Friday, May 24, 2013

Abis Nonton Pementasan Rajam (English Art Lab)

Pendahuluan
Rajam (23/5) merupakan drama yang bercerita tentang Dara dan Safia. Keduanya merupakan korban pemerkosaan walau dengan latar belakang yang berbeda. Keduanya, ingin mengungkapkan pandangan masyarakat tentang "mitos" ketubuhan perempuan. Persepsi-persepsi yang akhirnya mengakar dalam pandangan masyarakat, menjadi hukum yang menjelma secara sepihak. Persepsi-persepsi yang menjelma 'rajam' bagi korban. 'Rajam' yang lebih panas dari dera cambuk dan lebih keras dari lemparan batu.




Gue duduk paling depan, jaga-jaga kalo vokal pemain ga kedengeran banget karena membludaknya penonton. Gue duduk deket sama tukang musik. Sekedar info aja, Ini auditorium rame banget! Super rame. Penonton membludak. Panitia dan LO dalam beberapa menit masih sibuk untuk mengatur duduk penonton sambil mungkin menunggu beberapa undangan yang belum datang datang.

Sambil menunggu selesainya persiapan panitia, gue mau sedikit mengulas settingan panggung. Setting panggung dibagi tiga: Setting warung di sebelah kiri, setting ruang tidur di tengah belakang, ada sebuah level kotak panjang di tengah depan dan ruang keluarga di kanan.

16.32 WIB
Pertunjukan Rajam yg disutradai Herlin Putri dan Rahadian Adetya yg menurut sutradara dipentaskan untuk mengangkat isu-isu keperempuanan khusunya kasus perkosaan dan sepuluh persen tiketnya disumbangkan untuk korban perkosaan ini, siap dimulai.

Pertunjukan dibuka dengan setting warung yang berisi Geng AADC. Diisi dengan pembicaraan-pembicaraan tentang peraturan-peraturan diskriminatif yang dihadirkan oleh sekolah dan berlanjut ketika Dara bertanya pada Nadia tentang pengalamannya pertama kali bersetebuh dan membicarakan tentang sobekan selaput dara. Sebuah pembicaraan anak-anak Sekolah Menengah yang memang sangat umum sekali di jaman ini. Rasa penasaran dan keingintahuan yang hanya bisa didapatkan melalui pengalaman karena mungkin bagi gue hal tersebut masih merupakan ketabuan yang belum boleh diangkat kepermukaan, tidak boleh diperdengarkan. Bahkan keluarga dan sekolah sebagai tempat yang seharusnya memberikan pengetahuan akan ketubuhan ini semenjak dini terus menerus merepresi dengan bahasa-bahasa yang mengaburkan. Ini bisa terlihat ketika ada seorang tokoh yang selalu merespon dengan tidak biasa ketika kata-kata seperti "selaput dara". Adegan pembuka ini, menurut gue sukses dibawakan dengan apik.

Adegan lalu beralih ke monolog Safia. Safia adalah sosok yang bercerita. Bercerita tentang latar belakang keluarganya. Tentang ibunya yang meninggal dan mulut-mulut ibu-ibu tetangga yang masih saja membicarakan tentang "kenistaan" ibunya.  Disini Tiyul mencoba bermonolog dengan baik. Memainkan monolog, menurut gue sangat susah. (Kali ini gue ga somay coy.. Gue bisa bilang begitu karena gue pernah mainin monolog juga). Usaha Tiyul emang patut diacungi jempol di adegan Safia pembuka ini. Banyak perpindahan ekspresi dan perpindahan tokoh masih kurang smooth. Ada part yang harusnya bisa bikin merinding kalo saja Safia bener-bener nangis di bagian ketika Safia kehilangan "tangan" ibu dan merasa kasihan ketika melihat ayahnya untuk pertama kalinya menangis (saat kehilangan istrinya).

Adegan Rumah Dara:
Bukan. Ini bukan adegan bunuh-bunuhan oleh oknum jual-beli organ tubuh kaya film Rumah Dara. Ini adalah adegan dimana Dara, seorang siswi sekolah yang ada di geng AADC itu ternyata hamil. Bapak, seperti umumnya cerita kebanyakan, marah-marah dan menyalahkan pihak-pihak perempuan di keluarganya: Ia menyalahkan anaknya yang ga berpikir sebelum melakukan seks bebas dan ia menyalahkan istrinya yang ga bisa mengendalikan kontrol atas rumah. Sementara ia, sebagai kepala keluarga menganggap ia bekerja untuk mengisi segala kebutuhan atas rumah, sehingga kewajibannya hanya mencari uang bukan mengurus anak.

Di adegan ini geraman si bapak tidak terlihat dikepalan tangannya. Kepalan tangannya tidak bergetar seperti layaknya seorang bapak yang benar-benar murka, bukan lagi marah, karena menanggung malu karena anaknya hamil di luar nikah. Si Bapak kuat dengan suaranya yang terjaga, namun hal tersebut yang tidak bisa diimbangi oleh si Ibu dan si Anak. Di Adegan ini suara ibu beberapa kali tertutup oleh lenguhan yang justru membuat dialognya tidak terdengar jelas. Oh, dan satu catatan di adegan ini: Wardrobe Malfunction. Tim kostum seharusnya bisa memperhatikan lagi penggunaan kostum tokoh, karena kesalahan-kesalahan kecil seperti baju yang menyingkap bisa jadi distraksi pada penonton. Tapi keseluruhan adegan cukup menarik.

Adegan Safia part II:
Disini karakter Safia kedodoran, terlihat ucapannya keluar karena usahanya mengingat-ingat dialog. Di part ini masih ada adegan-adegan yang nanggung dan terlalu panjang bertele-tele. Tapi gue bener-bener bisa memahami apa yang dimainkan Tiyul bukan sesuatu yang mudah. Bagaimana dia harus mengingat sambil memainkan gerakan dan karakter-karakter berbeda menjadi satu. Butuh keluwesan dan porsi latihan berbulan-bulan untuk bisa menghasilkan sebuah monolog yang bagus. Gue apresiasi betul usaha Tiyul bermonolog ini, semoga ini bukan yang terakhir aja.

Adegan AADC part II:
Adegan ini berisi oleh geng AADC yang menyadari berita kehamilan Dara. Salah satu karakter menyalahkan pengaruh buruk yang dibawa oleh Nadia dan perempuan-bermulut-sumur itu. Tidak mau disalahkan, Nadia malah menyalahkan Robby, pacar Dara yang menjadi biang keladi semuanya. Kenapa Dara yang menjadi korban justru dinonaktifkan sebagai siswa di sekolah, sementara pelaku masih bebas berkeliaran. Masuknya tokoh Robby justru mengungkap sebuah rahasia, bahwa selama ini si perempuan-bermulut-sumur ternyata berkomplot dengan Robby dan membuat semacam taruhan.

Di adegan ini blocking pemain kacau balau. Pemain belum terlalu sadar blocking dan lighting sehingga mereka hanya berkumpul dan menjadi rusuh di panggung. Sama sekali tidak enak ditonton. Tampak dalam adegan ini, pemain masih belum terlalu di tata untuk menyadari "blocking "dan pengaturan pergerakan pemain juga masih terlalu bebas dan liar. Teriakan-teriakan yang timpa-timpaan a la anak SMA juga beberapa kali mengganggu. Sebetulnya teriakan-teriakan pas berantem itu menguatkan adegan ini, tapi berhubung gue ga terlalu suka sama berantem-berantem mulut gitu jadinya bagi gue mengganggu hehehe.

Ada beberapa hal yang menjadi gangguan adalah kebocoran-kebocoran lampu. Pada tiap perpindahan adegan, lampu terlalu cepat menyala, sehingga ketika Safia belum selesai duduk, adegan Dara-Orangtua sudah mulai. Sama ketika adegan Dara belum selesai sampai di tempat tidur, adegan Safia udah dimulai. Lalu ketika adegan Dara dan Safia sudah berdiri di depan dan bermonolog, lampu di bagian rumah nyala sehingga mendistraksi penonton. Menurut gue, setting kamar tidur Dara juga terlalu boros. Setting itu, tidak dipergunakan sama-sekali kecuali kasur (sebagai tempat Dara duduk) dan vas bunga (sebagai alat Dara). Dengan adegan yang hanya seperti itu (Monolog Dara), setting kamar sama sekali tidak diperlukan. Monolog Dara sebenarnya bisa dimulai di sofa rumahnya, tanpa harus membuat setting baru. Menurut gue, justru lebih baik setting yang di tengah itu sebagai ruang eksplorasi Safia.

Secara keseluruhan, pementasan ini bisa saya tangkap sebagai pementasan "Perempuan yang berbicara tentang perempuan-perempuan sebagai agen patriarki". Agen-agen yg meneruskan tradisi patriarki lewat ucapan-ucapan, aturan yang harus dipatuhi dan yang masuk sebagai kekerasan simbolik. Ucapan-ucapan dan aturan-aturan tersebut terlihat seolah-olah sebagaimana naturalnya/mestinya/normalnya perempuan berlaku dan berbusana. Ucapan-ucapan yang terlihat sebagai sesuatu yang lazim dalam masyarakat. Ketika para perempuan menuruti kekerasan-kekerasan simbolik yang dihadirkan dalam budaya-budaya yang sudah kadung melekat dalam masyarakat dan tanpa ada sesuatu pun yang menahan mereka untuk meneruskannya kepada generasi-generasi setelahnya maka para pemempuan tersebut telah serta-merta menjadi salah satu agen yang menumbuhsuburkan budaya partriarki.

"Rajam" menurut gue justru menyerang perempuan-perempuan agen ini. Mereka yang dengan tanpa sadar melestarikan diskriminasi pada kaum mereka sendiri. Yang tanpa sadar justru meng-subordinatkan posisi mereka sebagai posisi kelas dua dalam masyarakat. "Rajam" adalah stigma-stigma yang dilekatkan oleh perempuan 'baik-baik' kepada perempuan 'yang-tidak-baik', ucapan-ucapan tendensius dan menghukum. Mulut-mulut jahat deh kalo bahasa anak Kansas.

Namun fondasi-fondasi yang diangkat dalam pementasan tentang korban pemerkosaan sayangnya ditutup dengan pilihan akhir cerita: bunuh diri. Menjadikan korban perkosaan, yang dicoba untuk diangkat di pementasan ini merupakan makhluk yang lemah dan tidak bisa kuat menentang diskriminasi-diskriminasi yang hadir dalam masyarakat.

Segitu dulu ulasan singkat, saya abis nonton pementasan rajam. Semoga gak keliatan sotoy aja deh dan bahasanya tetep bisa dicerna orang banyak.


*Cheers*





2 comments:

  1. Keren reviewnya ! Terimakasih sudah berpartisipasi :D

    -Tukang Musiknya

    ReplyDelete
  2. Sama-sama! Kalo bikin pementasan lagi dikabarin ya! :) *maap baru ngerti ngereply comment* Hhahaha

    ReplyDelete

Kalo mau komen pake bahasa yang santun dan sopan ya saudara-saudari!