Friday, May 17, 2013

Vito-Vanny #PartTerakhir: "Being Vito"

 Sebelumnya lu udah pada tau belom kalo gue main di Waktunya Lelaki yang dipentasin Teater Agora, Rabu (15/5) kemaren?? Kalo belom tau, lu payah bangeeet! Kan udah gue kasih tau berkali-kali di postingan gue sebelum-sebelumnyah. Hahaha. Yaudahlah, your loss.



Nah tulisan kali ini gue mau sedikit buka rahasia tentang proses kreatif pembangunan karakter-karakter yang gue mainin di Teater Agora ini.

Balada Sakit Jiwa (15 Mei 2012)
Pementasan Waktunya Lelaki ini tepat setahun setelah pementasan pertama Teater Agora (Balada Sakit Jiwa, 15 Mei 2012). Di BSJ gue berperan sebagai Mayor Alexander Roy, seorang purnawirawan yang memiliki kecanduan akan perilaku seks diluar kebiasaan dan memiliki sifat-sifat yang kejam dalam membina orang-orang di sebuah Asylum eksperimental untuk orang-orang yang dianggap gila oleh masyarakatnya. Karakter Mayor, gue buat berdasarkan asumsi tanpa observasi. Asumsi-asumsi itu dibuat dari sebuah pembacaan singkat tentang mental-mental seorang yang memiliki kecenderungan haus kekuasaan. Gue membuat semacam latar belakang Mayor, yang bener-bener gue tulis di sebuah kertas, tentang bagaimana latar belakang keluarganya, karir, ekonomi, lingkungan sosial, cara bergaul, cara merokok, cara berbicara, gaya berbicara, gaya menggunakan mimik, gesture kepala, cara duduk, cara jalan, dan berbagai macam hal-hal detail lainnya yang dibangun untuk memperkuat ketokohan Mayor. Proses ini pun dibantu dengan keleluasaan yang Sutradara berikan untuk menciptakan sendiri tokoh-tokoh dan menghidupkannya. Maklum, gue dan Mbek lahir dari rahim yang sama: Teater Sastra dan empunya Mas Yudhi Soenarto selalu menitikberatkan proses kreatif dan imajinasi aktor sendiri dalam mendekatkan dirinya dengan karakter (Stanislavski's System).

Pada saat itu, gue memiliki kuasa penuh untuk menguasai panggung dan cerita, karena disana sosok Mayor adalah sosok sentral yang baru dihadirkan belakangan (termasuk sosok Wenda yang juga hadir belakangan). Karena kekuasaan menguasai panggung itulah, gue suka mengeksplorasi tiap jengkal panggung dan mencoba agar tidak berjarak dengan semuanya: penonton, panggung, dan properti. Namun, karena lemahnya observasi yang gue lakukan, menurut gue karakter Mayor yang kejam dan beringas cuma gue tampilkan lewat sisi luarnya saja. Lewat amukan, gerakan dan mimik/gesture tapi gue keteteran sendiri saat harus improvisasi disana-sini saat gue lupa dialog atau ketuker-tuker dialognya. Karena itu, kedalaman emosi Mayor dalam mengungkapkan dialog bagi gue sendiri masih belom terlalu maksimal gue lakukan.

Gue adalah orang yang selalu mencintai sebuah kata-kata khas semacam "Yippi-kai-yeey"nya Bruce Willis di Die Hard. "I'll be Back"nya Arnold di Terminator, dsb. Di pementasan sebelumnya, saat gue jadi Mayor, gue mencoba untuk menciptakan kata-kata itu: "Ngehe!", "Tai Kukus!", dsb. Selain itu gue mencoba melekatkan sebuah barang agar menjadi khas "Mayor banget" seperti tongkat, kacamata hitam dan arloji. Walaupun ga begitu ngena, tapi kata-kata dan aksesoris ini cukup representatif dengan karakter Mayor yang dingin tapi kasar, tenang tapi cukup ambisius.

Waktunya Lelaki (15 Mei 2013)
Proses kreatif gue dalam membangun karakter di Waktunya Lelaki cukup sedikit berbeda dengan proses di Balada Sakit Jiwa. Saat Mbek memutuskan cast Vito di Waktunya Lelaki buat gue, gue dengan cepat mengobsevasi beberapa tipe pria-pria yang memiliki kecenderungan "halus", "kemayu", "sensitif". Beberapa target sempet gue observasi dengan cara memperhatikan perilakunya. Mulai dari cara duduk, cara memainkan rambut, cara senyum, cara membaca buku, cara berdiri, dan perilaku-perilaku lainnya. Gue ga berangkat dari asumsi, karena memperhatikan tipe-tipe pria kaya Vito sangat gampang banget ditemui di lingkungan kampus gue. Terlebih lagi, gue juga sempet bermain di pementasan Sketsa Robot dari Teater Sastra dan berperan sebagai seorang transgender. Disana, gue ga terlalu banyak dialog sehingga gue ga terlalu mengkesplor dan observasi terlalu jauh walaupun ada beberapa referensi yang gue pake menjadi karakter Vito. Lalu gue mulai buat karakter Vito dengan beberapa perbedaan. Betuk rambut yang gue biarin ngebob sendiri, tai lalet diatas bibir kanan, fashion Vito yang tampak "laki" dan sebagainya.

Secara ektrinsik dan intrinsik gue mulai membangun karakter Vito. Dalam berbagai sesi latihan gue mencoba untuk menggunakan berbagai karakter, sehingga gue memutuskan untuk mematenkan karakter Vito pada dua minggu sebelum hari pementasan. Setelah mematenkan itu, gue mulai untuk disiplin menjaga karakter, terbiasa dan konsisten dengan perilaku dan emosi Vito. Semua rencana itu gue tulis, gue catet dan gue terus coba dalam tiap sesi latihan. Setelah itu, gue dengerin beberapa koreksi dan evaluasi dari yang menonton. Terlepas dari suka atau ketidaksukaan penonton dengan pilihan gue menjatuhkan pilihan untuk memainkan dan menginterpretasikan Vito seperti apa yang gue tampilkan di atas panggung, itu bukan lagi jadi urusan gue. Haha. Biar penonton yang ngereview sendiri dan menganalisis kenapa Vito dimunculkan seperti itu.

Pada pementasan kali ini, gue diberikan sebuah ruangan milik gue sendiri dan harus bermain dalam ruangan yang itu saja. Plot gue termasuk salah satu plot pembawa keceriaan yang harus membangkitkan lagi emosi penonton setelah disuguhkan plot Eva-Ernest yang cukup bikin emosi ngedown. Bagi gue, itu tantangan berat banget: menaikkan emosi tanpa harus terburu-buru berurusan dengan tempo permainan. Serius, gue capek banget sebenernya sedetik sebelum mentas karena kurang istirahat dan kurang bobo. Tapi saat gue melangkah menuju panggung dari sayap panggung, di detik berikutnya gue sudah harus profesional, maksimal dan total. Gue harus membayar semua keikhlasan diri gue memainkan Vito serta semua hasil pengamatan gue tersebut. Maka, Voila! Kalo kata orang itu "keajaiban panggung", beberapa orang bilang "ngebanci panggung", kalo Mbek bilang "colongan" tapi gue bener-bener ga ngerasain lagi apa itu yang namanya capek karena gue udah in to the character. Gue udah dirasuki Vito dalam setengah jam dan gue gak dalam posisi mengelak dari semua itu. Gue harus merelakan tiap gerak tubuh gue dipinjam dan "ditelanjangi" Vito.

Dalam periode hampir setengah jam itu, gue harus terus menerus disiplin dan konsisten dengan semua rencana gue selama latihan. Cara duduk, ngomong, emosi, dan karena tugas scene ini adalah menaikkan emosi penonton lagi, gue berusaha untuk berjudi dengan melakukan improvisasi. Bukan. Bukan ngarang cerita. Tapi dengan ngebuat semacam kata-kata khas dan silent act yang khas. Maka lahirlah "Yup Yup!", "O ow", "Laillaha illalahu", "Kenapa kamu diem? Kebelet eek?", adegan gue nonjok boneka, dan segala sesuatu yang bener-bener baru lahir pas di atas panggung tanpa persiapan, tanpa latihan. Gue bener-bener ngerelain dan mengikhlaskan diri gue selama setengah jam "dipinjem" Vito. Untungnya, perjudian gue berjalan lancar sehingga semua yang lahir di panggung tampak lucu apa adanya dan bukan sesuatu yang gue buat-buat untuk ngelucu. Prinsipnya, gue ga berusaha untuk menjadi Vito tapi gue berkenalan dengan Vito dan membiarkannya bermain di dalem tubuh gue.

Gue pun turut terbantu dengan akting lawan main gue, Anisa Fajrina Djuanda (Ena, Sastra Inggris 2011) yang malem itu mentas dengan all-out. Gue yakin dia juga ngerasain keajaiban panggung karena gue bener-bener merinding sendiri pas dia marah dalam keadaan puncak dan teriak ke Vito saat dia bilang udah muak dengan segala cerita tentang cinta sejati bla-bla-bla. Gue, secara pribadi selalu mengkritik permainan Ena selama latihan supaya dia bisa terus mengeksplor dirinya dan aktingnya. Emosi dia ga pernah sampe puncak. Dia ga pernah bisa ngimbangin emosi gue, dan selalu minta gue untuk nurunin emosi gue. Tapi gue selalu bilang kalo dia bisa lebih dan lebih lagi, walau mungkin dengan cara yang kasar dan jahat. Maka dari itu gue dan dia selalu evaluasi permainan kita setelah abis latihan dan ditutup biasanya dengan curhat. Tujuannya? Ngebantu banget sih buat bangun chemistry dan kedekatan hubungan antar karakter Vito dan Vanny, selain untuk mengetahui latar belakang masing-masing supaya apa yang nanti ditampilkan bener-bener natural. Hasilnya? Dia tampil luar biasa. Gue yakin penonton juga kebawa emosi dan terwakilkan banget dengan segala kemuakan Vanny. Gue yakin penonton juga paham kondisi Vanny dan ikut kesel juga. Di satu sisi itu rencana awal gue: Membiarkan penonton membenci Vanny sebagai sosok yang "jahat" namun juga memakluminya sebagai pilihan yang "logis dan memang sudah sepantasnya". Ena benar-benar bisa menterjemahkan itu dengan porsi yang sangat pas. Ga kekurangan. You did a great job, Anisyakh!


***

Di postingan gue sebelumnya (nih disini nih!) gue nulis tentang kekhawatiran gue tentang kegagalan pementasan ini. Kekhawatiran itu, gue jelasin disini lahir entah dari kemungkinan setting panggung yang belum siap, tim musik yang masih belom ngangkat mood pemain, atau dari gue sendiri sebagai pemain yang belom fokus ke pementasan dan ngerasa belom siap tampil terkait dengan proses-proses dan konflik internal yang melanda. Tapi gue mencoba untuk tampil maksimal dan total, setidaknya buat diri gue sendiri. Buat apa yang udah gue korbanin, baik waktu, duit, tenaga, pikiran dan mental psikologis. Nyatanya, saat dipanggung gue liat setting panggung yang udah keren banget walau dikerjain dengan ngebut, terus tim musik yang... ya walaupun masih ga blend in tetep harus diapresiasi, membuat gue dapet "Kratingdaeng" tambahan di atas panggung.

Semua kekhawatiran itu nyatanya jadi mood booster. Jadi letupan semangat bertenaga. Jadi keajaiban-keajaiban yang klimaks. Senengnya, apa yang gue dan Ena hadirkan di atas panggung, emosi yang kita suguhkan mampu mencampur adukkan emosi-emosi penonton. Itu yang bisa gue sendiri lihat dan denger dari tawa penonton, renyuhan penonton, dan yang paling luar biasa adalah tepuk tangan meriah penonton ketika adegan Vito-Vanny berakhir.

Disini gue bener-bener bisa menyudahi tantangan loncat dari karakter Mayor seorang pria yang kejam, sadis, beringas, dan brengsek di pementasan Balada Sakit Jiwa menjadi karakter Vito seorang pria lemah lembut, sensitif, kemayu, dan "bencong". Sukses atau tidaknya, tinggal nunggu tanggepan dan komentar penonton.

Buat para penonton Waktunya Lelaki, terimakasih banyak! Sampai jumpa di pementasan Teater Agora berikutnya!

Foto oleh Komunitas Pagi Buta UI
Foto oleh Fersacalia Liyong

Foto oleh Fersacalia Liyong

*Cheers*

No comments:

Post a Comment

Kalo mau komen pake bahasa yang santun dan sopan ya saudara-saudari!