Wednesday, September 23, 2015

Serpih Bubuk Kopi

Ya, ini adalah lanjutan dari postingan sebelumnya tentang kehilangan Tumblr gua, gua mau cerita sedikit tentang blog di tumblr yang pernah 3 kali ganti nama itu. Gue bikin Tumblr, sebelum blog itu booming di Indonesia dan jadi trend di kalangan para hipster Jakarta dan sekitarnya. Gue bikin tumblr pertama kali di tahun 2009, kala itu gue juga belom terlalu akrab sama blog karena biasanya nulis di notes Facebook.

Tahun 2009 itu, gue namain Tumblr gue dengan Monsieur Monster. Monsieur artinya Tuan dan Monster artinya ya monster. Kalo digabung jadi Tuan Monster (yaiyalaaah). Kalo nama bisa jadi doa, dari tahun 2009 itu doa gue cuma satu. Walaupun doa itu gue panjatkan dengan suara tipis-tipis: Gua mau jadi orang besar karena tulisan-tulisan di blog. Yah, tapi akhirnya nama itu gue ganti sekitar tahun 2012an, karena bosen. Gue ganti jadi Dear Prudence. Dear Prudence, salah satu lagu The Beatles yang mungkin asing di telinga orang Indonesia, kecuali mereka yang bener-bener seorang penggemar The Beatles. Kenapa gue namain Dear Prudence, jadi ceritanya gue abis dideketin mbak-mbak Prudential.. Nggak. nggak. Becanda. Nama Prudence cuma karena terinspirasi lagu The Beatles aja kok. Prudence sosok yang kelam namun ambisius. Karena keambisiusannya ia jadi kelam. Begitulah. Namun yang terpenting dari nama Dear Prudence ini, mengutip lirik Dear Prudence-nya The Beatles, 'The sun is up, the sky is blue, it's beautiful, and so are you'. Iya. Kamu.
 

Tapi nama Dear Prudence juga ga bertahan lama karena setelah itu, gue lupa tepatnya kapan, gue ganti lagi dengan nama Ayn Eugini. Ayn artinya Mata dan Eugini artinya yang utama. Dalam artian ini, bukan mata sebagai panca indera yang utama melainkan blog ini gua harap sebagai tempat utama gua dalam memandang segala macam hal. Ya walaupun isinya ga penting-penting amat. Hahaha.

Sekarang blog tumblr gue udah wafat. Biarinlah. Rada sayang juga sebenernya kalo anak gue ga bisa baca tulisan bokapnya dan segala pengalaman di masa-masa hidupnya. Walaupun sekarang-sekarang ini tulisan gue itu gue anggap ga penting, siapatau nanti di jaman anak gue gede lagi jadi penting. Kan bisa aja kaya begitu.

Yaudahlah, gitu aja dulu.







*Cheers*

Cinlok

Cinlok.
Gue ga pernah paham kenapa orang bisa cinlok. Cinta lokasi. Cinta karena lokasi.

LDR.
Gue juga ga pernah paham kenapa orang bisa LDR. Long-Distance Relationship. Hubungan yang dijalanin walaupun terpaut jarak yang jauh.

 Man, come on!
Cinta lokasi bagi gue adalah mainan politik infotainment, karena gue pertama kali mendengar 'cinlok' dari Cek n Ricek di RCTI. Emm... Oke. Kali ini gue ngaku. Kalo dulu gue sering nonton Cek n Ricek. Tapi duluu! Sebelom Cek n Ricek pindah jam tayang. Lah.

Oke balik lagi, Cinlok. Apasih pentingnya lo pacaran karena lokasi. Karena lo sama-sama tinggal di Bekasi gitu, terus lo bisa jadi cinta? Atau karena lo lagi shooting bareng, terus lo bisa jadi cinta? Gue yakin cinta lokasi itu adalah upaya para infotainment untuk mendongkrak rating, menggoreng isue rumah tangga atau hubungan selebritis supaya lebih terkenal, menjual sensasi ketimbang esensi dan etcetera.

Sementara LDR.
Halooooo! Ini udah tahun 2015 dan lo masih LDR-an?
Pacaran dan ketemu via Skype?
Kalo lagi kangen ga bisa arrange meeting buat langsung cepet ketemuan?
Gila kali ya?
LDR ini adalah bentuk yang gue percaya paling bulshit dari sebuah hubungan antara lelaki dan perempuan yang pernah ada di muka bumi ini.
Coba pikir.
Nabi Adam aja dulu ga pengen jauh-jauh sama Siti Hawa, ini darimana mikirnya coba cucu-cucu Adam yang pada LDR??


Ya. Gue ga percaya dengan apa yang disebut dengan CINLOK dan LDR....


























sampai akhirnya,


























gue kali ini kena batunya.





























Sekian.
***

Saturday, September 19, 2015

Meledak

"Ingin..Meledak, Nona"
Kalau kau tanya apa perasaanku saat itu, tentu akan ku jawab seperti itu.
Karena seluruh unsur kimiawi dalam tubuhku sudah bereaksi dan meledak diam-diam semenjak bibirmu mengucap,
"Ya, jadikan aku istrimu".

Friday, September 4, 2015

Heart Warm Space

Kau tahu Nona,
aku tak tertarik untuk bermalam denganmu di hotel berbintang lima.
Aku lebih tertarik untuk bermalam
di bawah jutaan bintang yang ada di langit sana,
dan di samping bintang yang kupuja
Kau, Nona.

Jalan Panjang Menuju Margonda Depok

Malam itu, seperti biasa aku pulang mengendarai motor putih pemberian ibuku.
Tapi sudah kuduga yang kusebut motor tadi tak lebih dari besi tua bermesin yang karatan.
Ya dugaanku tepat, hanya berselang 100 meter dari Pondok Indah, motor itu mogok.
Sama sekali.

Hari itu mungkin adalah hari paling berat.
Pagi hari motor sudah kempes bannya, padahal ada panggilan wawancara dari sebuah perusahaan periklanan.
Beruntung ada bengkel terdekat dan kutambal ban motorku.
Habis setengah jam untuk menambal ban dan sesampainya di kantor periklanan itu aku sudah terlambat.

Jam 2 siang aku ada panggilan wawancara lagi di perusahaan media.
Biasa, mahasiswa yang baru lulus memang biasanya disibukkan dengan rutinitas bernama: Panggilan Kerja.
Aku sempatkan makan siang di seven eleven.
Sialnya aku beli kopi dan kopinya tumpah ke kemejaku.

***

Aku lihat jam.
Sudah jam 1 pagi.
Tak mungkin lagi ada tukang tambal ban atau bengkel di sepanjang jalan menuju Depok ini.
Jadi tak ada pilihan lain selain menuntun motor itu, entah sampai mana.
Tak tega juga meninggalkan motor itu begitu saja di parkiran kantor-kantor yang berjejer di Jalan Simatupang itu.

Motor lain lalu lalang.
Aku hanya berharap dari sekian banyak motor yang masih lalu lalang itu, ada satu yang menghampiri.
Bersedia membantu mendorong motorku, ya sampai mana saja seberpisahnya kami.
Sampai jam 2 pagi, harapan itu kosong.
Kosong.

***

Hampir jam setengah 3 pagi, aku dihampiri lelaki dengan motor besarnya.
Mesin Honda Tiger yang dimodifikasi sedemikian rupa sampai jadi seperti motor Harley Davidson.

"Kenapa mas?", lelaki itu membuka percakapan.
Aku berhenti sebentar.
Meladeni pertanyaannya sembari istirahat juga.
Ambil nafas sembari memeriksa betisku.
Woh kenceng banget!

"Hehehe, mungkin turun mesin mas..", aku menjawabnya.
"Wah? Nuntun dari mana mas?"
"Pondok Indah, mas"
"Buset, jauh banget.",

Iya juga. Setelah kupikir-pikir, memang jauh juga ku tuntun motor mogokku.
Pondok Indah - Cilandak Town Square!
Aku bahkan sampai ingat jalan mana saja yang landai dan mana yang menanjak di antaranya.
Fiuh!

"Wah iya juga ya. Lumayan juga mas jauh. Hehehe"
"Mau saya bantu setut? Pulang kemana?"

Demi Tuhan, itu adalah pertanyaan paling langka yang pernah diucapkan seorang pengendara motor di Jakarta belakangan ini.
Entah karena sifat individualistis mereka yang mengikis kepekaan sosial mereka, atau hanya ya mereka tak berpikir bahwa mereka tidak membutuhkan hal yang sama ketika mereka tiba di situasi sepertiku?
Pemotor ini adalah anomali.

"Wah boleh mas! Tapi ini saya mau ke Depok mas"
"Saya ke Cibubur sih, Depoknya mana?"
"Saya di Pondok Cina."
"Saya biasanya pulang lewat Jalan Raya Bogor, tapi okelah. Bisa juga kok lewat Margonda Depok. Saya antar sampai sana saja, ya?"

Itu pertanyaan yang sudah barang tentu kalian tau jawabnya.
Benar-benar ANOMALI.

***

4 bulan sudah berlalu dari kejadian malam itu. Namanya Widodo, seorang pengusaha meubel yang malam itu baru pulang dari showroomnya di Daan Mogot menuju rumahnya di Cibubur. Aku sempat pula diberikan kartu namanya. Ia seorang insinyur. Dalam perjalanan dari Citos - Depok itu kami ngobrol banyak. Lebih banyak tukar pengalaman. Tapi aku tak terlalu banyak bercerita, aku lebih banyak mendengarkan sembari memancingnya dengan pertanyaan.

Sudah 4 tahun ia berusaha mebeul semenjak usahanya di bidang catering bangkrut karena manajemen yang buruk. Ia beri saran padaku, kalau nanti-nanti aku akhirnya buka usaha, jangan pernah mau untuk joint dengan saudara sendiri karena resikonya lebih besar ketimbang usaha joint dengan yang lainnya. Aku banyak mendengarkan. Banyak mengiyakan ilmu jalanan yang memang tak pernah kita dapatkan di sekolahan.

***

Dering telepon selularnya berbunyi tapi tak ada orang yang mengangkat. Nomor kantornya juga sibuk. Dari tiga nomor yang tertera dari kartu nama Widodo, ketiganya tak ada yang berhasil kuhubungi. Aku hanya ingin cerita pada mas Widodo. Sudah empat bulan aku bekerja. Empat bulan yang lalu aku berhasil diterima kerja di sebuah perusahaan swasta yang mau membayarku tinggi. Idealismeku ternyata ada mau yang membayar. Ya, untuk balas budi ke Mas Widodo aku ingin mengajaknya makan siang bersama. Aku pikir, sebagian rejekiku ini harus dirasakan juga oleh Mas Widodo.

Aku coba lagi menelpon satu-satunya nomor selular yang tertera di kartu nama itu. Deringnya aktif tapi tak ada yang mengangkat. Mungkin sibuk. Namun tak berapa lama, panggilanku terjawab.


"Halo?", suara perempuan menjawab teleponku.
"Halo", aku menjawab dengan nada yang heran dan tak yakin.
"Ini benar nomor Mas Widodo meubel, kan?" sambungku
"Ya mas, betul. Ini dengan siapa?", jawabnya hati-hati.
"Saya Hans mbak. Gini, saya pernah dibantu Mas Widodo. Waktu itu motor saya mogok, terus pernah dibantu didorong oleh Mas Widodo. Sekarang saya mau balas budi. Rencananya mau saya ajak makan siang bareng mbak."
"Oh.. Tapi Mas Widodonya.."
"...lagi sibuk ya mbak?"
"Bukan, mas"
"Ada nomor yang lain? Saya hubungi nomornya yang ada di kartu namanya, tapi sibuk gitu semuanya mbak"
"Ga ada, mas."
"Oh gitu..."
"Gini mas, saya mau kabari. Mas Widodo udah engga ada"
"Maksudnya?"
"Mas Widodo sudah meninggal"
"Meninggal, mbak?"
"Iya. Almarhum 4 bulan yang lalu dibegal. Motornya dibawa kabur. Dia sempet dibawa ke Rumah Sakit, cuma ya tetep ga ketolong"
"Innalillahi wa inna illaihi rajiun. Kejadiannya dimana mbak?"
"Margonda, Depok. Padahal biasanya mas Widodo kalau pulang itu lewat Jalan Raya Bogor. Makanya gatau kenapa almarhum tumben lewat Margonda"

Aku tertegun. Seketika darahku seperti berhenti. Lemas campur tak percaya.

"Mbak...", aku tak tahu harus bilang apa..
"Ya mas?"
"Semoga Mas Widodo khusnul khotimah ya. Mbak ini pasti istrinya ya? Mbak Nur, kan? Yang tabah ya mbak. Mas Widodo cerita banyak tentang mbak waktu ia bantu saya dorong motor itu."
"Iya saya istrinya mas. Mas Widodo cerita apa saja?"
"Banyak hal. Semuanya baik kok, mbak"
"Ya mas, terimakasih doanya. Omong-omong mas, emang waktu itu motornya mas didorong sama Mas Widodo dimana?"

Aku tertegun lagi. Antara yakin dan tak yakin untuk menjawab pertanyaannya.
Ada 5 detik yang hilang di antara pertanyaan itu dan jawabanku..

"Di Margonda, mbak"


***

Sambungan telepon itu terputus dan Mas Widodo menghilang dengan detik-detik yang ia punya.
Selamanya.

Tahun-tahun menjadi orangtua pasti amat berat, apalagi kau bu.
Sembilan bulan mengandungku dalam perutmu.
Belum lagi kau rasakan sakit kutendang-tendang saat masih di dalam perutmu,
hingga sakit kala melahirkanku.

Tahun-tahun itu pasti amat berat.
Kau tak kunjung tidur dengan lelap pada masa-masa balitaku.
Ada saja tangisan yang membangunkanmu dalam malam-malammu.
Entah minta susu atau hanya tak ingin ditinggal sendirian saja

Tahun-tahun menjadi orangtua pada waktu itu pasti amat berat bagimu
Aku memahaminya, bu.

Tapi aku yakin tahun-tahun berat itu tak akan lebih berat daripada hari-harimu
yang selalu mendoakanku dalam tiap harimu saat ku balita, anak-anak, remaja, hingga kini dewasa dan siap menjadi orangtua lagi.

Doa agar aku menjadi apa yang kau doakan.

Untuk tiap doamu yang kau ucap, yang tak terdengar olehku.
Untuk tiap doamu yang kau pinta, yang tak mampu kubalas.
Apa yang bisa kuberikan padamu, bu?
Agar beban itu kuringankan,


sedikit saja.
Waktu tergelincir, membentuk bayang panjang.

Jemari bercanda pada nada yang mengemuka
mengusik duka.
Antarku ke pulau
tempatku menyeka
air
mata

Pasir menyisir, yang terdampar yang tertampar
olehmu
yang bersandar
pada
waktu
yang tergelincir.

dan

waktu tergelincir, membentuk bayang panjang.
waktu pasir menyisir, yang terdampar yang tertampar.