Ya, saya berkesempatan untuk mengunjungi salah satu Suku Melayu Tua (Proto Melayu) yang tersisa di Tanah Sumatera. Bukan suku Batak, bukan juga suku Minangkabau. Suku ini cukup asing di telinga masyarakat Indonesia. Suku tersebut adalah Suku Sakai, yang saat ini terbanyak berhimpun di Desa Kesumbo Ampai, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Saya berangkat ke Desa Kesumbo Ampai untuk mengunjungi peresmian Rumah Adat Suku Sakai (19/1), yang dibangun oleh APP - Sinarmas Forestry yang membantu agar kelestarian adat istiadat, budaya dan kesenian Suku Sakai terjaga di Indonesia.
Latar Belakang
Provinsi Riau memiliki lima kabupaten yaitu, Kab. Kampar; Kab. Bengkalis;
Kab. Indragiri Hulu; Kab. Riau; serta ada satu Kota Madya Pekanbaru
yang menjadi Ibukota Riau. Orang Sakai hidup di wilayah Kab. Bengkalis.
Sedangkan orang Sakai terbanyak adalah yang berada di wilayah Kecamatan Mandau.
Sebagian kecil lainnya hidup di wilayah Kecamatan Bukit Baru. Desa-desa yang
berpenduduk asli suku Sakai ada di desa-desa seperti Talang Parit, Talang Sei
Limau dan sebagainya.
Tempat tinggal orang Sakai pada umumnya terletak di tepi-tepi mata air dan
rawa-rawa. Melalui jalan sungai atau jalan darat, yaitu dengan jalan kaki atau
merambah hutan, tempat tinggal mereka dapat dicapai. Sehingga sebetulnya orang
Sakai tidak sepenuhnya terasing dari masyarakat luar Riau. Karena lingkungan
hidup mereka jauh dari pantai, maka lingkungan hidup mereka adalah rawa-rawa,
atau daerah berpayau-payau, berhutan serta bersungai. Fauna dan flora
lingkungan hidup mereka sama dengan lingkungan alam wilayah Riau, khususnya
lingkungan alam bukan pantai. Mereka hidup tepencar-pencar dalam sebuah satuan
wilayah yang berada dalam sebuah satuan administrasi yang dinamakan bathin
(dukuh) kalau penduduknya sedikit, dan kepenghuluan kalau jumlah penduduknya
banyak.
Ketika kota Duri mulai dibangun dan dikembangkan, orang Sakai sebagian
besar yang menghuni wilayah-wilayah di sekitar kota tersebut diminta pergi
dengan diberi pesangon untuk penggantian rugi atas tanah dan pepohonan serta
tanaman-tanaman yang ada di ladang-ladang mereka. Sebagian dari mereka berpindah
tempat pemukiman ke kelompok-kelompok tempat tinggal atau desa-desa orang Sakai
lainnya, dimana mereka mempunyai kerabat.
Dalam KBBI, Sakai diakui sebagai sebuah suku bangsa yang mendiami Kepulauan Riau dan Tanah Melayu. Beberapa orang mengatakan bahwa Orang Sakai datang
dari kerajaan Pagaruyung, Minangkabau, Sumatra Barat, dalam dua gelombang
migrasi. Kedatangan pertama diperkirakan terjadi sekitar abad ke 14, langsung
ke daerah Mandau. Mereka ini ada lima keluarga yang masing-masing membangun
rumah dan tempat pemukiman sendiri, yang karena itu disebut dengan perbatinan
lima. (lima dukuh).
Setelah beberapa tahun tinggal di Desa Mandau, rombongan yang berjumlah lima
keluarga ini, memohon untuk diberi tanah atau hutan untuk mereka menetap dan
hidup, karena tidak mungkin bagi mereka untuk kembali ke Pagaruyung. Oleh kepala Desa Mandau, masing-masing keluarga diberi hak atas
tanah-tanah atau hutan-hutan. Yaitu di daerah sekitar Minas, sungai Gelutu,
sungai Penaso, sungai Beringin, dan di daerah sungai Ebon.
Berdasarkan data
Departemen Sosial Propinsi Riau pada tahun 1982, terdapat 4.995 orang Sakai.
Mereka hidup di 13 desa (kepenghuluan) yaitu: Pinggir, Semunai, Muara Basung, Kulin,
Air Jamban, Tengganau, Petani, Kuala Penaso, Betulu, Syam-syam, Minas, Kandis, Sebangu.
Menjerat hewan, menangkap ikan dan meramu hasil hutan. Biasanya orang Sakai
juga menjerat berbagai jenis hewan liar, (kijang, kancil, babi hutan) atau
hewan lainnya yang secara tidak sengaja terjerat. Mereka juga menangkap ikan dengan
menggunakan cukah yang terbuat dari anyaman rotan.
Selain itu, mereka juga
menggunakan jaring untuk menangkap ikan kecil-kecil. Serta menggunakan serok
untuk udang-udang yang berada dirawa-rawa. Kegiatan ini dilakukan ketika
kegiatan di ladang berkurang atau seusai menanam padi. Di samping itu mereka juga
meramu atau mengumpulkan hasil hutan. Seperti dahan-dahan kering untuk kayu
bakar, jamur setelah hujan turun, pucuk-pucuk daun untuk bumbu, damar,
kemenyan, kapur barus dan karet.
Suku Sakai: Perjuangan Berkompromi Dengan Modernisasi
Latar belakang tersebut membuat saya tertarik untuk datang ke lokasi ini. Menurut saya, ada hal yang menarik selain masih kurangnya pengetahuan saya akan suku bangsa ini, namun juga saya tertarik mengaji bagaimana suku bangsa ini bisa bertahan dalam arus globalisasi dan modernisasi, apalagi saat Sumatera bergeliat dengan Kelapa Sawit dan Minyak Bumi.
Ketertarikan ini membawa saya pada wawancara singkat dengan Bathin Sakai Sobanga, Bpk M. Yatim.
M. Yatim, Bathin Suku Sakai Bathin Sobanga |
Oh ya, sistem pemerintahan dalam Suku Sakai ini dapat dilihat dalam foto ini:
Ini adalah sistem pemerintahan dalam Suku Sakai secara umum |
Sistem Pemerintahan yang ada dalam Bathin Sobanga |
Bathin selain untuk penyebutan sebagai kerapatan suku adat, bisa juga untuk penyebutan sebagai Kepala Suku atau Pimpinan Adat. Pada Suku Sakai Bathin Sobanga ini, Bathin dipimpin oleh Mohamad Yatim yang lahir pada sekitar tahun 1942. Saya mencoba merangkum percakapan saya dengannya.
T: Berapa populasi Suku Sakai sekarang ini, pak?
J:
Suku sakai saat ini (secara keseluruhan) terdiri dari 13 batin. Masyarakat suku sakai dipercaya berjumlah puluhan ribu. Dalam Bathin ini saja terdapat 300an Kepala Keluarga. --> Kepala suku punya 4 anak, 6 cucu. Mungkin bisa diperkirakan.
T: Bisa diceritakan sedikit tentang Suku Sakai?
J:
Kami hidup terasing, tersingkir oleh perkembangan teknologi dan modernisasi. Hutan dan tanah Sakai dicaplok pemerintah. Tonggak sejarah, ditemukan ada ladang minyak tahun 1931. Lalu eksplorasi besar-besaran di Tanah Sakai. Namun, tak ada yang diberikan dengan nilai sepadan. Masyarakat suku sakai dianggap perusak lingkungan. Sehingga masyarakat ini terusir dan berpindah-pindah mencari ladang tinggal baru. Akhirnya masyarakat tersingkir dengan sendirinya.
T: Bagaimana cara mempertahankan Suku Sakai?
J:
Mempertahankan kampung itu sangat sulit. Apalagi zaman Soeharto. Masyarakat selalu dikatakan sebagai perusak hutan. Perambah liar. Pernah suatu ketika suku-suku pedalaman dikumpulkan oleh CPM (Polisi Militer), lalu mereka dipaksa keluar (dari hutan) dan dibawa pos keamanan. Mereka ditelanjangi dan disuruh mendiami ilalang itu. Saat itu, suku sakai untungnya tidak sampai seperti itu, hanya beberapa kali ada pemanggilan dari CPM untuk sosialisasi. Saya coba mengangkat semangat suku sakai agar bisa berjalan ke depan. Bagaimana bisa berbuat sesuatu sehingga bisa hidup berdampingan.
T: Ada peran pemerintah?
J:
Pembinaan sosial dari pemerintah itu asal-asalan. Kami dibuatkan sekolah, ya sekolah. Kami dibuatkan fasilitas, ya tinggal. Tapi kami mau hidup bagaimana? Tak ada penghidupan. Maka kami kembali ke hutan. Namun, Kami dianggap merusak hutan. Merusak bagaimana? Paling satu tahun kami menebang pohon untuk membuat ladang padi cuma habis 2 hektar.
T: Bagaimana interaksi dengan orang luar?
J:
Saya memulai (perbauran sosial) dengan mengundang orang luar datang ke daerah Sakai. Yang diharapkan oleh suku sakai adalah penghidupan. Bukan tempat tinggal atau pendidikan. Setelah ada penghidupan yang jelas, tempat tinggal dan pendidikan itu adalah hal-hal yg mengikuti.
T: Bagaimana penghidupan atau cara Suku Sakai bertahan hidup?
J:
Mata pencaharian masyarakat Suku sakai adalah berkebun karet dan berkebun sawit. Dengan sistem tanam campur. Ada yg menanam sawit, ada yg menanam karet. Kalau mencari ikan dengan tombak, beberapa masih ada. Tapi masalahnya, ikan yg dicarinya yang tak ada.
T: Masyarakat berkebun di hutan adat?
J:
Saat ini (khusus bathin Sobanga) punya sekitar 300 hektar hutan yang tidak diperbolehkan ditebang. Kami menjaganya dengan sanksi. Kalau ada (suku sakai) yang menebang satu pohon, maka harus diganti pohon lagi. Penebang juga didenda minimal didenda satu tepak sirih (sebuah tempat seperti bakul yg harus diisi emas penuh). Kalau ada penebang dari luar, ya bisa dibunuh.
300 hektar hutan itu tidak bisa diambil sama sekali. Dibiarkan begitu saja. Itu dinamakan Rimbau adat. Masih ada pohon langka seperti kulim, seminai, gaharu di dalamnya.
T: Bagaimana penentuan penempatan lokasi Rumah Adat Sakai ini?
J:
Penempatan lokasi Rumah Adat ini sudah ada dari dulu, dari jaman nenek moyang. Pada pembangunan ulang rumah adat ini, Masyarakat disertakan dalam rancang bangun. Materi kayu, dulu dan sekarang berbeda. Dulu meranti dan bahan-bahan yang tak mudah dimakan rayap. Sekarang, bahan kayu tersebut sudah tak ada. Tapi masyarakat memesan beberapa materi kayu ini dari perusahaan yang membantu membangun. (Landasan rumah adat ini juga sepenuhnya besi)
T: Arsitektur rumah ini unik, bisa diceritakan?
J:
Rumah terbagi atas rumah induk 11x9m, ada dua anjung sitimbal balik di bagian sayapnya. Apapun yang bersifat mufakat diselesaikan di rumah ini. Yang beranda depan disebut potapak (petapah) jatuh ukurannya 4x9m. Di bagian belakang disebut Gajah monusu yaitu bagian dapur. Semua ada ukurannya, ada filosofinya.
T: Bagaimana proses pembangunan Rumah Adat Sakai?
J:
Gedung lama terakhir dipakai pada tahun 2000. Setelah itu rusak. Proses bangun ulang dimulai pada tahun 2012. Selama dibangun ulang, aktivitas adat ada di rumah penduduk atau masjid. Agama Islam masuk 1917. Sebelumnya animisme. Islam Baru 3 generasi (sebelum Bathin). Setelah merdeka, sebutan Sakai karena pada saat melawan Jepang, orang Sakai terkenal kebal dan sakti. Ilmu kebal disebut sebagai Berkumatan. Ilmu yg berhubungan dengan dewa-dewa. Tradisi animisme. Saat ini, ilmu beladiri masyarakat sakai ya Pencak silat.
T: Saya tertarik dengan hutan adat. Luasnya begitu besar, 300 hektar. Bagaimana menjaganya?
J:
Untuk menjaga 300 hektar hutan Rimbau Adat, ada laskar yg terdiri dari masyarakat suku sakai sendiri. Mereka diberikan pemahaman agar tidak menebang lagi. Namun hanya memanfaatkan hasil hutannya saja (karet dan sawit).
***
No comments:
Post a Comment
Kalo mau komen pake bahasa yang santun dan sopan ya saudara-saudari!