Monday, September 2, 2013

Kamera Bang Tuli

Sebut aku dengan nama depanku saja Berkah. Karena aku benci nama belakangku, yang diwariskan dari nama bapakku, yang sudah aku hapus semenjak lima belas tahun yang lalu semenjak bapak selalu menjambakku ketika bapak sedang mabuk atau ketika bapak selalu menyundutku dengan kreteknya saat aku melakukan hal yang menurutnya salah. Kejadian-kejadian itu selalu membuatku trauma, sampai aku memutuskan untuk minggat dari rumah setan itu. Aku tak peduli lagi dengannya setelah itu. Tak peduli ketika ia sakit. Tak peduli ketika ibu juga meninggalkannya. Ia sudah aku hapus dari hidupku semenjak aku memutuskan minggat.

Aku pindah ke kota sejak itu. Meninggalkan ibu dan kedua adik-adikku, Cahaya dan Mulyana. Rasa benci pada bapak juga mengorbankan cintaku pada Asih, aku harus rela meninggalkannya. Aku hanya pesan supaya Asih mau menungguku dan memahami kondisiku. Aku bilang aku mencintainya sampai satu diantara kami mati. Standar. Seperti apa yang aku tonton dan pelajari dari sinetron di televisi.

***

Aku bertahan hidup semampunya dengan cara mengamen. Dua bulan pertama di kota, aku tinggal tak tentu. Kadang di bawah jembatan, kadang di lokasi proyek bangunan. Nasib paling baik tidur di sofa kelurahan. Lumayan. Syukurnya, rasa iba masyarakat kota ini masih lebih besar daripada kota-kota besar lainnya, setidaknya itu yang kutahu dari pengalaman Amir temanku yang penjaja koran.

Uang tabungan yang pelan-pelan kukumpulkan berbulan-bulan akhirnya mampu kuubah jadi kamar kecil yang dapat kutinggali dengan layak serta gitar yang kusayang dan menemani ngamen kemana-mana. Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Atau jangan-jangan takdir memang telah menggariskan bahwa memutuskan tali silaturahmi dengan bapakku yang kafir itu lebih baik daripada hidup diperdaya olehnya.

Dua tahun aku menggantungkan hidup dengan mengamen. Banyak saingan memang di kota ini. Namun, kami saling memahami. Kami tak ribut masalah wilayah atau hal sepele lainnya. Kalaupun ada pengamen lain yang ngotot mengusirku dari wilayahnya, paling ada satu dua. Aku pun mengalah, toh rejeki ga akan lari kemana. Tapi lumayan juga hasil mengamen yang aku geluti, selain untuk menutupi kebutuhanku sehari-hari, sedikit sisa uangnya aku tabung dan kuambil sedikit untuk kredit motor. Walaupun kredit motor bekas, tetap saja kendaraan ini masih bisa kuandalkan kalau ada urusan yang jauh-jauh. Sebenarnya, aku tak mau terus-terusan mengamen. Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Aku dipertemukan oleh orang-orang yang masih punya kebaikan di kota ini. Hanya sedikit memang jumlahnya, tapi mereka semua sudah membantuku banyak, dan itu cukup. Aku dapat banyak informasi tentang peristiwa di dunia ini, mulai dari politik luar negeri hingga intrik keluarga selebritis karena Amir selalu membaca berita dari koran yang ia jajakan. Katanya, ia harus tahu persis apa yang ia jual sehingga ia harus membaca dulu seluruh isi berita yang disajikan koran-koran setiap harinya. Idealisme seorang penjaja koran. Lalu aku belajar banyak tentang komputer dan edit foto dari Bang Tuli.

Bang Tuli, perantauan dari Medan. Namanya memang tak lazim tapi ia asli Medan. Sebagai bagian dari orang Medan, yang tak terlalu banyak mengesankan hidupku, aku rasa Bang Tuli merupakan minoritas dari kelompoknya tersebut. Ia baik, ramah dan sama sekali tidak pernah berperangai buruk. Berbeda dengan Frans misalnya yang selalu ugal-ugalan membawa metromini atau Batak misalnya yang selalu menebar paku di jalanan. Bang Tuli juga seorang fotografer pernikahan, profesi yang jarang diambil seorang perantauan dari Medan. Tiap minggu aku suka diajaknya ikut sebagai timnya ke pernikahan-pernikahan orang yang menggunakan jasanya. Aku membantunya memegangi tiang lampu kamera atau menggulungi kabel, selain menghabiskan makanan kondangan tentunya. Dari sini, semua cerita bermula.

***

Aku mulai menyukai pekerjaan baru ini. Setiap hari aku ngamen kecuali Sabtu dan Minggu. Di hari itu aku ikut Bang Tuli. Tak ada libur dalam kamusku. Setiap hari aku harus mengolah waktu agar menjadi uang dan uang. Aku pikir itu memang menyiksaku, namun aku tak tahu apa yang terjadi di masa depanku. Jadi biar saja aku tak punya waktu yang cukup di masa muda supaya nanti di masa tua tinggal leha-leha dan foya-foya. Persetan warisan. Anakku harus bekerja keras, nantinya. Aku hanya akan memberinya investasi pendidikan dan tak akan lebih agar ia jadi orang yang kuat bersaing dengan orang kota lainnya.

Nasib baik mungkin masih mengiringi hidupku yang menyedihkan ini. Bang Tuli mulai menyukai apa yang aku kerjakan. Ia tahu aku bisa nyanyi, sehingga kadang ia menyuruhku untuk menyumbang satu lagu untuk mempelai. Setelah itu pekerjaanku nambah satu, selain gulung kabel dan megangin tiang lampu video kamera serta menghabiskan makanan undangan tentunya. Hehe. Setiap akhir minggu, aku bertemu banyak orang baru. Ternyata banyak mempelai yang menyukai suaraku dan merekomendasikan tim Bang Tuli kepada rekan-rekan mereka yang mau nikah. Mulai saat itu, order Bang Tuli meningkat pesat. Bang Tuli juga mulai memperkenalkan aku dan mengajariku memotret. Ia ajari aku fungsi dari tombol-tombol rumit yang berada di badan kameranya itu dengan sabar. Lalu, aku dipinjamkan satu kameranya untukku belajar.

Dari situlah aku mulai membawa kamera digital itu kemana-mana. Lihat, bidik, jepret. Lihat, bidik, jepret. Hasilnya aku pamerkan pada Bang Tuli sepulang berburu objek. Kebanyakan hasilnya gambar perempuan lewat. Bang Tuli tertawa ketika ia lihat satu gambar perempuan dengan muka sedang masam. Sepertinya perempuan itu sedang bertengkar dengan pacarnya dan tak sengaja aku mengambil ekspresinya yang sedang masam itu.

***

Hari itu, hari pertama Bang Tuli mempercayaiku untuk mengambil gambar mempelai. Perasaanku campur aduk saat Bang Tuli memberi briefing awal. Tentu senang, tapi aku belum terbiasa untuk mengambil gambar pengantin yang sudah terkonsep dan harus disiplin mengambil gambar sehingga rasa gugup mulai menghampiriku. Aku tak tahu siapa yang akan jadi pengantin nanti, tapi aku harus melakukan yang terbaik. Aku harus mengambil semua momen berharga demi kepuasan pengantin. Aku terus berpikir tentang konsep, rencana dimana pengambilan letak posisiku nantinya dan segala halnya selama perjalanan dari tempat Bang Tuli menuju gedung pernikahan.

Kami akhirnya sampai gedung yang masih sepi dan hanya diisi oleh keluarga kedua pengantin. Menata segala peralatan dokumentasi dan peliputan. Aku banyak meminum kopi karena malam sebelumnya aku kurang istirahat. Entah kenapa aku susah tidur malam itu. Padahal setiap sebelum kerja aku pastikan untuk cukup istirahat supaya tetap segar dan bugar. Syukurnya, kopi membantu membuatku lebih awas karena zat kafeinnya. Aku juga sesekali membidik dan mengetes kamera, merencanakan tempat bidikan yang tepat.

Pukul 09.00 WIB. Acara akad akan segera dimulai. Prosesi akad dilakukan dengan cara Islam. Pengantin pria sudah berada di tempatnya. Duduk tegap dengan mata tajam. Senyumnya simpul tak banyak terumbar. Mungkin ia menyimpan kegugupan dibalik sana. Ia seorang pengusaha tekstil kaya raya bernama Suwandi. Didepannya, terdapat sebuah meja besar yang diatasnya terdapat beberapa hiasan dan mikrofon. Wali nikah dan para saksi juga sudah duduk mengelilingi pengantin. Hanya kursi mempelai perempuan dan penghulu yang masih kosong karena dua alasan berbeda. Penghulu belum hadir di tempat, sementara pengantin perempuan baru akan dihadirkan setelah proses ijab-kabul selesai. Pukul 09.12, penghulu datang dan akad nikah segera dimulai. Aku juga langsung membidik semua momen dan semua orang yang hadir dalam acara itu. Tak satupun yang luput dari bidikan kameraku.

Prosesi akad berjalan cepat. Penghulu lalu memanggil mempelai perempuan yang sedari tadi menunggu di sebuah bilik kecil yang berada di pojok gedung itu. Aku menunggu mempelai itu tepat di depan pintu masuknya. Beberapa keluarga yang mengiringi mempelai perempuan mengawali proses keluarnya sang pengantin. Aku langsung membidik momen itu dengan lensa kameraku. Cekrik. Cekrik. Cekrik. Hingga jepretan kelima aku baru menyadari suatu hal yang semenjak pagi tadi tak aku sadari....

Dia adalah Asih.
Pengantin perempuan itu.
Ia kekasihku yang kutinggalkan dua tahun lalu.
Aku berhenti membidik kali ini.
Membeku.
Karena tajamnya mata lensa seribu kali lebih menyakitkan dari mata pisau yang menghujam mataku.

Asih melihatku. Ia berhenti berjalan. Kami berdua terpaku memandang diri kami masing-masing. Tidak. Kami tidak terpaku dengan cara yang paling romantis kali ini. Semua mata memandangi kejadian ini. Senyum yang daritadi Asih umbar di wajahnya menjelma keterkejutan. Aku membelakangi Asih dan segera bergegas menuju Bang Tuli. Aku serahkan kamera itu pada yang berpunya. Aku lalu pamit pada Bang Tuli, tak menjelaskan apa-apa kecuali bilang aku tiba-tiba sakit. Aku pergi meninggalkan gedung itu. Persetan dengan prinsipku sendiri yang baru aku niatkan pagi tadi. Persetan melakukan yang terbaik untuk mempelai. Persetan dengan semuanya. Perasaanku campur aduk. Mungkin ini jawaban tentang firasat kenapa aku malam sebelumya menjadi gelisah tanpa alasan.

***

Aku kembali ke kampung halamanku. Memandangi nisan bapak dan ibuku. Mendoakan agar dilapangkan kuburnya dan memaafkan segala kekurangan mereka. Aku bersihkan makam mereka dari tumbuhan liar yang tumbuh di atas tanahnya. Aku lalu menyuruh seorang penjaga makam untuk menanam sebuah nisan disamping makam ibuku. Nisan marmer yang kupesan dari hari pertama kedatangan kembali ke kampung halamanku ini. Asih. Begitu tulisan yang berada pada nisan itu.

Aku tanam sebagai simbol dukaku kehilangannya untuk selamanya.

***

Tamat.

Nihaqus Yuhamus
Bekasi, 2 September 2013.

No comments:

Post a Comment

Kalo mau komen pake bahasa yang santun dan sopan ya saudara-saudari!