito. Semua rencana itu gue tulis, gue catet dan gue terus coba dalam tiap sesi latihan. Setelah itu, gue dengerin beberapa koreksi dan evaluasi dari yang menonton. Terlepas dari suka atau ketidaksukaan penonton dengan pilihan gue menjatuhkan pilihan untuk memainkan dan menginterpretasikan Vito seperti apa yang gue tampilkan di atas panggung, itu bukan lagi jadi urusan gue. Haha. Biar penonton yang ngereview sendiri dan menganalisis kenapa Vito dimunculkan seperti itu.

Pada pementasan kali ini, gue diberikan sebuah ruangan milik gue sendiri dan harus bermain dalam ruangan yang itu saja. Plot gue termasuk salah satu plot pembawa keceriaan yang harus membangkitkan lagi emosi penonton setelah disuguhkan plot Eva-Ernest yang cukup bikin emosi ngedown. Bagi gue, itu tantangan berat banget: menaikkan emosi tanpa harus terburu-buru berurusan dengan tempo permainan. Serius, gue capek banget sebenernya sedetik sebelum mentas karena kurang istirahat dan kurang bobo. Tapi saat gue melangkah menuju panggung dari sayap panggung, di detik berikutnya gue sudah harus profesional, maksimal dan total. Gue harus membayar semua keikhlasan diri gue memainkan Vito serta semua hasil pengamatan gue tersebut. Maka, Voila! Kalo kata orang itu "keajaiban panggung", beberapa orang bilang "ngebanci panggung", kalo Mbek bilang "colongan" tapi gue bener-bener ga ngerasain lagi apa itu yang namanya capek karena gue udah in to the character. Gue udah dirasuki Vito dalam setengah jam dan gue gak dalam posisi mengelak dari semua itu. Gue harus merelakan tiap gerak tubuh gue dipinjam dan "ditelanjangi" Vito.

Dalam periode hampir setengah jam itu, gue harus terus menerus disiplin dan konsisten dengan semua rencana gue selama latihan. Cara duduk, ngomong, emosi, dan karena tugas scene ini adalah menaikkan emosi penonton lagi, gue berusaha untuk berjudi dengan melakukan improvisasi. Bukan. Bukan ngarang cerita. Tapi dengan ngebuat semacam kata-kata khas dan silent act yang khas. Maka lahirlah "Yup Yup!", "O ow", "Laillaha illalahu", "Kenapa kamu diem? Kebelet eek?", adegan gue nonjok boneka, dan segala sesuatu yang bener-bener baru lahir pas di atas panggung tanpa persiapan, tanpa latihan. Gue bener-bener ngerelain dan mengikhlaskan diri gue selama setengah jam "dipinjem" Vito. Untungnya, perjudian gue berjalan lancar sehingga semua yang lahir di panggung tampak lucu apa adanya dan bukan sesuatu yang gue buat-buat untuk ngelucu. Prinsipnya, gue ga berusaha untuk menjadi Vito tapi gue berkenalan dengan Vito dan membiarkannya bermain di dalem tubuh gue.

Gue pun turut terbantu dengan akting lawan main gue, Anisa Fajrina Djuanda (Ena, Sastra Inggris 2011) yang malem itu mentas dengan all-out. Gue yakin dia juga ngerasain keajaiban panggung karena gue bener-bener merinding sendiri pas dia marah dalam keadaan puncak dan teriak ke Vito saat dia bilang udah muak dengan segala cerita tentang cinta sejati bla-bla-bla. Gue, secara pribadi selalu mengkritik permainan Ena selama latihan supaya dia bisa terus mengeksplor dirinya dan aktingnya. Emosi dia ga pernah sampe puncak. Dia ga pernah bisa ngimbangin emosi gue, dan selalu minta gue untuk nurunin emosi gue. Tapi gue selalu bilang kalo dia bisa lebih dan lebih lagi, walau mungkin dengan cara yang kasar dan jahat. Maka dari itu gue dan dia selalu evaluasi permainan kita setelah abis latihan dan ditutup biasanya dengan curhat. Tujuannya? Ngebantu banget sih buat bangun chemistry dan kedekatan hubungan antar karakter Vito dan Vanny, selain untuk mengetahui latar belakang masing-masing supaya apa yang nanti ditampilkan bener-bener natural. Hasilnya? Dia tampil luar biasa. Gue yakin penonton juga kebawa emosi dan terwakilkan banget dengan segala kemuakan Vanny. Gue yakin penonton juga paham kondisi Vanny dan ikut kesel juga. Di satu sisi itu rencana awal gue: Membiarkan penonton membenci Vanny sebagai sosok yang "jahat" namun juga memakluminya sebagai pilihan yang "logis dan memang sudah sepantasnya". Ena benar-benar bisa menterjemahkan itu dengan porsi yang sangat pas. Ga kekurangan. You did a great job, Anisyakh!


***

Di postingan gue sebelumnya (nih disini nih!) gue nulis tentang kekhawatiran gue tentang kegagalan pementasan ini. Kekhawatiran itu, gue jelasin disini lahir entah dari kemungkinan setting panggung yang belum siap, tim musik yang masih belom ngangkat mood pemain, atau dari gue sendiri sebagai pemain yang belom fokus ke pementasan dan ngerasa belom siap tampil terkait dengan proses-proses dan konflik internal yang melanda. Tapi gue mencoba untuk tampil maksimal dan total, setidaknya buat diri gue sendiri. Buat apa yang udah gue korbanin, baik waktu, duit, tenaga, pikiran dan mental psikologis. Nyatanya, saat dipanggung gue liat setting panggung yang udah keren banget walau dikerjain dengan ngebut, terus tim musik yang... ya walaupun masih ga blend in tetep harus diapresiasi, membuat gue dapet "Kratingdaeng" tambahan di atas panggung.

Semua kekhawatiran itu nyatanya jadi mood booster. Jadi letupan semangat bertenaga. Jadi keajaiban-keajaiban yang klimaks. Senengnya, apa yang gue dan Ena hadirkan di atas panggung, emosi yang kita suguhkan mampu mencampur adukkan emosi-emosi penonton. Itu yang bisa gue sendiri lihat dan denger dari tawa penonton, renyuhan penonton, dan yang paling luar biasa adalah tepuk tangan meriah penonton ketika adegan Vito-Vanny berakhir.

Disini gue bener-bener bisa menyudahi tantangan loncat dari karakter Mayor seorang pria yang kejam, sadis, beringas, dan brengsek di pementasan Balada Sakit Jiwa menjadi karakter Vito seorang pria lemah lembut, sensitif, kemayu, dan "bencong". Sukses atau tidaknya, tinggal nunggu tanggepan dan komentar penonton.

Buat para penonton Waktunya Lelaki, terimakasih banyak! Sampai jumpa di pementasan Teater Agora berikutnya!

Foto oleh Komunitas Pagi Buta UI
Foto oleh Fersacalia Liyong

Foto oleh Fersacalia Liyong

*Cheers*

Tuesday, May 14, 2013

Senen! Part 1

Bukan. Ini bukan tulisan tentang nama-nama hari atau kegiatan gue hari ini. Tulisan ini adalah review sedikit tentang sebuah tempat bernama Senen! Ya! Senen. Sebuah tempat yang panas dan lembab, dimana dipenuhi oleh asap knalpot penuh timbal dan keringat busuk para pelancong yang memburu harta karun bernama bebajuan, khususnya Pasar Senen! Oke deh. Seharusnya ini gue langsung ceritain saat gue waktu itu berkunjung ke Pasar Senen untuk pertama kalinya (8 Mei 2013). Tapi berhubung gue pas balik dari senen langsung latihan teater lagi dan baliknya nginep di rumah mbek, jadinya gue ga sempet nulis-nulis lagi. Hehehe.

Oke. Oke. Kembali ke wacana: PASAR SENEN.
Tur pasar senen ini sebenernya diinisiasi oleh Yoga (kayaknya masih jadi) mahasiswa Prancis UI 2009, yang biasa jualan baju-baju dan celana keliling di Kantin Sastra. Malam itu doi bbm gue ngajak ke Pasar Senen besok paginya. Karena gue emang udah penasaran banget sama yang namanya Pasar Senen dan udah ngebet banget pengen kesana maka langsung gue iyakan lah ajakan itu dengan penuh semangat! Gue berinisiatif agar kita ke Senen lewat jalur kereta aja karena lebih efektif dan efisien. Yoga pun mengiyakan karena yang paling feasible pun kalo berangkat dari Depok ya jalur kereta. Karena Yoga berangkat dari Depok dan gue dari Bekasi, maka akhir percakapan bbm itu akhirnya memutuskan kami akan bertemu di stasiun Manggarai, salah satu stasiun kereta transit yang dilewati oleh dua jalur berbeda tersebut.

Oke. Paginya, saking kesemangatannya gue mau ke Senen, gue bangun sangat pagi. Jam 09.00 WIB. *Sebenernya cukup siang buat orang yang kantoran gitu* *tapi berhubung gue kerja pas weekend, weekdays ya adalah hari libur gue* *BEBAAAS* *hahaha* Kami janjian ketemu di Stasiun Manggarai tepat pada pukul 12.00 WIB. Karena prepare takutnya gue baru bangun jam 11an gitu. Nah, pagi itu gue langsung mandi dan langsung cakep+wangi. Lalu gue pake outfit seadanya aja, kemeja merah a la Senen dan celana pendek karena gue emang yakin banget kalo lu pake baju cukup rapih pasti itu pedagang pada jual mahal. Oke setelan udah cakep deh buat kawasan Senen, tinggal jalan aja. Gue prepare buat jalan itu jam 11, jadi ada waktu sejam buat sampe ke Manggarai kalo naik dari Stasiun Bekasi. Nah sembari nunggu jam 11, gue makan dan bbm Yoga buat nanya keseriusannya lagi. TAPI OH TAPI.. Gue bbm Yoga tapi dibales tanda silang, tanda paketnya abis. Fakmen! Gue terus menerus dengan gigih bbm Yoga, berkali-kali... Tapi tetep dibales tanda silang. Hampir jam sebelas, gue gatau cara ngehubungin Yoga. Gue mau nanya ke Adan, gue bbm juga dibales tanda silang! gue whatsapp Adan cuma ceklis sekali. Gue sms, ga dibales. Jadi, siapa lagi yang harus gue tanya...

Ada kali selama 10 menit gue mikir siapa lagi orang yang tepat buat ditanyain gimana cara ngehubungin Yoga. Dalam waktu 10 menit itu, 9 menitnya sih jujur aja gue terbuai sama kasus Arya Wiguna vs Eyang Syubur di tv, kayanya seru aja gitu ga ada abish-abishnyah. Sisanya, gue bbm Acidel dan akhirnya dapet nomornya Yoga! Alhamdulillah. Akhirnya gue sms dia dan dia bales kalo tur Senennya jadi. Dan akhirnya kita mengundur jadwal pertemuan kita di Manggarai jadi jam 1 siang.

***

Oke, perjalanan dari Bekasi gue mulai dengan naik angkot dari rumah menuju stasiun. Awal perjalanan ini belom ada yang salah sih, kecuali supir angkot yang ga ngembaliin duit serebu buat kembalian. Huft. Yaudahlah gapapa. Sampe di stasiun, gue langsung menuju loket kereta dan dengan pede-nya ngeluarin duit 5000 dan bilang naik kereta Commuter Line menuju Manggarai. Lalu dalam beberapa detik dengan heran petugas loketnya ngeliatin gue dan selembar duit goceng gue. Gue ga ngerasa salah sampe akhirnya si mas penjaga loket bilang kalo harga tiketnya 8500. *Oke mas, maap*

Terus mas penjaga loket bilang, kalo kereta yang gue naikin bentar lagi jalan terus suruh gue buru-buru. Dan bener aja, ketika gue liat, itu yang jaga peron udah niup-niup peluit. Padahal dia penjaga peron bukan wasit. Gue langsung lari, ngejer kereta. Meeeen! Bagian paling epik adalah gue masuk kereta bak jagoan-jagoan film Hollywood. Jadi gini. Gue kala itu langsung lari buru-buru menuju kereta yang udah mau jalan itu. Ketika itu pintu kereta mau nutup, gue langsung loncat dan masuk ke dalam gerbong. Seketika itu, dibelakang gue pintu kereta langsung nutup. Hap! Hosh hosh hosh. *efek loncat terus capek* Tapi setelah gue loncat itu pada banyak yang ngeliatin gue, gue mandang mereka juga agak aneh kan ya. Tapi gue yakin outfit gue ga ada yang salah. Gue mencoba untuk nyari tempat duduk di gerbong itu, dan mata-mata itu terus ngikutin. Setelah gue liat sekeliling, ternyata mata-mata itu mata-mata perempuan semua. DAN GUE ADA DI GERBONG KHUSUS WANITA. Fakmeeeen! Hahahaha.

Antara malu dan Pd, 11-12 banget sih. 11nya PD, 12nya Malu. Jadi tetep Tengsin aja sih. Hahaha. Yaudah akhirnya gue jalan menuju gerbong yang ga khusus wanita. Gue dapet tempat duduk yang enak banget, deket kipas angin dan dibawah AC. Yeeeemmm. Sampe sini udah ga ada salah kecuali pas liat duit kembalian mas-mas loket kereta yang sedari tadi gue pegang, ternyata gue cuma dikembaliin serebu. Yaudahlah ya gapapa.

Karena gue lupa banget ya dengan stasiun-stasiun dari Bekasi menuju Kota, gue random tuh nyatet-nyatetin semua stasiun yang gue lewatin. Bangga banget kalo nanti gue ditanya "abis stasiun ini, stasiun apa?" trus bisa jawab. TAPI, ternyata di atas pintu Commuter Line itu ada peta tiap stasiun... JADI BUAT APA GUE NYATETIN NAMA STASIUN TIAP ITU KERETA BERENTI, ya??? Huft.

***

Oke. Gue udah sampe Manggarai. Pintu kereta terbuka dan gue langsung keluar. Gue sempet smsan sama Yoga dan dia bilang dia udah sampe Manggarai duluan dan nunggu di Smoking Room. Oke, setelah gue turun kereta, gue langsung ketemu Yoga. Terus karena sekelebatan liat peta-peta stasiun di atas pintu keluar Commuter Line itu, gue bilang ke Yoga dengan yakin kalo kereta ini bisa langsung ke Senen! Terus kami langsung buru-buru naik kereta, dan persis sama adegannya. Saat kami masuk kereta, kami sempat liat lagi peta stasiun-stasiun yang ada di atas pintu Commuter Line itu....DAN TERNYATA... Dari Manggarai, kereta ini ga ke Senen. Saat kami sadar kami salah kereta, pintu kereta tertutup. Gue mandang Yoga dengan penuh penyesalan kaya anak sekolah kegep ngerokok sama orangtuanya. Padahal tadi gue yakin banget yakin kalo kereta kita bisa langsung ke Senen.... gataunya kita menuju CIKINI.... Fakmeeen!

***

(Bersambung)

Saturday, May 11, 2013

Ehm.

"aklgjf;IQBG. GSFKLJASGFJKB piubgaf98136y5[03891y5[0*()tyw*(&#^_%"

Bentar lagi pementasan dan masih kayak begini aja. Ibaratnya badan nih ya, belom pada nyambung satu sama lain. Gimana mau jalan, ya ga? Huft. Nah itu tadi yang diatas, isi sebagian kepala gue sih mikirin pementasan. Hahaha. Udahlah, gua coba semaksimal gua aja. Semoga bagus nanti tanggal 15 Mei. Pada nonton ya! Jam 4 Sore, di Auditorium Gedung IX FIB UI, Depok. :D

*Cheers*

Sunday, May 5, 2013

Cih!

Halo adik junior banci. Lu gausah belaga baik lah didepan gua. Sodara gua juga bukan luh. Bantuin teater gua juga kagak, malah ngomong-ngomongin gua dibelakang luh. Sini sih, kalo lu mau ngomongin gua sini.. Didepan gua langsung. Pengen denger deh gua langsung.. Jangan kicep gitu laah kalo ada gua. Masa lu udah banyak omong gitu dibelakang gua, didepan gua malah nunduk-nunduk sih.. ilaaah.. katanya cowok..

Duh ini harusnya lu seneng banget ya, gua sampe ngasih waktu buat nulis perkara elu doang. Cih! Muka lu sama selokan hampir sama sih. Mesti cepet-cepet basuh air wudhu nih gua abis nulis beginian. Najis soalnya.

Yaudahlah. Sekian dulu adik junior banci.
Jangan lupa bedak, lipstick sama pom-pomnya dipake. Biar cantik.

*Cheers*

Saturday, May 4, 2013

PayungTeduh di Hopla

Alhamdulillah banget, selama (hampir) gue tujuh tahun menimba ilmu baik formal dan non-formal di kampus UI, gue banyak banget dapet ilmu dan relationship. Persetan lah ya dengan pikiran sempit tentang relationship yang berhubungan dengan lapangan pekerjaan. Bagi gue, harusnya relationship dipandang lebih daripada itu. Kualitasnya coy.

Selama itu juga, gue kenal dan tahu sebuah band yang lahir dari rahim FIB UI. Payung Teduh. Sebuah band yang tadinya cuma berisi musisi-musisi pengisi musik teater Pagupon. Lama-lama mereka yang memusikalisasi puisi-puisi untuk Teater Pagupon makin lama makin tenar dengan cara ngamen gerilyanya. Sebuah usaha yang patut diapresiasi. Gue inget dulu Payung Teduh masih berdua doang, Is dan Comi dibantu Gita. Waktu itu gue masih maba. Liat mereka rutin ngamen di kancut lama.

Semalem, gue nonton mereka lagi. Banyak temen-temen yang dateng. Suasananya juga gila.
Some chit-chat with Wano brings back a lot of memories. Is tadi nyanyi macem jadi backsound kita ngobrol aja. Ada dua lagu Payung Teduh yang bikin gue Bregg pas gue nonton tadi.

"Kucari kamu.. kutemui.. kau tiadaa... | Kucari kamu.. kutemui.. kau berubaaah.."
Bregg. Seketika gue galau. Bukan.. Bukan karena mikirin seseorang. Justru perasaan itu berkecamuk ketika gue bilang ke Wano dan Yoel, "ini lagu, dari gue buat Tesas". Dan seketika itu juga semacam slide-slide memori bermunculan tentang masa-masa gue dulu di Teater Sastra. Ya.. pas latihan alam, latihan Macbeth, thanksgiving HIV, thanksgiving Macbeth, dan lalalili yang lainnya...

Sekarang bahkan gue masih galau dengan seseuatu yang pernah gue anggep jadi rumah kedua gue. Semuanya begitu berubah. Kita semua emang harus berubah. Tapi kenapa ketika perubahan itu adalah keniscayaan, beberapa orang menganggap perubahan itu adalah sesuatu yang belum saatnya yang justru malah menggerogoti rumah itu sendiri. Rumah kalo udah ketuaan, perlu dipugar dikit-dikit kali.. Yap. Gue cape kaya begitu.

Lagu kedua Payung Teduh yang bikin Bregg adalah lagu "Sisa-Sisa Keikhlasan Yang Tak Diikhlaskan". Ergh. Kenapa haq? Jadi begini... Ergggh.... Gabisa jelasinnyah... Ergghh.. Pokoknya... Erghh.. Pusing. Gue ngantuk. Udahan ah. Bye.

*Cheers*

Hopla Epistemologis. FAK. HAHA

Karena Hopla (Hopla 3: Dedicated to Mas Dekun), lagi-lagi gue mikirin sesuatu yang ga bakalan mikirin gue. Sekangen itu gue sama suasana yang dibangun pas acara Hopla tadi di Kantin Kerucut FIB UI. Sebuah acara musik, ga perlu mewah-mewah, cukup sederhana dengan hiasan-hiasan cantik lampu-lampu yang di kerjain sendiri tapi efektif bikin lu ngeblend dengan suasana kebersamaannya. Banyak yang dateng diacara Hopla tadi udah menjadikan acara musik tadi kaya acara tali kasih. Kerinduan akan kebersamaan dengan muka-muka lama itu muncul lagi. Ketemu ini sapa-peluk, ketemu itu sapa-peluk. Sesuatu yang bahkan jarang gue temuin di angkatan 2010 kebawah: substansi kebersamaan, dan sapa-nya tentunya. Kenapa kita bisa sedrastis itu ya perubahannya?

Biasanya nih, anak2 FIB sekarang yg cupu2 gitu gapernah nongkrong dikansas lebih dari jam st.8 malem. Baru malem ini rame lagi kansas. Salut. Padahal dulu, nongkrong sampe malem sambil gegitaran itu hal normal. Acara kaya hopla gitu normal bgt dulu. Sekarang asing. Seasing-asingnya. Zaman berubah. Teknologi berubah. Rektor berubah. Kebijakan berubah. Pergaulan berubah. Gue berubah. Lu berubah. Kita Power Rangers semua.
Entah hal itu kepikiran. Anjir. Ngapain sih gue mikirin beginian...
Intinya, gue sekangen itu dengan acara-acara yang bisa bikin kita ngumpul bareng. Sesuatu yang bisa bikin lo kenal sama junior dan senior yang bahkan 7 tahun diatas lu dan lu bisa sharing-sharing segala hal. Sesuatu yang bisa bikin lo ngerasa seneng bisa punya rasa kebersamaan, kekerabatan dan kekeluargaan. Hal yang barangkali ilang di angkatan 2010 kebawah. Wong, temen angkatan sendiri aja banyak yang ga kenal. Alesannya selalu klasik, "angkatan gue kan ada 1000 lebih..". Bahkan gue yakin, orang-orang yang ngomong kaya gitu bahkan 200 temen pun ga ada yang dia kenal. Sekedar tau, mungkin iya.

Gue rasa, kampus gue tercinta udah dimasuki generasi-generasi 2000an yang individualis. Yap. Barangkali bagi mereka pertemuan, bukan sesuatu yang lumrah. Pertemuan adalah sesuatu yang asing. Karena prinsip-prinsip urusan saya adalah milik saya dan urusan kamu bukan milik saya. Mereka memiliki kecenderungan anti-sosial dan lebih baik mengasingkan diri dalam dunia maya. Kasihan. Kalaupun ada pertemuan, bagi mereka substansi pertemuan adalah perkara kuantitas bukan kualitas. Lalu setelah teori itu, kita lihat saja gimana cetakan mahasiswa-mahasiswa sekarang... Mentalnya tempe, sedikit-dikit ngeluh, ketemu malem takut, gelep sedikit takut, angkat air seember ngeluh, cape sedikit istirahat, ketemu dikit gosip, baca buku sedikit ketiduran, dengerin orang ngomong dikit udah males, ketemu senior ga ada permisi-permisinyah, anti-kritik, bla-bla-bla... Bahkan yang paling parah sih ya mahasiswa-mahasiswa sekarang terlalu cuek dan kehilangan rasa ramahnya. Ga heran deh lu liat mahasiswa sekarang tangannya lembek-lembek kaya daging sapi Wagyu. Fiks. *gue lagi jahat, ngejudge* *bodo amat*

Yaudahlah. Gitu aja. Yang jelas, Hopla mengobati rindu gue banget akan substansi pertemuan yang sesungguhnya: Kualitas melebihi kuantitas.

*Cheers*