Monday, May 25, 2015

GENERASI KLAKSON

Tadi saya berangkat naik KRL. Naik dari stasiun Bekasi, sempat transit sekali di Manggarai lalu turun di stasiun Tanah Abang. Setelah dari Tanah Abang saya lanjut naik Kopaja. Untuk yang pernah naik kendaraan ini, saudara tahu sendiri bagaimana Kopaja berjalan, kan? Ya. Hanya supir dan Tuhan yang tahu kapan cepat kapan lambatnya mereka berjalan. Jika sudah memasuki waktu ramai penumpang, supir kopaja bakal ngebut seenak jidat dan perutnya. Hajar kanan, hajar kiri. Serobot sana, serobot sini. Alasannya: kejar setoran. Tapi jika tidak dalam waktu ramai penumpang, mereka akan ngetem dimana pun mereka suka. Di pinggir jalan, di persimpangan jalan, bahkan di tengah jalan sekali pun. Suka-suka.

Hari ini Kopaja yang saya tumpangi ternyata kalem saja berjalan. Kira-kira hanya 10-20km/jam. Saking pelannya, bisa jadi kalau saya kerja sambil gowes sepeda, saya bisa sampai kantor lebih cepat daripada naik kopaja. Namun ternyata pelannya laju Kopaja ini jadi masalah juga bagi beberapa pengendara jalan yang lain, terutama pengendara mobil. Beberapa mobil saya dengar memberi klakson beberapa kali. Beraneka ragam bunyi klakson sebenarnya sama saja: berisik. Heran juga, ketika Kopaja lari kencang orang menyumpahserapahi nya: "Tai!", "Setan!", "Anjing!", dan entah apalagi. Sementara ketika Kopaja ini berjalan pelan, suara klakson mobil-mobil yang berada di belakang Kopaja ini langsung berbunyi seperti ikut kontes nyanyi. Di tengah jalan saya jadi kepikiran, "maunya apasih orang-orang ini?"

Barangkali, kita ini sudah memasuki generasi yang saya istilahkan Generasi Klakson. Kita sudah tak pernah bisa lagi sabar menunggu. Tapi anehnya, kita juga secara tidak sadar kadang suka membuat oranglain menunggu lama justru karena gerakan/jalan kita yang lama. Ya, pendeknya, kita tidak mau menunggu tapi kita doyan telat datang/lelet. Sebenarnya yang jadi masalah disini bukan lagi sekedar menunggu atau ditunggu, bukan juga tentang cepat/lelet. Tapi tentang konsistensi kita ketika kita marah-marah; Ketika kita protes; Ketika kita mengeluh: apakah kita marah-marah kepada seseorang karena melakukan hal yang kita sebenarnya lakukan juga?

Generasi klakson, mungkin adalah bagian dari masyarakat kita. Generasi yang berisik. Bisa jadi generasi klakson ada diri kita. Kita kadang suka marah, suka protes, suka mengeluh pada proses-proses yang sebenarnya bisa kita tunggu. Kalaupun kita tak bisa menunggu, toh kita bisa nyalip. Bisa memutuskan untuk pergi tanpa harus marah-marah. Tanpa harus protes-protes. Tanpa harus berisik. Tanpa harus gaduh.

Karena suara klakson mobil di belakang Kopaja yang saya tumpangi itu, saya lalu teringat pada sebuah peristiwa yang saya tonton di televisi. Sekelompok mahasiswa protes kenaikan harga bahan bakar minyak dengan membakar ban-ban bekas. Sebuah kontradiksi yang lazim dipertontonkan kelompok tersebut di jaman sekarang. Mahasiswa tak peduli lagi akal dan kekuatan intelektual mereka karena mereka lebih senang sensasi bakar-bakar bannya diliput TV dan media massa lainnya. Kelompok mahasiswa ini gaduh, selalu berisik, tapi minim isi, substansi dan kontribusi bak klakson mobil ini. Kelompok mahasiswa ini doyan sekali menilai kerja pemerintah lelet lalu dengan seenak jidat teriak minta pemerintah segera turun. Seperti uang yang para pembayar pajak bayarkan setiap tahunnya hanya dipakai untuk membayar Pemilihan Umum yang biayanya besar itu demi memuaskan tuntutan mereka. Belum lagi apabila tuntutan ini dibarengi dengan bakar-bakar ban bekas di jalanan, teriak-teriak di depan gerbang istana, merusak dan menghancurkan pagar penjaga/gedung yang semuanya tanpa substansi dan tanpa isi. Hanya sekedar sensasi.

Terus terang saya lebih suka dan rindu mahasiswa-mahasiswa dan intelektual yang memaksa pemerintah tunduk karena hasil tulisan bukan karena teriakan. Tulisan adalah kontribusi nyata. Agitasi-agitasi intelektual adalah jawaban bahwa ide dan pikiran selalu abadi. Sementara ban bekas yang mereka bakar pasti akan selalu mati...... dan disapu serta dilupakan.


Jadi, apakah kita Generasi Klakson tersebut?

Saturday, May 16, 2015

Kalender


kalender/ka·len·der/ /kalĂ©nder/ n 1 daftar hari dan bulan dl setahun; penanggalan; almanak; takwim; 2 jadwal kegiatan di suatu perguruan atau lembaga: ~ akademi

***

MEI 2013




Fungsi kalender tuh macem-macem ya. Bisa buat pengingat momen, bisa jadi pengatur jadwal meeting, atau bisa cuma jadi hiasan. Gue punya dua kalender yang ga pernah gue ganti halamannya, ga pernah gue ganti keberadaannya, dan ga pernah gue ganti dengan kalender yang lain yang lebih baru. Alasannya, ya buat pengingat momen. Satu di kamar gue di rumah Jatiasih Bekasi. Satu lagi di kamar kosan di Pocin Depok. 

Di rumah gue di Bekasi, kalender itu berhenti di bulan Mei. Banyak kejadian di bulan Mei tahun 2013 itu yang menakjubkan sekali, terutama pementasan terakhir gue bareng Teater Agora. Haha. Kalender ini emang sengaja ga gue ganti dengan kalender yang lain, karena terus terang gue ga butuh kalender sih. Handphone gue udah cukup buat jadi pengingat dan pengatur jadwal sehari-hari. Yang bikin kalender ini makin ga mau gue ganti justru adalah nilai catatan yang ada di dalamnya. 




 Sementara di kamar kosan, kalender gue berhenti di bulan Oktober 2014. Nah, untuk yang satu ini, foto dan ceritanya akan gue ceritain lagi kapan-kapan. Semoga aja sempet.


Bekasi, 15 Mei 2015





Monday, May 11, 2015

Halo May

Apakabar kucing-kucing piaranmu?
Lalu apa kabar si mantan kekasih pemilik kucing-kucing itu dulu? 
Aku dengar kabar mereka sudah pisah?
Sementara ia tetap berada di rumah, si lelaki pindah ke New York.
Masihkah ia tinggal di Baltimore?
Atau melanjutkan hidup baru di Peru?

Tidak. Aku tidak mungkin sempat mengatur waktu untuk menemuinya.
Tapi jika kau sempat bertemu dengannya, 
maukah kau memberikan satu syair ini untuknya, May?

Masih kosongkah vas bungamu, setelah ditinggal mati sang bunga matahari?
Kini,
Tak ada tempat berteduh dan tubuh untuk kupeluk
Tak ada tempat menyingkir dan bibir untuk kucium

Dalam kebiasaan pada suatu musim hujan.
Hujan-hujan keras yang turun

Kita memutar lagu yg biasa kita mainkan
Kita dengarkan 

kita nyanyikan.

"I know~ I know~
You belong to somebody new
But tonight, you belong to me.."


Aku menunggu
Kata keluar
Dari bibirmu
Dan kita kembali..
Ke ketiadaan..

Saturday, May 9, 2015

Ubahlah genangan itu menjadi kenangan 
Taruhlah refleksimu di sana..
Dalam hujan keras di malam minggu.

Friday, May 8, 2015

This Is Why Being a Dad Is Awesome

Sebagai laki-laki, punya anak adalah sesuatu keinginan besar apalagi kalau dia udah berkeluarga. Tapi, apa sih yang bakal lo lakukan bareng sama anak lo? Hubungan ayah dan anak yang biasanya di cap sebagai hubungan paling ga asik, justru bisa diliat sebaliknya dimari. Gua rangkum beberapa video hubungan antara anak dan ayah yang paling populer di Youtube dan mungkin bakal jadi alasan kenapa menjadi ayah itu menggemazkan..

 1.  Bisa nyanyi bareng...

Doi nulis gini tentang anaknya: "The fireworks show had just ended, but she thought she kept hearing them outside. So we sang to keep her mind preoccupied. In the end, nothing competes with fireworks.". Ben mempublikasikan videonya pada 17 September 2013 di Youtube dan udah ditonton sebanyak 11,276,150 di seluruh dunia.





2. Bisa ngakak giting bareng-bareng!

Tom Fletcher, vokalis band McFly yang juga seorang vlogger, nulis gini: "This is why being a Dad is awesome. This is the first time my son Buzz has ever seen a dandelion...I think he liked it.". Tom niup sehelai dandelion dan anaknya ngakak parah. Mungkin itu pertama kalinya anaknya liat dandelion dan ngerasa aneh, atau barangkali anaknya giting dulu kali bareng bokapnye. Ehehe. Tom mempublikasikan videonya pada 25 April 2015 di Youtube dan udah ditonton sebanyak 5,523,674 di seluruh dunia. 

 



3. Battle Breakdance


Di video ini diliatin kalo bapak dan anaknya lagi adu breakdance, yep Battle. Sayangnya, gua ga dapetin identitas asli siapa pemilik video ini jadi gua ga dapetin nama bokap dan anaknya. Bagian paling ngegemezin tentu aja pas si bayi udah ngelantai dan nunjuk ke bapaknya: "It's your turn, dad! Show me what you get!"


4. ....Bahkan battle argumen





Yep. Untuk yang satu ini, emang cuma lucu kalo anak kita lagi lucu-lucunya. Kalo udah gede tapi masih suka marah-marah dan membangkang, ya namanya bangor. Hahaha. Tapi ga apalah, selama argumennya masih logis gua akan tetep ngeladenin. Semoga.

5. Oke. Ajak sesekali olahraga.


 Kalo belom bisa ngajak anak nge-gym, yaudah gayaannya aja dulu..



6. Hmm.. kalo gua sendiri pengen banget hubungan gua sama anak gua nantinya kaya begini (diambil dari sini):

Keith Anderson, awesome dad

Keith Anderson dari Peterborough, Ontario, Kanada bikin tattoo dari sketsa yang dibikin anaknya setiap tahunnya dari mulai anaknya berumur 4 tahunan.


Tattoo pertama, Bunga Daisy
Tatttoo kedua, "Kai" dan gambar rumah. Digambar saat anaknya umur 4 tahun.

Tattoo Kuda Laut ini digambar saat anaknya berusia 6 tahun
Inisial C, untuk negara Kanada. Digambar pada saat anaknya berusia 7 tahun.

Tattoo disaat anaknya berusia 10 tahun..

Di-tattoo anaknya sendiri..












Sunday, May 3, 2015

Bidan yang Sedang Bersedih.

Halo. Kali ini gue mau nulis rada panjang, mumpung lagi pengen dan sempet. Tulisan ini mau gua alamatkan ke anak yang waktu lahir gue turut membidaninya.


***

Beberapa waktu ini, ya sekitar seminggu ini, gue nulis dengan metafora 'bidan' di twit gue:



Bukan tanpa maksud gue menulis tentang si "bidan" ini. Metafora ini sebenernya mengungkapkan betapa sedih dan kecewanya gue dengan Teater Agora (saat ini), tempat gue mengaplikasikan dasar-dasar teater yang gue punya dan pelajari di Teater Sastra UI dan dasar-dasar filsafat yang gue pelajari di kelas-kelas Filsafat UI.

Teater Agora ikut gue bidani kelahirannya bareng-bareng dengan orang-orang yang ikut dalam produksi pertama Teater Agora kala itu, yang berjudul Balada Sakit Jiwa. Itu tahun 2012, tahun terakhir gue sebagai mahasiswa. HAHA. Kami melahirkan Teater Agora bukan untuk ajang eksis-eksisan (ya walaupun ada sih), tapi gue percaya lebih banyak yang termotivasi untuk belajar disana ketimbang jadi eksis (Soale anak-anaknya udah eksis lebih dulu sebelom di Teater Agora HAHAHA).

Belum lama ini, Teater Agora pentas dengan judul Kudeta/Suksesi. Dari awal proses pementasan sampai menjelang akhir, gue ga pernah dateng dan ngeliat bagaimana proses produksi dibaliknya: dialektika yang terbangun, bedah naskah, trial and error, pendalaman emosi, blocking, olah suara dan semacamnya. Sampai akhirnya gue datang di latihan terakhir dan Gladi Resik dan gue terhenyak melihat hasil akhir produksi tersebut: MENGECEWAKAN SYEKALEE~

Gue ga perlu ngomongin masalah teknis seperti lighting, blocking, intonasi dan artikulasi suara dan sebagainya. Itu terlalu jauh untuk dibahas, bahkan unsur itu tak perlu dibahas saking banyaknya yang harus dibahas lebih dulu. Gue melihat dengan mata kepala sendiri bahwa hampir seluruh pemain yang menunggu lawan dialog. Artinya apa? Artinya tidak ada aksi dan reaksi yang baik. Apa arti tidak ada aksi dan reaksi yang baik? Artinya naskah/cerita tidak dijiwai dengan baik oleh para pemain yang mengakibatkan dialog yang diucapkan tidak disertai keyakinan. Apa artinya itu semua? Artinya pementasan ini palsu.

Emosi yang dihadirkan oleh pemain ini bisa gue katakan emosi artifisial: ketawa harus terbahak-bahak, marah harus dengan nada keras, yang mana emosi seperti itu tidak mengantarkan emosi yang sama kepada penonton. Penonton seperti gue justru malah asyik menonton adegan-adegan ini dengan tidur. Keren ye, ditonton sambil tidur.

***

MINIM KONTROL

Ada kesalahan yang terjadi dalam pementasan Suksesi/Kudeta dan Teater Agora itu sendiri. Dalam pementasan Suksesi/Kudeta, entah yang salah itu dalam penyutradaraan, keaktoran, proses produksi atau bisa jadi kesemuanya. Yang jelas, pementasan Teater Agora kemarin membuat hati gue miris walaupun belakangan mendengar kabar pementasan yang berharga Rp 40.000 per tiket ini laku dijual di kalangan mahasiswa selama 2 hari.

Dari Teater Agora sendiri, spirit Teater Agora ketika pertama dilahirkan bukanlah money oriented. Sekali lagi bukan. Gue dan kawan-kawan bukanlah bidan-bidan yang gila duit. Gue gak meminta apa-apa dari lahirnya Teater Agora ini. Gue cuma pengen Teater Agora berkualitas secara manajemen organisasi dan panggung (Pementasan).

Gue gak hendak mengatakan bahwa para pemegang amanah Teater Agora pada pementasan kali ini terlalu mengedepankan unsur bisnis ketimbang aspek keteateran. Tidak. Yang mau gue kedepankan dalam tulisan ini adalah pentingnya sebuah pementasan mendapatkan kontrol kualitas yang baik. Baik kontrol dari dan terhadap penulis naskah, sutradara, pemain, dan segala unsur pendukung teater tersebut. Gue emang udah lama ga berkecimpung di Teater Agora sehingga apakah kontrol itu ada atau engga, tapi dari yang gue lihat dari output yang seperti ini gue bisa jamin kontrol itu ga ada. Kalaupun ada, kontrol tersebut tidak ketat. Bagaimana bisa sih di latihan terakhir, pemain ga lengkap? Pimpinan produksi yang harusnya datang paling awal dan pulang paling akhir untuk menjaga pementasan ini tidak ada, bahkan asistennya pun demikian?

Buat apasih kontrol-kontrol gini? Spirit awal Teater Agora adalah menjadikan Teater ini sebagai wadah belajar kehidupan, berproses, berdialektika, dan berfilsafat dengan menggunakan teater sebagai katarsis. Bagaimana teori-teori filsafat yang kita dapatkan dalam kelas, nilai kehidupan yang kita dapatkan dalam keluarga atau jalanan kita kawinkan dengan teori-teori teater dan diaplikasikan dalam panggung. Tidak ada yang lebih tinggi satu sama lainnya. Tidak ada yang lebih pintar satu sama lainnya. Semua berhak mengoreksi. Semua berhak belajar. Semua berhak berdialektika. Sehingga output yang tercapai tidak hanya menjadi sebuah pementasan tok.

***

NANGIS GA NIH?

"Lo nonton Agora ga, Haq? Terlalu Vulgar. Gue takutnya orang jijik sama Agora"

Sehari setelah pementasan hari kedua gue dapet Whatsapp demikian walaupun ga persis sama tapi poinnya sama. Gue emang udah pernah memutuskan keluar dari Teater Agora setelah pementasan Waktunya Lelaki, tapi whatsapp ini masih bikin gue sedih. Bagaimana keterikatan itu tidak hanya dirasakan oleh gue pribadi, tapi oleh orang-orang yang masih concern pada Teater Agora.

Masalah emang ada dimana-mana dalam pementasan itu yang mana hal tersebut diamini oleh banyak orang. Tapi gua ga mau bahas lagi apa masalahnya karena bisa abis waktunya. Sekarang yang perlu dilakukan adalah evaluasi menyeluruh. Pemain berhak dan berkewajiban untuk mengetahui dasar-dasar teater yang lebih proper. Sutradara juga berhak dan berkewajiban untuk mengoreksi penyutradaraannya jika dirasa tidak cocok. Banyak hal yang perlu diselamatkan, tapi yang paling utama adalah wadah yang bernama Teater Agora supaya tidak pecah oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.

Jadi, jika setelah pementasan Suksesi/Kudeta ini masih ada orang-orang yang mengapresiasi positif, maka jadikanlah itu pecutan semangat. Bahwa ternyata Teater Agora masih bisa terselamatkan. Tapi jangan sampai terlena karena ucapan "bagus banget" bisa jadi adalah kalimat paling jahat yang ada di muka bumi ini. Kalimat yang bisa membuat lu gabisa berproses dan belajar lebih baik lagi. Bisa jadi kalimat "bagus banget" membuat 'gelas kita menjadi penuh air dan luber', yang mana sebagai seorang (akademisi, dramawan, filsuf) yang bermain di Teater Agora HARUS mengosongkan gelasnya terlebih dulu.

Poster Suksesi/Kudeta





Sekian sabetan ini,



Dari Bidan yang Sedang Bersedih.






Saturday, May 2, 2015

"Suatu ketika, Kekasih, 
di tembokmu yang anggun dan angkuh, 
kupaku plakat penantangku 
bagi pedang manapun 
yang meminangmu..." 


- Sudjiwo Tedjo