Saturday, July 13, 2013

666

"enam ratus enam puluh lima.."

***

Bar.
Malam itu udara di luar jauh berbeda daripada ruangan tempatku berada. Udara diluar sangat dingin, tipikal udara yang selalu begitu ketika tiap hujan berhenti. Sementara ruangan ini penuh dengan kepulan asap yang mengantri disedot mesin penyedot udara tua itu, dan kau bisa bayangkan betapa gerahnya ruangan ini. Ve, sudah lama duduk menemani kumpulan lelaki tua dengan perut gendut yang tiap kancing kemejanya hampir-hampir lepas karena kegendutannya itu. Lelaki-lelaki itu bukanlah lelaki kesepian, hanya butuh hiburan yang baru dengan gundik-gundik yang beberapa diantaranya kukenal. Salah satunya termasuk Ve, gadis yang sudah 3 tahun diasuh oleh Bella, si Ratu Gundik. Haha, jangan bayangkan Bella adalah perempuan cantik dengan tubuh langsing dan digila-gilai banyak lelaki hidung belang. Tidak. Jauh daripada itu, ia adalah perempuan gendut dan bau, ia hanya wangi ketika ada klien yang datang untuk mencari jasa-jasa gundiknya. Ia tidak mahir berdandan dan memiliki selera busana di bawah rata-rata. Walau demikian, aku sudah 13 tahun bekerja untuknya. Menghasilkan uang yang lumayan banyak hanya untuk menemani perempuan-perempuan kesepian yang ditinggalkan suami, atau sekedar bermain dalam arisan perempuan-perempuan sosialita yang terlalu penasaran atau barangkali terlalu doyan dengan kontol. Merekalah salah satu klien-klien Bella.

Muka Ve hari ini tampak tidak terlalu bersemangat. Sama sepertiku. Alasanku sederhana, aku bosan. Sementara untuk alasan Ve, aku tidak terlalu paham. Mukanya bersungut-sungut, tapi kepedulianku hanya cukup untuk memperhatikannya dari meja bar. Tidak lebih. Aku memesan minuman. Sebotol bir dingin Franziskaner Hefe-Weisse untukku dan segelas Mount Gay Rum dengan cola untuk Ve, kesuntukanku dan malam yang pengap ini. Aku suruh pelayan untuk mengantarkan minumannya ke Ve. Ve menerimanya dan melirikku. Lalu kita bersulang di udara.

"Roe-Ans!"

***

Apartment.
Aku tinggal dalam kemewahan yang barangkali hanya sedikit orang yang mampu menikmatinya di negeri ini. Kemewahan-kemewahan yang aku dapatkan dari kebutuhan perempuan akan perhatian, sedikit belaian, kehangatan pelukan dan ciuman-ciuman palsu. Ah, satu lagi. Hubungan seksual. Siapa bilang perempuan tidak membutuhkan hal yang satu itu? Aha, aku ceritakan sedikit saja rahasia pada kalian, bahwa dalam dasarnya, perempuan memiliki hasrat buas akan percintaan yang berapi-api walaupun pada permukaan ia terlihat begitu tertutup terbalut oleh kepalsuan-kepalsuan atau barangkali tipuan-tipuan yang mereka namakan: kealiman sosial.

Aku bisa saja mendapatkan seluruh rahasia itu, ah barangkali rahasia umum itu dari semua perempuan-perempuan yang sudah aku layani. Mereka yang tidak segan-segan untuk membayarku mahal, mereka yang tidak ragu-ragu memberikan apapun yang aku inginkan walaupun permintaan-permintaan yang tidak masuk akal hanya untuk mendapatkan apa yang tidak mereka dapatkan dari suami atau pasangan mereka. Tentu saja, aku meminta lebih untuk apa yang aku bisa lakukan yang semua orang tidak bisa lakukan. Itulah yang menjadi jawaban akan kemewahan-kemewahan yang aku dapatkan ini. Lidah, adalah kekuatan lelaki sepertiku, dan perempuan adalah makhluk yang paling menyukai kata-kata yang membuat mereka merasa senang, walaupun itu adalah kebohongan. Itulah kelemahan mereka. Mereka sedia untuk membayar mahal kebohongan-kebohongan yang telah menjadi candu itu dan tenang saja aku sangat menikmatinya!

Ah sudahlah, kuceritakan tentang kamar ini. Aku berbagi kamar dengan Ve. Kamarku berada di apartmen kelas premium di wilayah bisnis di Kota ini. Sudah aku katakan di awal tadi, hanya sedikit yang bisa mendapatkan kemewahan seperti ini. Aku takut karena sudah terlalu lama menumpang denganku, hubungan kami akan berakhir menjadi seperti saudara, itu yang aku jauhi. Karena itu, kapan pun aku mau, akan aku ajari bagaimana hubungan diantara kita yang seharusnya terjalin. Pada awalnya, Ve tidak setuju dengan apa yang aku tawarkan. Namun lambat laun, logika bisnisnya juga berjalan dan ia merasa bahwa apa yang aku tawarkan sangat menguntungkan bagi logika bisnisnya. Jadi, kami berdua sepakat untuk menjadikan hubungan kita dalam wilayah kumpul-manusia-yang-butuh-hubungan-seksual-secara-kompromis.

Kami berada di ranjang sekarang. Melakukan beberapa sentuhan awal untuk menghangatkan suasana. Aku menyusuri seluk tubuh Ve yang walaupun sudah ku lakukan ratusan kali tetap tak bosan kulakukan. Belum lama kami membagi kehangatan, ponselku berbunyi. Bella menelponku. Aku biarkan tak terangkat karena aku masih asik menyusuri tubuh Ve dengan bibir dan lidahku. Sesekali lenguhan Ve seperti api yang membuatku tersundut. Suara ponselku berbunyi lagi. Bella menelponku lagi. Ergh, kali ini aku harus menjawabnya karena dari dialah kemewahan-kemewahan ini hadir.

"Ya?"
"Lama sekali kau.."
"Mandi, biasa. Kenapa?"
"Ada klien baru"
"Siapa?"
"Pejabat. Kau harus tau! Ia adalah Ketua salah satu partai politik di negeri ini!"
"Ha? Bella, aku tahu ini sudah larut. Barangkali kau mabuk. Ini nomorku. Bukan nomor Ve"
"Aku tidak sedang mabuk, Clove. Ia meminta kau dan Ve, bermain seks. Ia hanya ingin menonton adegan kalian bercinta secara langsung dan ia bersedia membayar mahal untuk itu"
"Tapi, kita dari dulu tidak melakukan itu.."
"Klien baru, selera baru. Kau tau ia bersedia bayar 80 juta per dua jam untuk ini"
"Gila! Okay, aku dengarkan"
"Kalian hanya cukup bermain seks di depannya. Tidak perlu canggung. Tidak ada rekaman. Tidak ada orang lain, kecuali kalian bertiga"
"Selebihnya?"
"Selebihnya tidak ada. Kalian cukup melakukan apa yang ia inginkan. Kecuali perjanjian diatara kalian yang tidak aku ketahui. Tapi aku akan pastikan bahwa tidak ada perjanjian yang tidak akan kuketahui"
"Bertahun-tahun aku berada diketiakmu dan menghasilkan seluruh kemewahan ini. Bagiku itu cukup, tak butuh yang lebih dari ini. Kau bisa lihat loyalitasku selama ini, kan? Hahaha. Lalu, kapan?"
"Sebisa kalian. Kapan?"
"Okay, besok."
"Kau gundikku yang paling bisa kuandalkan Clove!"

Bella menutup percakapan itu dengan nada antusias. Sementara aku dalam keadaan bingung. Akan mudah bila kukatakan pada Ve tentang ini, karena ia begitu terbiasa melakukan hubungan seksual dengan lelaki atau ditonton lelaki. Sementara aku? Aku terbiasa menjadi satu-satunya lelaki dalam tiap jasa-jasaku yang sudah belasan tahun kulakukan dan menjadi seperti rutinitas. Lalu apa jadinya bila semua adegan percintaan ini dilihat lelaki-yang-lain?

***

Apartment 2.
Kami bertemu pada sebuah tempat. Kami berempat. Aku, Ve, Bella dan si lelaki yang menurut Bella adalah salah satu ketua partai politik di negeri ini, yang memperkenalkan diri sebagai Mr. Fahri. Sayangnya, aku tidak pernah mengikuti perkembangan terakhir situasi politik di negeriku sehingga bagiku ia tak jauh berbeda dengan klien Bella yang lainnya. Makhluk malang kesepian yang memiliki penyimpangan mental dan komitmen. Hanya mungkin, ini pengalaman baru bagiku yang menerima bayaran dari seorang lelaki.

Bella dan Mr. Fahri lalu membicarakan bisnis. Sementara aku masih memandang Ve dengan penuh senyum-senyum penuh tanda. Aku benar-benar tidak biasa ditonton oleh lelaki. Seperti ada keraguan pada diriku sendiri untuk melakukan ini, bahkan untuk bisnis. Tapi uang delapan puluh juta per dua jam adalah logika lain yang lambat laun menutupi keraguanku. Itu adalah logika yang tak masuk logika. Untuk apa ia menyediakan dana sebesar itu hanya untuk melihat adegan kami bersetubuh secara langsung dalam waktu yang bisa saja kami ulur-ulur??

Mr. Fahri lalu menaruh sebuah briefcase diatas meja. Ia membuka isinya dan terlihat tumpukan-tumpukan uang seratus ribu yang berjejer dan wangi uang baru yang sangat khas. Mataku dan Ve langsung tertuju pada uang-uang itu, kami melongo. Katanya, ini masih sebagian dari uang yang disediakan. "Hanya" 85 persen dari yang seharusnya, dan itu termasuk dalam perjanjiannya dengan Bella. Sisanya akan di cairkan via cek, melihat durasi permainan dan kepuasan Mr. Fahri. Ve tampak bersemangat.

"Bagaimana, kita deal Bu Bella?"
"Ah, ustadz. Ini lebih dari cukup sebagai uang muka"
"Hei! Sudah berapa kali saya ingatkan, jangan panggil saya ustad! Panggil saja Mister Fahri!"
"Oh, maaf. Tolong maklumi saya. Usia lanjut memang membuat saya mudah lupa, Mister Fahri. Baiklah, boleh kita tutup perjanjian ini dengan segelas anggur dan sulang?"

Setelah menjabat tangan Mr. Fahri, Bella lalu bergegas menuju bar di apartmen itu. Ia mengambil sebotol anggur, membukanya dan menyuruhku untuk membantunya membawa gelas. Aku langsung sigap membantunya dan kami kembali ke tempat duduk masing-masing. Bella lalu menuangkan anggur di tiap gelas. Menyuguhkannya satu persatu

"Untuk Mister Fahri!"

***

Sudah hampir dua jam kami bermain dan mencoba seluruh gaya yang diinginkan oleh Mr. Fahri. Keringatku dan keringat Ve terus menetes dan nafas kami terus memburu. Ve tampak kelelahan juga. Aku pun demikian. Tapi bayangan uang yang berada di atas meja itu menjadi pelecut kami berdua. Selalu kubisikkan "delapan puluh!" tiap kali Ve memberi isyarat kelelahan. Sementara itu, Mister Fahri sedari tadi menonton kami berdua. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sesekali ia ikut memegang kami berdua dan mengocok kontolnya. Ah, jika bukan karena uang yang amat banyak itu, aku takkan sedia dipegangnya. Jijik. Sesekali Mr. Fahri mengarahkan kami agar melakukan gaya persetubuhan yang ia inginkan. Lenguhan Mr. Fahri ketika bergairah membuatku muak, tapi sekali lagi aku teringat akan bayangan uang yang berada di atas meja itu. Aku biarkan Ve yang melihat Mr. Fahri ketika ia mengarahkan kami, karena aku benar-benar tidak berminat untuk melihat perut buncit dan titit kecilnya itu.

Jam sudah menunjukkan waktu yang ditentukan. Lalu aku diarahkan untuk orgasme di muka Ve. Tak ada kesulitan. Lalu Mr. Fahri ingin Ve menyudahinya dengan melakukan oral sex untuk Mr. Fahri. Aku segera bergegas dari ranjang dan ke kamar mandi. Meninggalkan mereka berdua di atas ranjang. Kubersihkan kontolku di pancuran dan mendengar lenguhan keras Mr. Fahri.

***

Kami cukup lama beristirahat sebelum berlanjut ke sesi kedua. Mr. Fahri seperti orang yang tidak kenal lelah dan tidak mau merugi. Aku menyimpulkan bahwa ada semacam gangguan mental yang orang ini idap. Semacam penyakit yang belum kuketahui istilahnya. Tapi aku yakin, bahwa ini adalah sebuah penyakit atau semacam penyimpangan seksual. Mr. Fahri seperti tidak ingin kehilangan banyak waktu untuk beristirahat dan meminta kami untuk melanjutkan sesi kedua. Kali ini kami diminta untuk menggunakan berbagai properti yang ia telah siapkan sebelumnya. Ia membawa sebuah koper besar yang berisi properti-properti seperti borgol, beragam vibrator, pecutan, dildo, dua pasang kostum dan beragam properti lain yang aku sendiri baru melihatnya.

Lalu, Mr. Fahri lalu meminta sebuah permintaan yang membuat aku dan Ve terkejut. Ia ingin aku melakukan anal sex untuknya. Seketika, bayangan uang yang sedari tadi membayangiku langsung lenyap diliputi rasa geram yang luar biasa. Secara spontan aku menolaknya karena itu tidak dalam perjanjian yang sebelumnya kami sepakati. Bahkan sebetulnya dengan keterlibatan Mr. Fahri dalam permainan aku dan Ve saja sudah melanggar perjanjian kami, namun aku mencoba menahannya dari tadi. Mr. Fahri lalu mengatakan bahwa ia akan memberikan uang lebih untuk itu, sehingga Ve mencoba melerai kami. Ve menawarkan untuk melakukan itu untuk Mr. Fahri menggunakan dildo koleksinya, sementara aku cukup berada di bangku dan menonton mereka bercinta. Mr. Fahri setuju. Lalu mereka melakukan itu di atas ranjang, ergh.. aku jijik melihatnya.

Mr. Fahri lalu menyuruhku untuk menggantikan Ve. Memasukkan dildo yang ada ke dalam lubang pantatnya. Aku benar-benar muak. Aku lalu bergegas mengambil sesuatu dari mantel tebalku dan mendekati ranjang. Menyuruh Ve untuk beralih. Mengambil dildo itu dari anusnya dan memasukkan corong pistol yang selalu aku bawa untuk keadaan-keadaan darurat.

"AAAW!, Mr. Fahri teriak.
"Haha, sakit ustadz? Ini sedikit lebih kecil tapi mematikan! Mau coba?"

Lalu, Dooooor! Doooor! Doooor! Tiga kali letusan. Darah menyiprat ke seluruh wajah dan badanku.


"enam ratus enam puluh enam.. gak nyangka angka bagus dapet barang busuk", gumamku kecil.

***

TAMAT

No comments:

Post a Comment

Kalo mau komen pake bahasa yang santun dan sopan ya saudara-saudari!