Tuesday, May 21, 2013

Review Bulan Bujur Sangkar (Teater Pagupon)

Halo-halo!
Begini sebelumnya gue mau kasih sedikit pendahuluan. Senin ini (20/5) IKSI alias organisasi kemahasiswaannya Sastra Indonesia UI berulang tahun yang... wah udah tua banget deh pokoknya. (Biasanya kalo udah tua banget pantang nyebut umur, katanya sensitip). Nah dalam perayaan ulangtahunnya itu, mereka membuat sebuah acara bernama "Indonesia Tebar Pesona". Dalam rangkaian acaranya itu, ada penampilan sebuah geng (buseet geeeng) hahaha maksudnya ada penampilan grup teater yang berada di bawah pengetahuan IKSI. Grup tersebut bernama Teater Pagupon. Teater Pagupon merupakan salah satu Teater yang dituakan di Fakultas Ilmu Budaya UI (dulu namanya Fakultas Sastra UI), selain Teater Sastra UI tentunya, dan rutin mentas di kampus FIB UI. Dua pementasan terakhir mereka yang gue tonton yaitu Malam Jahanam (karya Motinggo Boesje) dan Mati Suri di Jakarta (kerya Rebecca Kezia). Pada Senin kali ini, mereka mementaskan pementasan berjudul Bulan Bujur Sangkar, naskah karya dari Iwan Simatupang dan disutradarai Sinyo Nantogog (Nanto).



Diambil dari @teaterpagupon

Oke, pendahuluannya kelar.
Sebelum masuk ke gedung pertunjukan, Yoga manggil gue dari arah gedung 1. Bukan. Bukan Yoga Mohamad karib gue, tapi Yoga anak Prancis yang waktu lalu pergi ke Senen bareng gue. Disitu dia lagi nongkrong sambil ngerokok nungguin para pemain lagi nyanyi-nyanyi-nyamain-frekuensi. Pementasan ngaret dari waktu seharusnya. Di poster dan berbagai media promosi, dinyatakan bahwa pementasan akan dimulai pada pukul 15.00 WIB. Tapi ternyata baru main jam 16.30 WIB.

Menjelang jam setengah lima, panitia udah manggil-manggil para pemain untuk stand by. Gue nunggu si Anas, temen angkatan gue buat kasih semangat. Sempet juga gue foto bareng sama Anas sebelum manggung. Mukanya masih acak-acakan dikasih cat Latex. Ini bukan Hoax. Nih kalo ga percaya:

Sebenernya lebih acak-acakan muka gue sih. Maap.

Setelah itu gue langsung menuju gedung pertunjukan. Dengan harga tiket yang ga mahal (Rp 20.000) gue masuk bareng Yoga. Setelah masuk auditorium gedung IX, kami pisah. Gue menuju arah kanan dan ambil tempat buat duduk di tangga belakang kanan. Posisi itu bagi gue adalah tempat paling pewe buat nonton, alesannya? Simple. Karena ada tiang/tembok yang bisa disenderin kalo ntar tiba-tiba bosen nonton. *Kok tiang, Haq?* *Iye sih berisik amat lu nyindir pundak cewek buat disenderin* *Sensitip* *maap*

Pas gue masuk, pementasan belum dimulai. Masih ada enam orang yang ada di atas panggung dan sedang lalalili ngobrol barangkali MC dan para peserta di acara sebelumnya, atau barangkali juga lagi ada acara bagi-bagi sertifikat. Di dalem, gue ketemu beberapa anak Teater Agora tapi emang sengaja ga gabung karena udah dapet tempat pewe sementara yang lainnya pada duduk di tengah kanan. Sambil nunggu acara pementasannya mulai, gue sibuk whatsapp sana-sini biar pada gabung ikut nonton. Suasana auditorium, menurut gue cukup ramai-ramai-sepi. Ga membludak kaya pementasan Teater Masa Lalu waktu itu. Indikasinya? masih ada cukup ruang di Auditorium buat penonton nonton sambil guling-gulingan. Apalagi salto. Barangkali karena di luar cuaca tiba-tiba hujan besar juga kali ya jadinya banyak orang juga pada terjebak ga bisa nonton. (Ya gapapa sih terjebak ujan daripada terjebak masa lalu).

Makin lama, makin banyak lagi penonton yang masuk. Tadinya disamping gue cuma ada tiang sama tembok. Tapi abis itu Tasi anak JIP 2009 sama Intan "Galau" PL anak Belanda 2009 nyamperin duduk bareng. Masih sempet ngerokok sebatang dulu disitu sebelum gue nemu ada tulisan "Dilarang Merokok" di Auditorium. Para pengisi musik dan penyanyi-penyanyinya Pagupon juga masih check sound,

Dan akhirnya... Pementasan akhirnya diumumkan akan segera dimulai oleh suara perempuan yang ghaib.

Jreng-jreeeng!

Gue sudahi dulu ya cakap-cakap basa-basinya. Langsung aja gue mulai reviewnya *mulai rada serius*
Oke, pementasan Teater Pagupon kali ini dilihat dari settingan panggung, cukup sederhana. Di panggung, hanya ada sebuah tiang gantungan besar di tengah disusun atas beberapa level, sementara kanan dan kirinya terdapat "batu-batu" besar yang juga disusun dari beberapa level. Sisanya, ornamen-ornamen kecil untuk menghiasi setting tiang gantungan dan batu-batuan. Di belakang, ada tiga layar panjang yang terpisah. Satu di bagian kanan, satu dibagian tengah dan sisanya di kiri. Lampu-lampu di dominasi warna merah dan kuning. Ada sembilan mic kondensor yang tergantung dan tiga mic yang berada di depan panggung. Secara visual, settingan panggung ini, walaupun cukup sederhana, benar-benar memunculkan suasana yg muram dan suram.

Jangan bicara tentang isi cerita, karena ada beberapa hal yg merusak gue untuk masuk mengevaluasi isi cerita. Teater Pagupon memang dikenal memiliki kekuatan di bagian musik dan latar suara, namun kali ini gue pikir sisi itu perlu mendapat kritik gue. Musik menabrak permainan dialog pemain, sementara vokal pemain dibawah standar. Tabrakan kerasa terjadi ketika ada musik yang berlirik menabrak dialog yang sedang diucapkan pemain. Sementara gak ada upaya kedua belah pihak untuk saling mengalah, entah volume suara musik yang dikecilkan atau volume suara pemain yang dinaikkan. Tapi dibalik setting suara musik yang terlalu besar, vokal pemain juga sangat mengkhawatirkan. Terlalu kecil untuk didengar padahal dialog-dialog dalam drama ini sarat arti dan filosofis. Sayang sekali 9 kondensor menggantung tak membantu vokal-vokal dan artikulasi hampir kebanyakan pemain. Fatal banget. Karena itu, tersiksa banget gue saat nonton plotnya Becca dan yang anak muda bawa senapan itu sambil usaha banget dengerin dialog-dialog yang dilalap sound musik.

Menurut gue, permainan baru dimulai, saat Annas mulai bermain. Terlepas dari kekariban gue dengan Anas, tapi secara objektif hanya suara vokal Annas yang mampu melebihi suara pemusik. Memang begitulah standarnya menurut gue. Segitu sangat pas dan ga boleh turun lagi. Nah, ketika masuk adegan dimana cowok yang tinggi badannya kaya Karim Abdul Jabar sama perempuan yang pake kerudung itu berdialog, gue melihat mereka berdialog tanpa rasa. Mereka ragu pada isi dialog dan kurang keyakinan, maksudnya mereka keliatan cuma asal ngomong aja gitu bukan yang ngomong sambil ngerasain arti dialognya gitu.. *masalah rasa, ya gue agak sok tau sih, tapi emang berasa aja* Nih, Bahkan tawa si Karim Abdul Jabar aja terasa hampa dan datar. Ketawa-ketawa yang ga dari dalem hati. Abis itu.. Ada perempuan yang masuk di plot Annas. Dia terlalu banyak mengayunkan tangannya dan menjadi berlebihan. Harusnya ia lebih disiplin menjaga gerak tangannya sendiri.

Dari segi keaktoran, gue bisa bilang baru Annas yang memenuhi standar keaktoran. Becca suaranya masih ketiban musik, *kesian... kan berat* Tapi gerakan-gerakan dan silent actnya udah bagus. Sisanya, masih butuh jam terbang lagi untuk main teater. Yang mesti dievaluasi banget sih ya feel in musiknya aja. Ga mesti diisi musik keseluruhan sih menurut gue. Karena ada beberapa part musik yang justru ngacaukan adegan dan ada beberapa part yang lebih baik sunyi ketimbang harus ada musik. Terus tadi gue paling keganggu sama suara biola sih. Hehehe. Di beberapa part, suara biolanya bisa bikin tersentuh. Tapi kadang suka kelebihan aja porsinya. Harmonisasi suara penyanyinya patut diacungi jempol. Bagus. Trus tadi ada Sound effect pemberian alam: Gledek pas Annas mau gantung kepalanya.

Semoga review dari gue ini bermanfaat dan semoga ga kedengeran sok tau atau sok jago ya.. Untuk pihak-pihak yang ga suka dengan isi review ini, silakan langsung ngobrol aja biar ga slek. :D

*Cheers*

2 comments:

  1. Kebanyakan secara teknis ya kak, berarti ganggu buat tau isi ceritanya dong :s

    ReplyDelete
    Replies
    1. *baru ngerti cara reply* Iya hehe. Isi cerita Bulan Bujur Sangkarnya si Iwan Simatupang sih sebenernya bagus, cuma kendala teknis aja yang bikin ganggu penonton buat nikmatin cerita.

      Delete

Kalo mau komen pake bahasa yang santun dan sopan ya saudara-saudari!